Image Source: Entrepreneur
[Download PDF KONTAN DAILY Whitney Wolfe dari Tinder ke Bumble]
oleh Jennie M. Xue
Whitney Wolfe membantu pendirian startup online dating Tinder sebagai salah satu co-founder, namun ia meninggalkannya di usia 24 tahun, untuk mendirikan Bumble. Bumble mirip dengan Tinder, namun female-friendly, jauh lebih lembut dan sesuai dengan harapan para pengguna perempuan.
Lulusan Southern Methodist University di Dallas ini merasakan “male and cyber bullying” selama bekerja di Tinder yang tidak dapat diungkapkannya kepada publik. Ini menginspirasinya untuk mendirikan startup yang tidak hanya female-friendly bagi konsumen, namun juga bagi para eksekutif dan pekerja yang menjalankan bisnis berbasis aplikasi tersebut.
Konsep aplikasi online dating Bumble yang ramah perempuan ini sederhana: komunikasi yang diizinkan hanya berbentuk pujian. Ini merupakan bentuk konkrit dari antitesis pengalaman pribadi Wolfe sendiri di Tinder dan dunia maya yang penuh bullying.
Wolfe menamakan konsep ini “Mercy” alias “belas kasih.” Media sosial yang ada tidak membatasi bentuk komunikasi apa saja, termasuk kritik-kritik pedas tanpa dasar, asasinasi karakter, bullying, mencaci maki, dan sebagainya.
Awalnya, Mercy tidak diarahkan untuk dijadikan dating app. Namun setelah mendengarkan saran dari partner bisnisnya Andrey Andreev, founder aplikasi Badoo, jadilah Mercy diubah namanya menjadi Bumble dan difokuskan menjadi online dating app yang ramah perempuan.
Konsep online dating dan hubungan personal online sendiri sebenarnya kurang sempurna, mengingat demikian banyak bentuk bullying dan hoax yang terjadi. Bahkan tidak jarang yang bermuara kepada kematian baik bunuh diri karena bullying maupun dibunuh oleh “online date” alias partner kencan online.
Cara kerja Bumble yang ramah perempuan itu bagaimana?
Selain hanya boleh menuliskan pesan-pesan positif dan pujian, hanya perempuan yang diizinkan untuk mengirimkan pesan pertama kepada “calon” partner kencan. Jika tidak dilakukan, match akan di-delete secara otomatis. Dalam konteks pasangan homoseksual, siapapun boleh mengirimkan pesan pertama.
Ini merupakan salah satu bentuk re-programming kebiasaan sosial di mana perempuan bukan lagi “pasif” sebagai penunggu yang tidak jarang “menjadi korban.” Namun, posisi laki-laki dan perempuan diputarbalikkan.
Dengan laki-laki yang “menunggu,” sedikit banyak proses ini membantu membiasakan mereka untuk “rendah hati” dan “tidak agresif” dalam memulai hubungan. Sebaliknya, perempuan “dilatih” untuk berani memulai dan menggunakan kacamata batin dan psikis untuk “menilai” laki-laki yang pantas untuk dikontak.
Jadi, dua jender ini belajar untuk melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan umum, agar skill yang selama ini tidak diasah, dapat digunakan. Bumble memberi kesempatan untuk melakukan hal yang berbeda dalam memulai hubungan kencan pertama.
Dalam konteks tradisional di mana laki-laki memulai dan perempuan menunggu, kedua jender ini sebenarnya “terpaksa” melakukan aksi yang bisa saja tidak sesuai dengan hati nurani. They set you up for failure.
Laki-laki jadi dipacu menjadi agresif, padahal kepribadian seseorang berbeda-beda. Bisa saja seorang laki-laki “tidak nyaman” menjadi pihak yang agresif. Sebaliknya, perempuan bisa saja “tidak nyaman” menunggu, karena kepasifan sering kali tidak berbuah apa-apa.
Dalam aplikasi online dating konvensional, setiap foto profil turut berperan sebagai “topeng” sehingga bentuk-bentuk agresi terjadi dengan mudah. Wolfe mengklaim bahwa Bumble memberi kesempatan bagi perempuan untuk berperan aktif dengan memuji. Dan ini memberi rasa nyaman bagi laki-laki.
Foto profil di Bumble terbagi beberapa kategori: foto yang menonjolkan kepribadian, foto pose unyu, foto pose berani (bukan telanjang atau mesum), foto dengan keluarga (ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, binatang piaraan, dsb), foto hobi, dan foto dengan pakaian resmi (full dress). Jadi, unsur kepribadian menarik dan kekeluargaan sangat diutamakan.
Bagaimana Bumble memperoleh para pengguna pertama? Wolfe menggunakan skill yang didapat ketika bekerja di Tinder, yaitu berbicara dari hati ke hati di muka para mahasiswa/i. Dan tampaknya para mahasiswi pernah merasakan “male bullying” via aplikasi dating online.
Ia juga menarik hati para mahasiswa dengan memberikan pizza gratis dengan boks yang berstiker “Bumble.com” di dormitori-dormitori universitas. Kue kering (cookies) juga dibagi-bagikan dengan bungkus bertulisan Bumble. Membidik captive market di kampus, jenius.
Bumble bukan hook-up app seperti Tinder, namun merupakan pemecah hening dimulainya hubungan pribadi baru dengan perempuan sebagai penggerak awal. Dan lingkungan zero tolerance terhadap kekerasan verbal (dan fisik, tentunya), inilah yang menjadikannya aplikasi female-friendly ini sangat digemari.
Konsep bisnis jenial yang patut dijadikan studi kasus best practice.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 10 November 2017