[Versi yang telah diedit oleh redaksi dalam PDF Tentang AS dalam Panama Papers]
Di bawah ini adalah versi yang belum diedit oleh redaktur Stabilitas.
oleh Jennie M. Xue
Panama Papers mengekspos operasi internal firma hukum berbasis di Panama Mossack Fonseca. Data yang dibocorkan jauh melebihi Wikileaks, yaitu sebesar 2,6 TB (terabyte) yang merekam informasi 40 tahun mengenai 210.000 perusahaan di 21 jurisdiksi offshore.
Sebagai perbandingan, bocoran Wikileaks oleh Julian Assange hanya sebesar kurang lebih 60 (enam puluh) GB (gigabyte). Sebesar apakah 2,6 (dua koma enam terabyte) TB itu? 2.600 GB (dua ribu enam ratus gigabyte). Artinya, volume Panama Papers 43,3 (empat puluh tiga koma tiga) kalinya Wikileaks.
Kegemparan yang disebabkan oleh tiupan peluit ICIJ (International Consortium of Investigative Journalists) ini bisa jadi puluhan kali lipat yang disebabkan oleh Julian Assange. Dan ini bisa diamati dari kemunduran Perdana Menteri Iceland Sigmundur Davíð Gunnlaugsson, kebungkaman Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan kegelisahan berbagai nama besar lainnya.
Kebocoran masif 11,5 juta rekaman data ini membuka borok 12 pemimpin dunia yang masih berkuasa maupun yang telah pensiun dan mangkat. Selain itu, 128 politisi dunia juga terlibat. Para klien lainnya, termasuk para drug trafficker, miliarder, diktator, selebriti, dan para atlet profesional.
Indonesia tentu tidak ketinggalan, demikian pula Amerika Serikat. Walaupun nama-nama yang berasal dari AS hanya segelintir dan bukan “kelas kakap.” Fenomena bahwa warga dan entitas AS hampir tidak ada di dalam daftar telah membuka tanda tanya tersendiri.
Siapa saja yang berasal dari Indonesia? Antara lain termasuk para nama besar: Erick Thohir, Rosan Roslani, Erwin Aksa, Budiono Darsono, Gita Wirjawan, Anthoni Salim, James Riady, Pieter Tanuri, Sandiago Uno, Garibaldi Thohir, Chairul Tanjung, Hilmi Panigoro, Muhammad Riza Chalid, dan Djoko Soegiarto. Sedangkan para miliarder kelas kakap AS seperti Donald Trump, Bill Gates, Warren Buffett, Rockefeller, dan lainnya tidak ditemui di dalam dokumen Panama Papers.
Apakah dengan hanya segelintir warga “bukan kelas kakap” AS yang terdaftar ini merupakan bukti bahwa warga dan entitas AS lebih “patuh hukum” daripada mereka yang berasal dari Eropa, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Afrika? Apakah AS sendiri merupakan “tax haven” bagi para pembayar pajak?
Pertama, warga dan entitas AS tidak lebih “suci” dan lebih “patuh hukum” daripada mereka yang berasal dari belahan dunia lain. Sejarah menunjukkan bahwa pebisnis AS malah merupakan “pelopor” akun offshore sejak dulu kala.
Di tahun 1970an, ada kasus the Castle Bank & Trust di Bahamas yang mengekspos para mafia dan pemilik hotel chain seperti Hyatt. Bahkan beberapa tahun lalu, puluhan miliar USD aset milik entitas AS ditemukan dalam akun-akun di UBS dan Credit Suisse dalam skandal akun bank Swiss.
Kedua, argumen bahwa AS adalah “tax haven” dengan kerahasiaan terjamin bagi mereka yang mendirikan perusahaan “shell company” di negara-negara bagian Nevada, Delaware, dan Wyoming merupakan argumen yang salah.
Walaupun dalam database state secretary negara-negara bagian tersebut diperbolehkan hanya mencantumkan nama registran yang merupakan staf dari firma hukum, dalam prakteknya “piercing the corporate veil” oleh pemerintah federal sangat mungkin mengingat ketatnya penerapan pajak. Tax evasion dan tax avoidance merupakan pelanggaran kriminal yang serius.
Ketiga, argumen bahwa AS hanya mengenakan pajak pada penghasilan saja dan tidak mengenakan pajak pada aset juga merupakan argumen yang salah. Di tingkat federal, memang hanya dikenakan pajak atas penghasilan progresif dan berdasarkan “earned” (penghasilan hasil kerja dan keuntungan bisnis aktif) dan “unearned” (penghasilan pasif residual), namun di tingkat county, aset properti dikenakan pajak tahunan antara 1 persen hingga 1,89 persen dari purchased value atau nilai apraisal terakhir.
Dalam sistem perpajakan AS, ada empat tingkat pembayaran pajak. Di tingkat federal, ada pajak pendapatan federal yang bertingkat progresif. Di tingkat negara bagian, ada pajak pendapatan negara bagian, kecuali di negara-negara bagian tertentu seperti Alaska, Florida, Nevada, South Dakota, Texas, Washington and Wyoming.
Di tingkat county, setiap properti yang merupakan aset pribadi maupun entitas bisnis akan dikenakan pajak sebesar 1 persen hingga 1,89 persen per tahun dari purchased value atau hasil apraisal terakhir. Di tingkat city, ada pembayaran pajak yang dinamakan tax assessment untuk pembiayaan sarana-saran umum. Selain itu, di tingkat city, juga dikenakan pajak penjualan (sales tax) yang bisa mencapai 10 persen.
Yang menarik, “offshoring” sebagai strategi tax evasion dan tax avoidance ini juga dipraktekkan oleh korporasi-korporasi super raksasa dunia kesayangan konsumen, seperti Apple, Amazon, dan Google dalam menurunkan pajak penghasilan korporate (corporate income tax). Perusahaan komputer raksasa Apple yang berkantor pusat di Cupertino, California pernah melakukan tax evasion sebesar USD 44 miliar dengan tidak melaporkan pajak offshore mereka.
Caranya bagaimana? Dengan mengalirkan pendapatan ke subsidiari mereka yang bernama Apple Operations International dan Apple Sales International. Dua entitas ini berneksus hukum di Irlandia. Di sana, mereka hanya dikenakan 2 persen pajak penjualan korporat. Demikian pula subsidiari Amazon di Inggris Raya yang beromzet Euro 4,3 miliar namun hanya membayar pajak Euro 2,4 juta mengingat mereka menggunakan “tax haven” Irlandia. Irlandia adalah “tax haven” bagi Apple dan Amazon. Total profit Apple yang disimpan offshore mencapai USD 181 milyar.
Bahkan Google yang bermarkas di Mountain View, California juga dikenal dengan strategi meminimalisir pajak dengan melibatkan berbagai negara sebagai lokasi “transit” penghasilan, seperti Irlandia, Belanda, dan Bermuda.
Bermuda dikenal sebagai “tax haven” mengingat rezim yang bersahabat dengan regulasi ala Irlandia dan Belanda yang “mengizinkan keuntungan untuk pindah ke tempat lain” alias “mengizinkan offshoring.” Selain itu, Cayman Islands merupakan destinasi favorit lebih dari 80.000 perusahaan dunia, termasuk yang berasal dari AS.
Untuk aset-aset properti yang dimiliki oleh Apple, Amazon, dan Google, tentu saja mereka membayar pajak properti tahunan yang bisa mencapai 1,89 persen dari purchased value atau nilai apraisal terakhir. Bayangkan, untuk satu gedung seharga USD 100 juta, misalnya, pajak properti per tahun yang dibayarkan mencapai USD 1 juta dengan asumsi pajak sebesar 1 persen.
Data terakhir dari LSM yang memerangi kemiskinan Oxfam, tiga perusahaan multinasional AS terbesar yaitu Apple, Walmart, dan General Electric menyimpan USD 1,4 trilyun di “tax havens,” padahal mereka (terutama Walmart) menerima trilyunan dollar bantuan dari para pembayar pajak (seperti dalam bentuk benefit bagi para pekerja mereka yang berada di bawah garis kemiskinan). Tiga perusahaan raksasa ini menggunakan jaringan kompleks lebih dari 1.600 perusahaan subsidiari offshore sebagai “celengan” profit mereka.
Bill Gates secara pribadi memang sangat karitas dengan berbagai kegiatan sosial Bill and Melinda Gates Foundation. Namun Microsoft “tidak kalah” dalam offshoring profit mereka. Total USD 108 miliar disimpan di tax haven. Microsoft, Google (dengan holding bernama Alphabet), dan Exxon Mobil termasuk dalam jajaran 10 perusahaan AS terbesar yang melakukan offshoring profit.
Menurut ICIJ, dari 11,5 juta file dalam Panama Papers hanya disebutkan 211 individu yang beralamat di AS dan belum tentu merupakan warga negara AS (US citizen). Nama-nama mereka tidak seberapa bergaung, sehingga publikasi mereka kurang mendapatkan perhatian media karena tidak mempunyai nilai berita memadai. Salah satu warga AS yang cukup dikenal “hanyalah” seorang coach investment advisor bernama Marianna Olszewski, penulis buku Live It, Love It, Earn It: A Woman’s Guide to Financial Freedom. Olszewski menarik USD 1,8 juta dari entitas offshore yang diinvestasikannya tanpa membuka identitasnya kepada bank tempat dana bernaung.
Namun benarkah hanya segelintir individu dan entitas AS yang terlibat ekspose Panama Papers? Tidak benar. Karena yang “terlibat” bukan hanya mereka yang menjadi “klien,” namun mereka yang juga terlibat sebagai “jembatan” alias “perpanjangan tangan.”
Data ICIJ menunjukkan bahwa sekitar 14.000 bank-bank intermediari, firma-firma hukum, perusahaan-perusahaan, dan middlemen membantu mendirikan perusahaan, yayasan, dan trust di Panama. Dan 617 dari mereka berbasis di AS. Ini merupakan bukti “keterlibatan” AS dalam Panama Papers, walaupun dalam bentuk berbeda.
Jadi, dengan memperhatikan sejarah, para warga dan entitas AS sesungguhnya punya tempat favorit lain ketimbang Panama untuk “offshoring.” Ini cukup mengherankan. Mengapa memilih Irlandia, Bahamas, dan Cayman Islands misalnya?
Pertama, US Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) mulai berlaku Maret 2010. Implementasi hukum secara menyeluruh baru dilakukan lima tahun kemudian bagi pemegang offshore account. Jadi, ada waktu untuk membenahi dan menutup akun-akun yang dapat dikenai sangsi. (Referensi: http://www.reuters.com/article/usa-tax-fatca-idUSL2N0HN15T20130927)
Kedua, hubungan diplomatik bilateral antara AS dan Panama. Di tahun 2010, kedua negara ini menandatangani trade-promotion agreement (perjanjian bilateral perdagangan) yang memberikan otoritas kepada AS untuk meminta informasi mengenai kepemilikan perusahaan, partnership, trust, yayasan, dan entitas-entitas lainnya termasuk dalam kepemilikan berantai. Jelas para warga dan entitas AS yang punya akun offshore tidak berkutik di Panama dan memilih untuk tidak bergerak di sana. (Referensi: https://ustr.gov/trade-agreements/free-trade-agreements/panama-tpa)
Konklusinya, warga dan entitas AS ada yang terlibat Panama Papers, bahkan cukup banyak yang terlibat sebagai “jembatan” alias “middlemen.” Fakta bahwa hanya segelintir warga dan entitas AS yang nama-namanya tercantum dalam daftar Panama Papers tampaknya disebabkan karena regulasi AS akan “offshore account” dan perjanjian bilateral antara AS dan Panama yang membuat mereka enggan bertransaksi di Panama.
Sedangkan hipotesis bahwa “AS adalah tax haven” dan “aset tidak dikenakan pajak” tidak terbukti. Bahkan perusahaan-perusahaan besar favorit konsumen seperti Apple, Google, Microsoft, General Electric, dan Walmart telah diverifikasi oleh Oxfam sebagai pengguna tax haven untuk offshoring profit mereka. Oxfam kini sedang mendesak pemerintah AS untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Stop Tax Haven Abuse Act di mana setiap entitas wajib melaporkan penghasilan global dan kontribusi pajak di setiap negara di dunia. []
Jennie M. Xue adalah pengamat globalisasi independen, pebisnis, dan kolumnis bermukim di California. Ia dapat dijumpai di JennieXue.com.
STABILITAS, Mei 2016