[Download PDF KONTAN DAILY Tren Startup Hijau]
oleh Jennie M. Xue
Perubahan iklim (climate change) telah merenggut banyak nyawa dan merusak alam dengan kebakaran hutan dan berbagai macam bencana alam. Namun bagi yang berjiwa wirausaha, green trend ini memberi inspirasi green startups dalam memberi solusi.
Ya, green startups adalah tren yang sangat nyata. Jauh lebih nyata daripada startup-startup pencetak carbon footprint masif dan startup-startup foodie yang menjamur.
Intinya, green startup ini memberi solusi akan masalah-masalah ekologi. Dan ini tidak berarti melulu mengenai recyclable packaging, mobil listrik, atau pembangkit listrik renewable.
Tiga kategori besar green startup mencakup: transportasi, agritech, dan manajemen pembuangan (waste management).
Transportasi. Kendaraan listrik semacam Tesla jelas semakin menjamur seperti Weltmeister (China) dan ChargePoint (California). Aplikasi pemanggil taksi yang cukup berkembang di Eropa dan Afrika adalah Bolt. Di China, jelas Didi Chuxing meraja. Kendaraan roda dua alias sepeda yang diperhitungkan saat ini adalah Mobike (China) dan Lime (California).
Agritech sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim, terutama dengan mengurangi emisi greenhouse gas yang disebabkan oleh gas methane dari kentut sapi. Daging yang ditumbuhkan di laboratorium mulai ditawarkan oleh Impossible Foods, Beyond Meat, Just, Terramino Foods, Mosa Met, Memphis Meats, Aleph Farms, dan Finless Foods.
Pertanian cerdas (smart farming) yang didukung oleh Google Ventures termasuk Bowery Farming yang mempelopori pertanian urban dengan menggunakan lahan susun di gedung-gedung pertingkat. TerrAvion memetakan tanah dengan heat dan soil maps untuk mengidentifikasi daerah-daerah problematik dan memberi solusi tepat.
Selain itu, AquaSpy merupakan startup agrikultur yang membantu monitoring kondisi tanah, termasuk kelembaban dan suhu. PowWow Energy adalah startup yang memonitor aliran air dalam proses irigasi dengan mengurangi sampah.
Dalam manajemen pembuangan darat dan laut, startup-startup hijau memutarbalikkan sampah menjadi produk berguna. Bakey’s di India, misalnya memproduksi alat-alat makan seperti sendok garpu yang bisa dimakan sekaligus. Dan ini ternyata sangat tinggi peminatnya dengan omzet USD 2,25 juta di tahun 2016.
Startup pengolah sampah The Great Bubble Barrier (Belanda) memenangkan kompetisi The Green Challenge dengan memberikan solusi busa air laut yang naik di laut untuk mengalihkan sampah plastik tanpa mengganggu kehidupan laut. Startup Olio menggunakan aplikasi yang memungkinkan komunitas dan bisnis untuk saling berbagi sisa-sisa makanan kepada yang membutuhkannya. Olio telah dibiayai oleh Octopus Ventures sebesar USD 6 juta.
Rubicon Global adalah unicorn dalam bidang persampahan. Mereka memberikan jasa pengangkatan sampah dengan harga terjangkau. ZenRobotics adalah startup robot yang dapat mensortir jenis-jenis sampah sehingga proses recycle dapat diminimalisir.
Di Indonesia dan Asia Tenggara, green startup masih bisa dihitung dengan jari. Evoware dari Indonesia, misalnya menggunakan rumput laut untuk membuat kontainer makanan.
EcoWorth Tech berbasis di Singapura menciptakan materi yang dapat membersihkan sampah industrial berbentuk cairan. Startup ini diawali di Nanyang Technical University.
BlueRen mengolah kembali sampah plastik menjadi karbon nanotube yang lebih kuat dari baja dan dapat digunakan sebagai konduktor listrik dalam industri optik, elektronik, energi, dan nanoteknologi.
Sebagai tahap awal, masyarakat Indonesia sudah semakin go green dengan berbagai usaha minimalisasi penggunaan plastik dan daur ulang berbagai jenis sampah. Idealnya, usaha-usaha ini ditingkatkan lebih serius lagi dengan R&D hijau yang mendalam.
Berbagai bentuk usaha pelestarian alam, daur ulang, dan potensi energi recyclable merupakan kunci dari masa depan umat manusia. Climate change perlu menjadi fokus setiap tindakan bisnis dan politik. Karena tanpa bumi yang sehat, manusia pasti binasa.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 17 Januari 2020