Select Page

[Download PDF KONTAN DAILY Menjual Spiritualitas Yoga Lululemon]

oleh Jennie M. Xue

Lululemon Athletica, Inc (LULU) yang lebih populer dengan merek Lululemon dikenal dengan produk-produk aparel yoga dan atletik perempuan berbasis di Vancouver, Kanada. Berbagai model tank top dan legging berstandar industri atlet dapat ditemui di lebih dari 354 outlet di seluruh dunia. Price point cukup tinggi karena membidik pasar menengah ke atas.

Bagi para penggemar yoga dan fitness, produk-produk Lululemon bagaikan Ferrari penggemar balap otomobil. Luar biasa fashionable, kuat, dan tahan lama. Form fit dan materi yang dry alias kering seketika walaupun berkeringat sangat nyaman dipakai. Juga desainnya yang luwes memberi makna tersendiri.

Didirikan tahun 1998 oleh Dennis J. “Chip” Wilson yang penggemar ski, surfing, skating, dan yoga, produk-produknya dikenal berorientasi performance berteknologi tinggi dengan muatan spiritual. Filosofi spiritualitas yang dinikmati oleh kaum menengah atas ini berhasil meraup lebih dari USD 2 miliar per tahun sejak 2014.

Perjalanan bisnis Lululemon tidak selalu mulus. Di tahun 2013, mereka me-recall legging seharga USD 98 karena “transparan” sehingga pakaian dalam pengguna kelihatan dari luar. Ini diatasi dengan recall dan rilis ulang dengan lapisan dalam 6 bulan kemudian. Harganya pun diturunkan menjadi USD 92.

Recall ini menurunkan nilai saham, namun tidak menurunkan animo konsumen yang telah tergila-gila spiritualitas high-tech produk yoga ini. Konsumen masih percaya akan kelebihan produk, edukasi dari para penjaga toko, dan sense of style ketika dipakai.

Wilson pun turun dari posisi CEO dan memfokuskan diri pada product development perusahaan baru Kit+Ace daywear dan loungewear yang menggabungkan kenyaman pakaian olahraga dengan pakaian santai. Padahal sebelumnya Wilson tidak setuju dengan ide ini. Kini ia berkompetisi dengan perusahaan yang didirikannya hampir 20 tahun lalu.

Kebesaran Lululemon diawali dengan mission statement sederhana: Menciptakan produk-produk yang memperpanjang usia, menyehatkan, dan menggembirakan. Ini diterjemahkan dengan berbagai aktivitas yoga dan atletik yang diggalakkan di antara para pegawai dan lokasi retail yang terintegrasi dalam komunitas.

Para pegawai toko atau SPG disebut sebagai “edukator” konsumen. Dan mereka memang dipilih dari para antusias yoga dan atletik. Aktivitas-aktivitas pemasaran dilakukan di akar rumput, di mana para praktisi fitness dan yoga berkumpul dan saling berkomunikasi, baik online maupun offline.

CEO baru Laurent Potdevin mengencangkan laju pertumbuhan setelah masa surut di tahun 2014 akibat recall. Strategi retailnya antara lain: mengendurkan persyaratan pengembalian pembelian (return policy), desentralisasi manajemen dengan layout toko yang lebih demokratis, manajer toko sebagai duta besar komunitas, dan model organisasi yang mirip dengan holacracy-nya Zappos di mana setiap anggota tim mempunyai otoritas independen.

Strategi bisnis sendiri semakin agresif, dengan fokus pengembangan di luar Amerika Utara. Telah ada lebih dari 200 toko di AS dan Kanada. Mereka ekspansi ke Australia, Asia, Eropa, dan e-commerce. Teknologi kain anti UV dan kategori produk tenis, renang, dan golf juga diperkenalkan. Men’s products dan produk untuk para muda belia (teenagers dan tweens) juga mulai diproduksi.

Kalau dulu para yogi dikenal sebagai para hippie berambut panjang kusut dan bercelana lebar bermotif bunga-bunga, kini mereka adalah para eksekutif trendi yang berlatih ashtanga dan birkham di klab-klab fitness elit bertiket jutaan rupiah per bulan. Sebagaimana Starbucks yang sebenarnya mengemas konsep lama yaitu “minum di kedai kopi” dengan sesuatu yang modern, berstandar tinggi dan chic, Lululemon juga melakukan hal yang sama.

Para pegawai Lululemon diberi benefit perusahaan free pass untuk fitness. Ini merupakan strategi duta besar akar rumput yang jitu. Semakin sering mereka berolah raga, semakin merek Lululemon beredar. Para influencer fitness dan yoga, seperti instruktur dan guru-guru olah raga juga diberi kesempatan khusus untuk bekerja sama.

Akhir kata, bidiklah akar rumput dan komunitas dengan edukasi dan pencerahan para yogi. Sepanjang suatu ide dikemas sesuai dengan perkembangan zaman, produk klasik dapat diperbaharui sebagai sesuatu yang segar dan hidup.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 10 Maret 2017

Pin It on Pinterest

Share This