Select Page


Image Source: Dulles Town Center


[Download PDF KONTAN DAILY Banana Republic si Republik Pisang]

oleh Jennie M. Xue

Pertama kali saya dengar merek Banana Republic (BR), saya senyum-senyum saja. Kreatif sekali merek fashion ini. Republik Pisang, lho.

BR adalah salah satu kisah sukses bisnis retail asal AS yang diawali dengan modal USD 1.500 saja. Kini omzet per tahun mencapai USD 300 juta.

Didirikan oleh Mel dan Patricia Ziegler di tahun 1978 di San Francisco, diakuisisi oleh GAP lima tahun kemudian. BR sangat dikenal dengan celana panjang khaki dan gaya nyantai ala safari Afrika.

Produk-produk BR kini mencakup berbagai aksesoris, sepatu, dan toiletri, disamping pakaian pria dan wanita kasual dan chic anggun. Target market yang dibidik adalah di atas usia 25 tahun, kerah putih dan berpenghasilan braket atas.

Pasutri Mel dan Patricia ini memang klop. Mel adalah seorang jurnalis dan Patricia adalah ilustrator. Keduanya hidup bersahaja, jadilah mereka menjual pakaian bekas. Ya, BR diawali dengan produk-produk bekas dan surplus.

Mengingat mereka adalah pasutri kreatif, kelebihan mereka dalam menjual adalah “berceritera.” Katalog BR di awal pendirian mereka membeberkan kisah tentang sehelai pakaian. Sedikit sejarah dan keunikan yang tiada duanya yang memukau dan membuat konsumen merasa ikut serta dalam sesuatu yang penting.

Empat nilai utama dalam strategi pemasaran BR Mel dan Patricia adalah karakter, petualangan, kultur, dan independensi. Faktor “karakter” digambarkan dengan narasi per produk.

Unsur “petualangan” dibungkus dengan tema perburuan safari di Afrika. Dengan produk-produk bekas dan surplus yang berasal dari berbagai negara, mereka memperkenalkan berbagai kultur yang dipadukan dengan satu tema, yaitu petualangan ala Indiana Jones.

Jadilah Mel dan Patricia memperkenalkan gaya berbelanja tematik independen dan seru nan baru di kala itu. Sayangnya, strategi para founder ini tidak dilanjutkan ketika telah diakuisisi oleh GAP.

BR tidak lagi bersahaja dengan tematik petualangannya, namun adalah lini fashion kelas menengah atas. Namun Mel dan Patricia tetap beraktivitas sebagai entrepreneur dengan memulai bisnis teh dan bisnis online.

Tampaknya, tren fashion dunia tidak lagi memihak BR.
Termasuk yang di Indonesia. Akar masalah adalah fast fashion yang dipelopori oleh Zara, Mango, Uniqlo, H&M dan Forever 21, sehingga harga blus USD 90 sudah tidak relevan dan tidak masuk akal.

Jadilah harga saham GAP menukik tajam beberapa tahun terakhir. Solusinya, mereka menutup 200 gerai BR dan GAP dari 2000 di seluruh dunia yang tidak perform. Termasuk yang di Indonesia.

Lantas, masih adakah harapan bangkit bagi BR? Tentu ada.

Pertama, rebranding dan repositioning.
Bagaimana mereka dapat memasuki atau transcend fast fashion merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan masak-masak. BR didirikan sebagai butik fashion unik low-cost. Jadi dalam perkembangannya, BR sudah jauh melenceng dari visi para pendiri.

Kedua, kembali ke storytelling.
Strategi utama pemasaran para pendiri adalah storytelling. Setiap keping produk punya kisah tersendiri sehingga ada “jiwa” dan “karakter” unik. Pembeli bukan hanya membeli produk, namun membeli sebuah sejarah dan makna. Storytelling sendiri merupakan inti dari content marketing yang sangat berpengaruh.

Ketiga, mengutamakan e-commerce dan digital marketing.
Strategi digital marketing BR selama ini cukup jitu, yaitu dengan menggunakan lookalike audience Facebook. Dan ini membawa hasil cukup baik. E-commerce perlu menjadi pilihan retail utama mengingat department store tidak lagi memenuhi kebutuhan berbelanja para konsumen.

Konklusinya, si Republik Pisang ini sedang mengalami masa penurunan mengingat fast fashion merupakan tren yang tidak akan turun dalam waktu dekat. Perlu mengubah siasat bisnis dan siasat pemasaran untuk dapat mengambil kembali market share yang disodok oleh para trendsetter fast fashion.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 15 Februari 2019

Pin It on Pinterest

Share This