Download KONTANDaily Membangun Pola Pikir Wirausaha
oleh Jennie S. Bev
Kata “wirausaha”
alias “entrepreneurship” seringkali disalahartikan. Miskonsepsi bertebaran dan
popularitas kata ini seringkali diidentikkan dengan bisnis kecil alias “small
business.” Lembaga-lembaga kewirausahaan seringkali memperpetuasikan
miskonsepsi “bisnis kecil.”
Sesungguhnya,
kewirausahaan atau “entrepreneurship” adalah suatu pola pikir yang mendasari
filosofi bisnis dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan bisnis. Juga
seringkali spirit kewirausahaan disamakan dengan “inovasi,” yang merupakan
salah satu derivatif darinya.
Seorang
wirausahawan/wati sejati pasti siap menelurkan inovasi-inovasi, namun seorang
inovator belum tentu mempunyai spirit kewirausahaan, misalnya para pencipta
produk dan insinyur IT. Tentu saja para pencipta dan insinyur tersebut ada juga
yang mempunyai spirit kewirausahaan, namun mempunyai kadar berbeda. Inovasi
seorang wirausahawan/wati bisa berbentuk hardcore
alias teknikal dan sistematik, maupun softcore
alias bersifat pelaksaan operasional bahkan kultur organisasi.
Kewirausahaan
merupakan spirit dan dasar pemikiran dari berbagai kegiatan yang meningkatkan
inovasi. Howard Stevenson profesor di Harvard Business School mendefinisikan
“entrepreneurship” sebagai “usaha menggali kesempatan terlepas dari keberadaan
sumber daya yang dimiliki saat itu.” Artinya, seorang wirausahawan/wati sejati
terus menggali kesempatan yang ada walaupun saat itu belum memiliki sumber daya
yang berarti.
Keberanian
mengambil resiko ini yang membedakan seseorang mempunyai kemampuan berwirausaha
atau tidak. Seorang wirausahawan/wati sejati mengutamakan hasil daripada status
dan posisi yang tertera di kartu bisnis. Gol pencapaian merupakan pemicu kinerja.
Mereka memiliki keyakinan yang tinggi akan kemampuan berpikir di luar boks dan
gelar MBA tidak bisa menggantikan kemampuan dan keyakinan internal ini.
Kemampuan
berwirausaha seseorang bisa dinilai dari kemampuan mencari, menghubungkan, dan
membentuk kesempatan-kesempatan. Jadi, dengan kata lain, spirit ini memberikan
kemampuan untuk “berpikir dan bertindak lincah.” Terkadang kita mendengar
cibiran “ia seorang oportunis.” Dalam tingkat tertentu, seorang “oportunis”
bisa jadi seorang “wirausahawan” dan sebaliknya. Terminologi “oportunis” dalam
hal ini adalah terminologi pujian.
Tidak jarang
seorang wirausahawan bisa melihat apa yang bagi orang lain “tidak terlihat.”
Konformitas sendiri bukan merupakan ukuran, mengingat ini bisa jadi merupakan
suatu pembuka kesempatan, bukan penutup kesempatan. Misalnya, sekolah
berseragam merupakan kesempatan bagi pembuat seragam untuk memasarkan jasa
mereka. Namun ini menutup kesempatan menjual pakaian warna-warni yang lucu.
Seorang
wirausahawan/wati sejati mampu melihat secara visual di dalam benak mereka.
Mereka mempunyai kemampuan visioner yang melihat “hampir secara kasat mata” gol
mereka. Gol finansial berbentuk angka tertentu, sudah terlihat jelas di benak
mereka, seakan-akan sudah tercapai. Dan kemampuan ini seakan-akan mempunyai
“aura mistis” karena “dunia akan berkonspirasi untuk mewujudkannya.”
Lantas, gol
tersebut diuraikan dengan metode terbalik, artinya mereka melihat golnya dulu
dengan jelas sebelum membuatkan tangga ke sana. Visi tersebut bisa dikategorikan
sebagai visi terkontrol dan visi tidak terkontrol. Sedapat mungkin mereka
memperbanyak visi terkontrol dan mengisi visi tidak terkontrol dengan sifat dan
perilaku yang diharapkan bisa mempermudah pencapaiannya.
Seorang
wirausahawan/wati sejati merupakan gabungan antara artis, project manager, dan pekerja keras yang workaholik. Ia juga seorang
analis yang bisa melihat kelebihan dan kekurangan suatu aktivitas atau project dengan kalkulasi akhir yang
tepat atau jarang meleset. Ini bukan berupa bakat, namun karena sudah dilatih
ribuan kali dengan kerja keras dan cermat.
Sebagai contoh,
Indonesia sebagai ekonomi yang berbasis konsumsi, pasti sangat menawan hati
para wirausahawan/wati, namun ini tidak memberi jaminan keberhasilan. Angka
pangsa pasar yang heboh saja tidak bisa dengan gegabah dipakai. Juga tim yang
ada, masih belum siap ketika spirit kewirausahaan masih mentah. Di sini visi
seorang wirausahawan/wati berperan.
Membangun pola
pikir seseorang membutuhkan keinginan yang mendalam dari orang tersebut. Metode
yang paling bisa dicoba: Bayangkan seakan-akan hidup Anda tergantung dari
keberhasilan bisnis Anda. Program pikiran Anda sehingga “percaya” bahwa itu
yang sebenarnya terjadi. Pecutan-pecutan internal memprogram pikiran sehingga
segala tindakan dan tindakan-tindakan analistis menjadikan Anda sebagai project manager diri sendiri.[]
KONTAN Daily, Jumat, 31 Mei 2013