[Download PDF KONTAN WEEKLY Pandai Pintar dan Etika Kerja]
oleh Jennie M. Xue
Seseorang yang “pandai” belum tentu “pintar” dan belum tentu “beretika kerja baik.” Seseorang yang “pintar,” bisa jadi belum tentu “pandai,” namun “beretika kerja baik.” Pilih yang mana?
Idealnya, seseorang itu “pandai,” “pintar,” dan “beretika kerja baik.” Faktanya, memiliki ketiga-tiganya sekaligus cukup langka. Sudah cukup baik apabila memiliki dua unsur tersebut di dalam satu individu. Jika Anda berhasil mempekerjakan seseorang dengan tiga elemen tersebut, artinya Anda “menang jackpot.”
Yang dimaksud dengan “pandai” di sini lebih mengarah kepada kecerdasan, keahlian, dan ketrampilan teknis, seperti matematika, komputer, akuntansi, teknikal, dan sebagainya. Di sekolah, seorang murid yang “pandai” biasanya nilai-nilainya bagus. Sukses dalam pendidikan formal dan pelatihan teknikal merupakan indikator “pandai.”
Sedangkan yang dimaksud dengan “pintar” di sini adalah kemampuan tinggi dalam kecepatan dan kecekatan bekerja, berpikir logis, dan beroperasi dengan kepemimpinan terlepas dari luas lingkupnya. Sukses dalam memimpin dan mengelola sesuatu maupun sekelompok orang merupakan indikator “pintar.”
Yang dimaksudkan dengan “etika kerja baik” adalah tanggung jawab moral tinggi terhadap pekerjaan, tugas, dan apapun yang sedang dikerjakannya. Sekecil apapun tugas seseorang, ia akan jalankan dengan sebaik mungkin.
Beretika kerja baik artinya “cukup baik” atau “sangat baik” dalam hal performance kerja yang berhubungan dengan loyalitas, ketepatan, kesungguhan, dan ketertiban merupakan beberapa indikator tingginya etika kerja. Namun ini bukan berarti sama sekali tidak asertif atau “hanya mengiyakan” belaka. Asertifitas dan proaktifitas tetap dibutuhkan hingga tingkat tertentu.
Misalnya, suatu tugas diselesaikan hingga tuntas tanpa kecuali. Selalu tepat waktu dalam pengumpulan hasil kerja. Tidak meninggalkan pos seenaknya. Selalu berusaha keras mencari solusi ketika menghadapi suatu masalah. Selalu tepat waktu dan hadir di setiap pertemuan, terlepas dari cuaca hujan, panas, atau bersalju. Menegur rekan kerja yang tidak fokus dan berani mengambil tindakan yang kurang lazim sepanjang gol dan hasil akhir bisa dipertahankan.
Etika kerja SDM Indonesia secara rata-rata dikenal “biasa-biasa saja,” alias tidak terlalu baik, namun tidak juga terlalu buruk. Namun untuk hal produktivitas, memang masih tidak cukup tinggi dibandingkan dengan pekerja-pekerja dari Jepang, China, Singapura, dan Vietnam, misalnya.
Apakah etika kerja punya korelasi dengan produktivitas? Tentu ada. Semakin tinggi etika kerja, biasanya semakin tinggi ekspektasi dan output produktivitas. Etika kerja baik erat korelasinya dengan “kerajinan” karena seseorang yang rajin biasanya memiliki etika kerja baik.
Faktor “malas” merupakan salah satu bentuk rendahnya etika kerja yang jelas sangat erat berhubungan dengan output. Namun penggunaan terminologi “malas” sebenarnya politically incorrect, sehingga sebaiknya tidak digunakan. Istilah yang tepat adalah “low output” alias “hasil rendah” atau “produktivitas rendah.”
Tentu saja, seseorang yang output-nya rendah bisa saja mempunyai masalah kesehatan fisik, mental, emosional, dan psikis. Belum tentu karena “malas.” Ketika masalah-masalah kesehatan tidak ditemui, “malas” sebagai sifat mengacu kepada “kesenangan untuk berleha-leha” dan tidak optimal dalam mengerjakan sesuatu.
“Malas” mungkin hanya mitos, namun faktor ini tetap perlu diperhatikan, karena tetap terbuka kemungkinan adanya faktor ini dalam karakter.
Output seseorang merupakan salah satu indikator etika kerja, kepandaian, dan kepintaran. Namun kita perlu berhati-hati sehingga tidak mudah “melabel” seseorang, seperti mereka yang outputnya rendah termasuk yang kurang dalam ketiga hal ini. Juga bukan berarti yang tinggi outputnya berarti ketiga elemen ini telah teruji.
Dalam menyeleksi pegawai, kita perlu mengenali berbagai bentuk kecerdasan (intelligences), tidak hanya intelektual dan emosional, namun juga kecerdasan dalam bekerja, memimpin, dan berhubungan dengan orang lain dalam grup kecil maupun besar. Dengan kata lain, Anda perlu mencari seseorang yang cukup pandai namun mempunyai kepintaran dan etika kerja di atas rata-rata.
Mencari seorang “rising star” dalam perusahaan atau organisasi memerlukan lebih dari sekedar kemampuan menyeleksi. Idealnya, ada kemampuan untuk memberikan kesempatan belajar agar sisi yang belum kelihatan mendapatkan tempat yang baik untuk tumbuh kembang. Dengan semakin diasahnya sisi “pintar” dan “etika kerja,” kepandaian teknikal semestinya juga menjadi semakin baik.
Sebagai individu, ini adalah tantangan kita semua. Bagaimana kita menjadi seseorang yang “pandai” secara teknikal, namun juga “pintar” dalam menjalankan hidup, serta “beretika kerja tinggi” sehingga kita semakin bersahabat dengan sukses. Gabungan ketiganya menjadikan Anda luar biasa.[]
KONTAN WEEKLY, 22-28 Februari 2016