KONTAN Daily Transformasi Samsung
oleh Jennie M. Xue
Baru beberapa tahun terakhir ini nama Samsung Electronics menjulang tinggi. Sebelumnya, ia dikenal sebagai produsen elektronik dengan pasar global biasa-biasa saja. Di tahun 1990an, Samsung sudah merajai pasar lokal Korea Selatan, namun masih belum mampu bersaing dengan produk-produk Jepang di pasar global.
Mengapa Samsung berhasil merajai pasar global sekarang? Apakah ada hubungannya dengan semakin menjulangnya K-Pop dengan lollypop culture-nya yang warna-warni dan cute (kawai)?
Pertama-tama, Samsung mempunyai blueprint strategi global yang mengikuti perkembangan zaman. Saat ini, demokratisasi, globalisasi, dan digitisasi merupakan motor penggerak berbagai industri, termasuk industri elektronik. CEO Samsung Lee Kun-Hee memulai inisiatif ini di tahun 1993.
Strategi ini mentransformasi Samsung dengan memenangkan kompetisi perdagangan dan membangun jalur yang mengambil kesempatan-kesempatan emas. Desain produk dan diversifikasi produk merupakan kebutuhan utama dalam memenangkan kompetisi global. Saat ini, smartphone dan komputer tablet Samsung merajai pasar dan mengikuti jejak Apple dengan iPhone dan iPadnya.
Uniknya, pada awal pertumbuhan Samsung, merek ini sulit bersaing dengan elektronik yang masih analog. CEO Lee berhasil menanamkan daya saing luar biasa di era digital yang tumbuh berikutnya. Dengan New Management Initiatives, elemen-elemen operasional, strategi korporat, sistem manajemen, dan kompetensi inti diperbaharui.
Dengan SERI (Samsung Electronic Research Institute) yaitu badan litbang dan thinktank sejak 2004, berbagai data set mulai dicatat dengan seksama. Padahal sebelumnya merupakan barang langka. Salah satu tujuan dari SERI adalah mengedukasi publik dan dunia akademis akan sistem-sistem dalam manajemen Samsung yang sangat patut dijadikan benchmark dalam industri elektronik.
Setelah 20 tahun, Samsung telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang powerful dan berpengaruh luas dalam dunia bisnis elektronik Asia dan bisnis global. Demikian menurut Professor Song Jaeyong dan Professor Lee Kyungmook dari Seoul National University Business School dalam bukunya The Samsung Way.
Di tahun 2014 ini, Samsung berhasil meraih ranking ke-21 sebagai “World’s Most Admired Companies” versi Fortune. Di tahun 2013, total omzet mencapai USD 201 miliar dengan keuntungan operasional USD 34 miliar.
Angka omzet melampaui Hewlett-Packard, Apple, dan Siemens. Dan ini menempatkannya sebagai perusahaan IT terbesar sejak 2010. Samsung juga merupakan produsen memory chip terbesar di dunia selama 21 tahun berturut-turut dan televisi selama 8 tahun berturut-turut.
Di tahun 2013 saja, Samsung mendaftarkan 4676 paten di US Patent and Trademark Office. Ini menunjukkan inovasinya yang luar biasa mencapai ranking ke-2 menurut Boston Consulting Group. Nilai merek Samsung sendiri telah melampaui Toyota. Di tahun yang sama, Samsung juga menerima 9 penghargaan dalam Industrial Design Excellence.
Pricing strategy Samsung juga telah mengalami perubahan sejak 1990an, di mana mereka menjual produk-produk kelas dua dengan harga belum premium. Kini, mereka mempunyai aliansi strategis dengan Sony, IBM, Microsoft, Intel, Qualcomm dan HP.
Dengan apresiasinya nilai yen mengikuti 1985 Plaza Agreement, produsen-produsen Jepang mencari tempat manufaktur yang lebih rendah biayanya, termasuk di Korea Selatan. Di masa elektronik analog tersebut, tampaknya menjaga status quo lebih penting daripada melakukan berbagai inovasi.
CEO Lee berhasil mengidentifikasikan problem ini sehingga dengan New Initiative-nya menjawab tantangan zaman digital baru dengan berbagai adaptasi dan konvergensi teknologi. Jadi, ada unsur good timing di sini. Ketika era elektronik analog berakhir, Samsung maju dengan inovasi-inovasi digital terbaru. Dan ini menjadi kekuatan Samsung baru.
Ketika Krisis Asia 1997 terjadi, Samsung terpaksa merestruktur bisnis dan organisasi. Samsung semakin berkibar karena krisis ini. Hal serupa terulang ketika terjadi Krisis Finansial 2008 yang diawali dengan runtuhnya Lehman Brothers. Saat itu, penjualan iPhone mengalami penurunan 15,5 persent karena krisis, yang merupakan kesempatan bagi Samsung sehingga market share naik ke titik 32,3 persen.
Inovasi dalam konteks “manajemen paradoks” sebagaimana CEO Lee kemukakan, merupakan kunci harmonisasi sukses global. Manajemen Paradoks sendiri dikenal dengan kecepatan proses, diversifikasi dan spesialisasi, dan penggabungan Gaya Manajemen Jepang dan Amerika Serikat.
Singkat kata, perpaduan “good timing,” membidik peluang, dan keberhasilan dalam menerapkan gaya manajemen Timur dan Barat, mengakselerasi pertumbuhan Samsung. []
KONTAN Daily, Jumat 5 Desember 2014