Select Page

hallway-450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN WEEKLY Ubah Paradigma Ubah Hidup]

oleh Jennie M. Xue

Segala sesuatu berawal dari paradigma. Paradigma merupakan konsep atau perspektif yang digunakan dalam memandang atau mengerjakan sesuatu. Dengan paradigma yang tepat, hal-hal yang kelihatannya sulit atau mustahil untuk dikerjakan, ternyata bisa diselesaikan dengan baik atau gemilang.

Perubahan paradigma atau “paradigm shift” sering kali diperlukan dalam menyelesaikan suatu persoalan atau dalam menjalankan hidup agar lebih bermakna dan lebih positif. Setelah mengalami masa-masa sulit atau hal-hal yang diluar dugaan namun cukup memberikan trauma psikis dan mental, biasanya perubahan paradigma terjadi sebagai akibat.

Seseorang yang ditinggal mati oleh pasangannya atau mengalami shock berat lainnya, seperti kehilangan tempat tinggal maupun pekerjaan, biasanya mengalami perubahan paradigma personal. Ketika mengalami guncangan karena masalah sosial, politik, atau ekonomi yang tidak terduga, seperti menjadi korban huru-hara atau mengalami kebangkrutan masal, maka paradigma yang berubah lebih dari sekedar personal.

Seorang remaja yang terbiasa hidup mudah dan enak mengingat semua pengeluaran ditanggung oleh orang tua, ketika beranjak dewasa ternyata butuh stamina ekstra dalam mencari nafkah. Biasanya, di fase transisi ini terjadi suatu perubahan paradigma sehingga ia bisa bertahan bahkan berprestasi ketika telah dewasa.

Intinya, dalam memandang dan mengerjakan apapun, kita mempunyai pilihan. Setiap “aksi” akan membawa suatu “hasil.” Dan di tengah-tengah keduanya, ada “gap” alias “jeda” yang merupakan kesempatan untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Jeda” ini merupakan kesempatan untuk berpikir sejenak tentang makna sebenarnya dan bagaimana langkah berikut bisa membawa perubahan yang baik. Idealnya, ini memerlukan latihan dan disiplin diri dalam berpikir dan mengungkapkan pikiran.

Sebagai contoh, ketika seseorang baru diceraikan pasangan hidupnya, efek yang dirasakan adalah sakit hati dan trauma psikis. Saat itu, paradigma yang digunakan berasal dari programming masa kecil dan pendidikan kita. Kita tidak sempat berpikir lagi ketika sakit hati melanda. Kita hanya bereaksi sebagai akibat.

Dengan kesadaran bahwa sesungguhnya ada jeda antara suatu kejadian dengan reaksi dari kita, kita bisa berbuat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang berarti. Sesuatu yang bermakna hingga bertahun-tahun di muka.

Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang orang tua yang mencela dan menyalahkan anak-anak mereka untuk hal-hal yang sesungguhnya di luar kendali maupun sebenarnya sangat sepele. Sebagai contoh, orang tua terkadang menyalahkan anak dengan berkata, “Ayahmu tuh tidak beres” dan “Anak yang menyusahkan orang tua.” Tanpa disadari, orang tua terkadang memberi stigma yang tidak benar dan mengecilkan hati anak.

Sebaliknya, ada beberapa orang tua yang sangat selektif dalam menegur anak mereka. Salah satu yang berkesan adalah: Saya hanya akan menegurnya apabila ksesalahan itu akan berakibat buruk sepuluh tahun kemudian. Apa maksudnya?

Misalnya, si anak lupa membawa jaket untuk bepergian malam hari. Apa efeknya dalam satu, dua, lima, dan sepuluh tahun lagi? Tidak ada, bukan? Si ibu merasa tidak perlu menegurnya, hanya mengingatkan saja untuk membawa jaket sehingga tidak kedinginan lain kali.

Suatu hari si anak lupa untuk mengumpulkan pekerjaan rumah (PR) Matematika? Apa tindakan si ibu? Menegurnya dan mengingatkan. Ini merupakan pilihan rasional mengingat PR yang dikerjakan dengan baik merupakan latihan untuk ujian akhir yang menentukan nilai akhir dan berujung dengan apakah ia akan diterima di jurusan tertentu di universitas favorit. Efek dari tidak mengerjakan dan mengumpulkan PR bisa terbawa hingga sepuluh tahun bahkan lebih.

Dalam kasus ini, si ibu menggunakan “jeda” untuk berpikir dengan jernih. Apakah perlu ia menegur si anak karena tidak membawa jaket? Ketika ia tidak mengerjakan PR, sudah jelas ia perlu ditegur dan diingatkan. Si ibu mengenal besar atau kecilnya kasus dan efeknya secara jangka panjang.

Dalam “mengubah paradigma” untuk ketenangan hidup diri sendiri, yang perlu diingat adalah “apa efek jangka panjang” perspektif yang satu dengan perspektif yang lain? Apakah dengan menyalahkan diri sendiri dan menjadi stres berat akan menjawab pertanyaan? Apakah dengan berpikir terlalu panjang ke masa depan sehingga terjadi kekawatiran yang sering kali tidak diperlukan maka akan memperbaiki kesalahan?

Dalam manajemen dan bisnis, mengingat “jeda” antara pencetus dengan reaksi merupakan kunci decision making yang baik.

“Being mindful” diajarkan dalam kelas-kelas meditasi dan yoga, sehingga seseorang bisa membedakan mana yang perlu diatasi sekarang, mana yang tidak perlu dihiraukan, dan mana yang perlu ditunda. Dengan kata lain, “being mindful” merupakan penggunaan panca indera di saat ini dan di tempat ini. Sekarang.[]

KONTAN WEEKLY, 6-12 Juni 2016

Pin It on Pinterest

Share This