Select Page

Marathon Runners 1500

Kontan Logo

KONTAN Daily Ketika Confidence Bukan Competence

oleh Jennie M. Xue

Confidence dapat diterjemahkan secara bebas sebagai kepercayaan diri yang tampak dari luar alias tampak PD. Competence di sini maksudnya kompetensi alias kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dan memberi solusi atas suatu persoalan.

Confidence sendiri mempunyai dua wajah. Yang satu adalah tampak luar yang karismatik dan ekstroversi. Wajah kedua adalah kepercayaan diri yang sesungguhnya, alias memang ia sungguh mempunyai keahlian, ketrampilan, pengetahuan, dan kesungguhan dalam menyelesaikan suatu masalah dengan memberikan solusi yang bekerja dengan baik.

Penulis sendiri kenal baik dengan beberapa tokoh publik yang kelihatannya sangat konfiden, namun ternyata hanya mempunyai kompetensi terbatas. Salah satunya adalah seorang motivator dan konsultan. Ternyata segala buku dan artikel yang dipublikasikannya ditulis oleh orang lain dan bisnis raksasa yang menggunakan mereknya dikerjakan oleh istrinya dari A sampai Z. Ia hanya difoto untuk media, menerima wawancara, dan memerintahkan sana sini.

Respek menjadi luntur begitu pihak luar mengenal bahwa confidence bukan merupakan cerminan competence.

Mengapa kita suka kepada mereka yang confident alias tampak PD dari luar? Karena kelihatan karismatik dan kompeten.

Padahal, menurut penelitian Profesor Tomas Chamorro-Premuzic dari University College London, competent people are likely confident but confident people are likely not competent. Dengan kata lain mereka yang kompeten biasanya akan kelihatan konfiden padahal yang konfiden belum tentu kompeten.

Tampak dari luar konfiden sering kali merupakan topeng inkompetensi. Dan yang berbahaya dari berbagai program motivasi adalah mengajarkan bagaimana untuk tampak konfiden, tanpa perlu sungguh-sungguh mempunyai kompetensi. Dibandingkan dengan para profesor yang cukup banyak lemah lembut tutur katanya sehingga mereka tampak tidak konfiden, karena tidak karismatik dan tidak berapi-api, namun yang mereka miliki adalah kompetensi.

Nah, kesulitan bagi kita adalah membedakan “konfiden” yang mana? Apalagi jika kita masih belum lama mengenal seseorang. Kecuali memang ketrampilan yang dipancarkan adalah hard skill seperti menyanyi, melukis, menjahit, merancang 3D, matematika, accounting, coding, menulis, dan sebagainya. Dalam membedakan kompetensi keahlian halus alias “soft skill,” seperti komunikasi, manajemen, pemasaran, dan mediasi jauh lebih sulit.

Ingat bahwa korelasi antar konfiden dengan kompetensi tidak ada sama sekali. Dan tampak konfiden dari luar sering kali merupakan tanda bahwa ia menutupi inkompetensi. Mungkin istilah yang populer adalah “tong kosong bunyinya nyaring.”

Namun tentu saja seseorang yang kompeten sangat diharapkan untuk tampak konfiden alias percaya diri. Untuk itu, para pewawancara perlu berhati-hati agar tidak terjebak. Mengenali tanda-tanda “konfiden kosong” memang tidak mudah, namun tetap mungkin. Kuncinya adalah menguji dulu hard skill yang diperlukan di dalam suatu pekerjaan.

Contohnya, di Silicon Valley tempat tinggal saya, ketika melamar pekerjaan, seorang kandidat perlu menunjukkan kredensial dan dites dengan berbagai testing application yang dapat menguji secara akurat hard skill yang dimiliki kandidat. Jadi, jika di dalam resume tertulis ia mampu mengoperasikan MS Excel, maka ia akan dites penguasaan Excel-nya dengan berbagai kasus. Tidak bisa hanya menyatakan bahwa “saya bisa ini dan bisa itu.” Semua akan diverifikasi sebelum kandidat diwawancarai.

Menurut penelitian akademis Ilmu Manajemen, seseorang yang terlalu konfiden (over confident) bisa mempunyai kecenderungan narsisistik. Seorang narsisistik biasanya pandai menunjukkan bahwa ia kompeten dan karismatik. Sering kali ia memandang diri lebih kompeten dari yang sesungguhnya. Dan ini sangat berbahaya.

Bayangkan bahwa seorang eksekutif yang Anda pekerjakan sesungguhnya bukan orang yang kompeten, namun hanya terlalu konfiden dan agak narsisistik. Ini merupakan liabilitas perusahaan. Anda memerlukan seseorang yang kompeten. Titik.

Jadi seorang pewawancara perlu membaca humility alias kerendahan hati seseorang, bukan membaca konfiden semata. Karena, kerendahan hati seseorang sering kali malah merupakan indikator kompetensi yang lebih akurat. Kerendahan hati merupakan antitesis dari konfiden.

Sayangnya, kerendahan hati seringkali diartikan sebagai inkompetensi, padahal sesungguhnya merupakan indikator kompetensi. Tentu saja Anda perlu bisa membedakan mana yang “rendah hati” dan mana yang “rendah diri” (low confidence). Semoga berguna dan selamat mengamati.[]

KONTAN Daily, Jumat 24 Oktober 2014

Pin It on Pinterest

Share This