[Download PDF KONTAN Weekly Televisi dalam Dunia Digital]
oleh Jennie M. Xue
Di negara-negara maju, seperti AS, Inggris, dan Australia, semakin banyak yang mensubstitusi televisi dengan layar monitor laptop atau komputer tablet. Di Indonesia, mereka yang berpendidikan cukup tinggi juga sudah semakin percaya kepada Internet daripada acara-acara televisi yang terkadang “mengganggu” kecerdasan. Bahkan pemancaran televisi telah bersistem digital, tidak lagi analog.
Menurut riset Nielsen, dalam dua tahun terakhir, para pemirsa tidak lagi meluangkan 20 persen waktu mereka menonton di muka layar televisi. Berkurang drastis.
Di tahun 2013 saja, satu dari lima penduduk AS menonton acara televisi via smartphone. Data di Indonesia belum diverifikasi, namun bisa dimengerti apabila para penduduk urban lebih memilih untuk menonton layar laptop, tablet, dan smartphone mereka. Jika program-program televisi merupakan “indikator” demografi pemirsa, tampaknya semakin rendah pendidikan seseorang, semakin lama ia nongkrong di muka layar kaca.
Smartphone telah menjadi “layar utama” dalam kehidupan modern teredukasi, bukan lagi televisi. Sejak bangun pagi hingga tengah malam di peraduan, layar pertama yang dipandang adalah layar smartphone, bukan? Bahkan data menunjukkan 68 persen pengguna gadget telah mengecek email mereka sebelum jam 8 pagi.
Evolusi dari layar besar dan tebal yaitu set televisi hingga layar iphone yang jernih luar biasa dan mungil membutuhkan fase transisi. Ini berarti mengubah hardware, software, dan brainware.
Fire TV milik Amazon, Apple TV, dan Google TV-pun telah bermetamorfosis. Satu flash drive USB saja sudah cukup untuk mensubstitusi dekoder TV kabel dan satelit yang kini tampak seperti “raksasa.”
Pemasangan iklan, advertorial, dan brand publishing semakin rumit dan tidak lagi “semudah” dulu. Berbagai format perlu dipertimbangkan dan kompatibilitas sudah merupakan kebutuhan. Platform “responsif” merupakan sebutan bagi berbagai CMS (content management system) yang secara otomatis beradaptasi untuk berbagai layaer. Ini dari segi software.
Dulu iklan hanya perlu tampak cantik di layar kaca tebal. Kini gambar dan teks sangat penting tampak menarik dan informatif tanpa membebani audiens layar mini nan tipis. Juga responsif dalam berbagai platform, seperti Microsoft, OSX, Android, iPhone, dan sebagainya.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Omnicom Digital, 78 persen dari para marketer profesional menerapkan multi-channel campaign. Berbagai solusi baru yang menambah nilai bagi audiens telah dan akan terus ditawarkan.
Industri aplikasi kini mencapai USD 25 miliar dan diprediksi akan mencapai USD 77 miliar di tahun 2017, menurut Gartner Inc. Sedangkan industri game mencapai USD 93 miliar di tahun 2013. Jumlah aplikasi yang didata dari Apple iTunes dan Google Play mencapai 700.000 dan masih terus bertumbuh.
Lantas, bagaimana dengan masa depan televisi? Televisi tabung kaca jelas sudah hampir mati namun konsep “televisi” sebagai sarana broadcast video, audio, gambar, dan teks telah diambil alih oleh layar-layar gadget dan tongkat USB.
“Televisi” akan berubah menjadi “konsep filosofis,” yaitu suatu institusi yang menciptakan program-program alias konten yang sesuai dengan selera pasar. Konten telah menjadi dua arah, di mana pemirsa dapat berperan aktif dengan meng-upload sendiri video, audio, gambar, dan teks melalui situs institusi maupun blog korporat. Komunikasi telah terjadi secara organik dan “telanjang.”
CNN dan stasiun-stasiun besar lainnya, misalnya, mempunyai seksi yang menerima video dari para citizen journalists yang memberi warna organik dan lebih tulus. Bagian “comment” dari video-video program yang ditayangkan juga di Internet memberikan kesempatan bagi pemirsa untuk mengemukakan pendapat.
Dari segi “brainware,” attention span ideal kini berkisar satu sampai tiga menit per segmen. Dari berita hingga narasi maupun gabungan keduanya yaitu “brand journalism,” idealnya dikemas dalam bentuk singkat dan padat.
Memang ini merupakan “native” dari digitalisasi peradaban manusia. Semakin demokratis, namun juga semakin mekanis. Bahkan robotik. Kuncinya adalah bagaimana menyeimbangkan digitalisasi dengan storytelling. Menurut Ernst & Young, salah satu tren penting dalam masa depan “konsep televisi” adalah storytelling yang semakin memberi sentuhan bagi pemirsa bahwa digitalisasi sejalan dengan aktivitas-aktivitas sosial.[]
KONTAN Weekly, 23-29 Maret 2015