KONTAN Weekly Tren Brand Publishing
oleh Jennie M. Xue
Internet dan media online mengubah dunia penerbitan, jurnalisme, dan branding. Kini, ketiganya semakin dekat dan sulit untuk dibedakan. Branding terbaik terjadi ketika para konsumen tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam proses “pencucian otak.” Dan ini sangat efektif ketika dikombinasikan dengan jurnalisme dan penerbitan.
Jurnalisme murni berkode etik tinggi dengan menjunjung nilai-nilai obyektivitas dan respek terhadap kepentingan publik. Namun tren terbaru dalam jurnalisme dan Internet marketing yang bernama “brand publishing” semakin mengaburkan nilai-nilai tersebut.
Perlu diingat bahwa istilah “brand journalism” adalah terminologi yang kurang tepat. Istilah “brand publishing” populer di kalangan pemasar dan publisis.
Brand publishing bukan advertorial. Advertorial adalah artikel pendek yang ditulis dengan struktur feature story dan biasanya diisi dengan berbagai karakteristik positif suatu produk dan bagaimana produk tersebut telah memberi makna positif bagi konsumen.
Brand publishing juga dikenal sebagai “native advertising” merupakan “content marketing” inovatif yang menggabungkan prinsip-prinsip jurnalisme dengan kreativitas dunia periklanan. Anda pasti pernah dengar tentang twit-twit berbayar di Twitter dan post-post berbayar di FaceBook. Keduanya termasuk “native advertising” dan “memasarkan melalui konten” alias “content marketing.”
Brand publishing sudah merambah Indonesia. Dua Web site dengan konsep ini antara lain Sampo Clear dengan clear.co.id dan Sampo Pantene dengan panteneindonesia.co.id.
Di dunia internasional, Red Bull magazine mencapai 2 juta pembaca setiap bulan. Ini merupakan salah satu contoh sukses luar biasa brand publishing. Nestle dan Purina menciptakan 1500 unit konten per hari yang menggunakan merek mereka (brand publishing). PetCentric milik Purina menerima trafik 38 juta hit pengunjung per bulan dari Facebook.
Restoran Chipotle memproduksi mini seri video Web Farmed and Dangerous (http://www.farmedanddangerous.com) yang mendapatkan 500 juta impresi online. Angka luar biasa untuk brand publishing bermodalkan video. Terbukti bahwa setiap merek berpotensi untuk berkembang sebagai media bisnis.
Namun brand publishing tidak terbatasi oleh Web site eksklusif untuk brand tersebut. Brand publishing dapat berbentuk artikel-artikel independen maupun serial yang diterbitkan oleh berbagai publikasi print dan digital prestigius. Forbes dan Medium-Matter, misalnya, telah lama berhasil dengan model ini.
Artikel-artikel di media massa prestigius seperti New York Times juga telah menerapkan konsep ini. Netflix dengan serial televisi berbayar “Orange is the New Black” membayar jurnalis New York Times untuk menulis dan mempublikasikan artikel berjudul “Women Inmates: Why the Male Model Doesn’t Work” (http://paidpost.nytimes.com/netflix/women-inmates-separate-but-not-equal.html).
Perhatikan logo “Brand Studio” di pojok kiri atas dan logo “Netflix dan Orange is the New Black” di tengah atas artikel. Juga ada tulisan “paid post” di atas judul artikel. Ini semua adalah ciri-ciri “brand publishing” dalam bentuk “native advertising” dengan konsep “content marketing.”
Apakah “brand publishing” merupakan ancaman bagi jurnalisme tradisional? Sebenarnya tidak. Karena keduanya merupakan dua bidang berbeda yang kebetulan menggunakan ketrampilan dan medium yang sama. Brand publishing merupakan bagian dari dunia periklanan. Mirip advertorial panjang namun disajikan dalam citarasa jurnalisme alias long-form journalism.
Indikator keberhasilan suatu kampanye brand publishing bisa diperhatikan dari kuantitas trafik, “share” dan “like” artikel tersebut di Web site yang bersangkutan. Dan yang menjadi faktor pembeda dari kampanye yang sukses adalah gabungan antara unsur berita, unsur promosi, dan keterlibatan konsumen sehingga batas-batas menjadi kabur.
Tren hingga hari ini menunjukkan bahwa “brand publishing” berusaha meningkatkan kesadaran publik akan isyu-isyu yang tidak berorientasi pada profit, misalnya kesahatan, lingkungan, kemanusiaan, dan keindahan. Dan ini merupakan fokus menggigit yang terkadang agak sulit membedakannya dari “jurnalisme konvensional.”[]
KONTAN Weekly, 29 Desember – 4 Januari 2014