Select Page

students450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Daily Membangun Tempat Kerja Multikultural]

oleh Jennie M. Xue

Globalisasi merambah ke mana-mana. Kini semakin tidak jelas negara dan kultur apa yang lebih dominan di suatu organisasi, baik perusahaan maupun institusi lainnya.

Di Lenovo dan Huawei yang nota bene adalah perusahaan yang didirikan di Tiongkok (China Mainland), kultur yang dominan adalah kultur Silicon Valley yang inovatif dan transparan. Di PepsiCo, CEO Indra Nooyi membawa kultur India egaliter yang keibuan namun sangat peka multikultur. Dengan kepekaan akan kompleksitas India, Nooyi telah siap untuk “bertempur” di berbagai negara dengan panca indera “ekstra.”

Kolega dan partner kerja Anda mungkin juga berasal dari berbagai negara. Belum lagi partner bisnis dan klien yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Hampir semua produk yang kita pakai sehari-hari mempunyai elemen global, alias berasal dari negara lain.

Laptop yang Anda pakai, bisa jadi diasembli di San Jose, namun komponen-komponennya bisa berasal dari Taiwan, Jepang, Korea, dan Tiongkok. Belum lagi smartphone yang didesain di Qualcomm San Diego namun diproduksi di Shenzhen. Facebook yang Anda kunjungi setiap beberapa menit sekali didesain di Boston oleh seorang Yahudi Amerika. Mie instan sarapan Anda mungkin dimanufaktur di Surabaya, namun gandumnya berasal dari mancanegara.

Melek multikultur dan peka akan berbagai permutasi kultur semestinya merupakan default state seseorang. Dan seseorang yang sukses dalam arti sesungguhnya (tidak hanya material), biasanya mempunyai aset kultural yang baik.

Fondasi paling dasar suatu kultur adalah sistem nilai alias “standar” baik dan buruk sesuatu. Semakin kita mengenali sistem ini dan menerapkannya dengan semangat saling pengertian dan empati, semakin berhasil proses interaksi.

Membunyikan klakson di jalan dianggap biasa di Indonesia, namun di negara-negara maju, ini kurang baik karena mengganggu konsentrasi, kecuali apabila sangat mendesak. Menaikkan kaki ke kursi di kala istirahat dipandang biasa di negara-negara barat, namun di Indonesia ini adalah tabu dan “tidak sopan.” Terlambat setengah jam di Indonesi adalah “biasa” dan “bisa dimengerti” karena satu dan lain hal, namun di negara-negara maju ini merupakan “insult” alias “hinaan” terhadap pihak yang menunggu.

Yang perlu diperhatikan dalam proses interaksi multikultural secara jangka panjang dengan kolega, partner bisnis, dan klien adalah kurva masa belajar (learning curve) dan fase adaptasi (adaptation phase).

Ada empat fase kurva masa belajar menurut Charlotte Wittenkamp, seorang pakar psikologi multikultur di Los Altos, Silicon Valley: the unknown unknowns (tidak tahu apa yang tidak diketahui), the known unknowns (tahu akan apa yang tidak diketahui), the known knowns (tahu apa yang diketahui), dan the unknown knowns (tidak tahu apa yang diketahui). Kenali sampai di mana pengenalan dan pengetahuan Anda akan suatu kultur yang bisa dianalisa dalam bentuk satu insiden, pertemuan, interaksi, dan fenomena.

Fase adaptasi sendiri terbagi empat: fase bulan madu (honeymoon), krisis, penyembuhan (recovery), dan penyesuaian (adjustment). Di masa bulan madu, semua perbedaan terlihat indah dan nyaman. “Opposite attract” alias “segala hal yang terbalik dari kita itu menarik” masih menjawab kuriositas akan hal-hal baru.

Di masa krisis, Anda akan menyadari bahwa perbedaan-perbedaan itu membingungkan dan menyebabkan kesalahpahaman bahkan krisis. Di masa itu, Anda merindukan kembali kultur asal karena di sana Anda bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu mengira-ngira arti sebenarnya.

Di masa recovery, Anda melihat bahwa dua kultur tersebut sama-sama baik, hanya berbeda. Di fase penyesuaian, Anda bisa melihat dengan jernih bahwa “begitulah di sini” dan Anda ikuti aturan main dalam kultur baru tanpa terbeban.

Adaptasi kultural sementara, seperti masa training dalam periode tertentu atau menimba ilmu sebagai mahasiswa pascasarjana, tidak mempersiapkan Anda untuk bertahan secara jangka panjang di kultur baru. Di bawah sadar, Anda tidak “mencuci” kultur asal, namun hanya menganggap kultur baru sebagai “hal yang harus dilakukan sementara.”

Tip bagi para multikulturalis: Jadilah manusia universal yang menghargai dan mempraktekkan kebaikan hati, ketulusan, harmoni, egaliter, dan otoritas intelek.[]

KONTAN Daily, Jumat 12 Juni 2015

Pin It on Pinterest

Share This