Select Page

lifebuoy-450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN WEEKLY Zona Aman dari Bullying]

oleh Jennie M. Xue

Setiap individu perlu proses optimalisasi kerja agar dapat menghasilkan output optimal atau, bahkan, maksimal. Lingkungan yang “aman” merupakan syarat penting yang sering kali terlupakan. Lingkungan bukan hanya berdimensi fisik, namun juga mental dan emosional.

Sebagai komparasi, di negara-negara maju, lingkungan kerja dikondisikan sebagai “zona aman” bebas dari bullying dan pelecehan seksual. Tentu saja, ini adalah pengkondisian dari manajemen, yang prakteknya bisa saja menyimpang.

Ini sudah abad ke-21 di mana ekualitas seseorang ditentukan oleh karya dan meritnya, bukan oleh embel-embel diri. Menjadikan tempat kerja sebagai zona nyaman tanpa pelecehan dan tanpa bullying sudah merupakan kebutuhan dasar kehidupan modern.

Di mata hukum di seluruh dunia, berbagai bentuk pelecehan seksual secara fisik dilarang dan apabila sampai di pengadilan, maka pelaku bisa diganjar secara hukum. Prakteknya di perusahaan-perusahaan AS, seorang pelaku pelecehan seksual akan ditegur dan dipecat apabila telah melampaui 3 kali teguran.

Apa yang dimaksud dengan “pelecehan seksual”? Menurut American Bar Association (http://www.americanbar.org/newsletter/publications/gp_solo_magazine_home/gp_solo_magazine_index/w96shi.html), “A broad definition should be set forth that includes illegal sexual discrimination; unwelcome advances; requests for sexual favors; and any other verbal, visual, or physical conduct of a sexual nature.”

Dalam prakteknya, bahkan joke/humor/bahan becandaan tentang perempuan yang derogatori baik tersurat maupun tersirat, seperti “sekretaris biasanya tidur dengan bos” dan “perempuan kalau mau dipromosikan perlu main mata dengan bos” termasuk bentuk pelecehan yang paling sering diucapkan. Di AS, jelas ini sudah masuk definisi “pelecehan seksual” ketika kalimat-kalimat ini diucapkan di tempat kerja atau dalam konteks pekerjaan di luar tempat kerja (seperti ketika meeting di luar kota).

 

Di Indonesia, berbagai bentuk becandaan seperti ini dipandang “biasa,” bahkan oleh para perempuan sendiri (untuk kasus-kasus pelecehan seksual). Mengapa?

Karena Indonesia memiliki (maaf) kultur membully yang telah mendarah daging. Bayangkan, ketika mau masuk perguruan tinggi, akan ada berbagai bentuk inisiasi seperti mapras, ospek atau apalah sebutannya yang berubah-ubah. Ketika mau masuk organisasi pemuda, biasanya juga ada bentuk inisiasi yang isinya bentak-membentak, hinaan, cacian, dan berbagai permainan yang katanya “mendidik toughness.”

Di arena politik, fitnah-memfitnah sangat terasa di berbagai media sosial, bahkan bentuk-bentuk fitnahan terstruktur bisa kita amati. Kultur korupsi di kalangan pejabat merupakan bentuk bully terstruktur yang merambah dari tingkat MPR hingga di bawah, demikian menurut almarhum Pakar Sosiologi Korupsi Profesor Syed Hussein Alatas dari Universitas Malaya.

Di rumah, tidak jarang orang tua mencaci-maki anak-anaknya tanpa alasan jelas, di mana “mitos”-nya, menjelek-jelekkan anak dipandang “mendidik.” Padahal ini menanamkan rasa rendah diri dan depresi dan keluarga adalah tempat pertama diri seseorang terbentuk.

Mempertimbangkan demikianlah kultur di Indonesia, bagaimana tempat kerja bisa menjadi zona aman dari pelecehan seksual dan bullying?

Pertama, amati, kenali, dan memilah-milah setiap kosa kata yang digunakan. Apakah ini mempunyai muatan yang melecehkan secara seksis (jenis kelamin, biasanya perempuan), ageis (usia tertentu), latar belakang (etnis, agama, orientasi seksual, orientasi gender, orientasi politik, kelas sosial-ekonomi, dll), dan pendidikan (biasanya yang dianggap terlalu rendah atau “jurusan unik”).

Kedua, gunakan definisi yang jelas mengenai pelecehan seksual yang mencakup verbal (dengan kata-kata), visual (dengan gambar dan ekspos diri), dan aksi (dengan perbuatan). Jangan terlalu sempit, karena akan mudah dibantah. Definisi sebaiknya terbuka untuk berbagai bentuk pelecehan yang pada awalnya tidak terduga.

Ketiga, gunakan definisi “bullying” yang tidak terlalu sempit namun cukup luas untuk bentuk-bentuk yang belum dapat diduga. Berbagai fitnah merupakan bentuk bullying klasik yang paling sering dialami sehari-hari.

Keempat, jalankan sistem yang tidak mendukung dan tidak mentoleransi berbagai bentuk pelecehan seksual dan bullying. Misalnya, setiap pegawai berhak melaporkan berbagai insiden yang dialaminya tanpa rasa takut akan dikucilkan oleh kolega dan atasan. Jadilah whistleblower (peniup peluit) yang menjunjung ekualitas dan empowerment.

Kelima, lakukan pelatihan “pelecehan seksual dan bullying di tempat kerja” secara serius dan tidak main-main. Isilah dengan berbagai simulasi dan contoh-contoh klasik. Biasanya joke/humor/becandaan sering kali merupakan bentuk-bentuk pelecehan dan bullying “terselubung” yang luput dari perhatian. Suilan kepada perempuan bukanlah pujian namun pelecehan yang merendahkan. Kenali.

Akhir kata, kritislah ketika berinteraksi dengan siapapun. Dengar, lihat, dan amati bagaimana kolega dan teman Anda membawakan dirinya di hadapan Anda. Juga, jangan membully dan melecehkan orang lain apabila Anda tidak ingin dibully dan dilecehkan.[]

KONTAN WEEKLY, 1-7 Februari 2016

Pin It on Pinterest

Share This