
Image Source: Adidas.com
[Download PDF KONTAN DAILY Tantangan Bagi CEO Baru Adidas]
oleh Jennie M. Xue
Adidas punya CEO baru bernama Kasper Rorsted terhitung Oktober 2016, menggantikan Herbert Hainer yang memegang posisi tertinggi tersebut sejak 2001. Rorsted meninggalkan posisinya di Henkel untuk bergabung dengan Adidas. Dan ternyata pasar menyambut baik perubahan tersebut dengan stock gain Adidas mencapai USD 1 milyar dan stock loss Henkel mencapai USD 2 milyar.
Rorsted yang pernah kuliah di Harvard Business School mengenal betul pasar Amerika mengingat ia pernah bekerja di Oracle dan Compaq. Ia pun pernah menjadi Managing Director untuk Eropa, Timur Tengah, dan Afrika di Hewlett-Packard. Pengalaman mengenai pasar AS ini penting mengingat kelemahan Adidas ada di Negara Paman Sam ini.
Earning Adidas menukik turun sejak awal resesi global dengan titik terendah di 2009 dan 2014. Pasar Amerika Serikat dikuasai oleh Nike dan Under Armour (UA) dalam aparel dan sepatu olah raga. Divisi peralatan golf Adidas bermerk TaylorMade sedang dalam proses diakuisisi oleh entitas eksternal, padahal marketshare di AS mencapai 60 persen namun sales menurun 26 persen di 2014.
Keputusan untuk mengundang Rorsted didasari dengan keyakinan bahwa “orang luar” akan membawa angin segar. Ia juga dikenal tangguh di Henkel sehingga melipat-tigakan harga saham selama 7 tahun ia menjabat CEO di sana.
Tentu saja ini bukan merupakan jaminan sukses bagi Adidas. Menurut beberapa analis bisnis, Adidas sebagai perusahaan Jerman mempunyai kultur organisasi yang hirarkis, sangat berbeda dengan kultur di AS yang lebih demokratis. Bahkan Tony Hsieh CEO Zappos telah menerapkan manajemen “tanpa hirarki.”
Reorganisasi struktur dan revitalisasi kultur perlu dilakukan oleh Adidas untuk meningkatkan kerja sama inspiratif dan motivasional yang mendorong impulsi-impulsi inovasi. Misalnya, dengan kerja sama antar divisi olah raga yang berbeda, maka berbagai ide baru dapat diserap. Juga dengan semakin cairnya berbagai batas hirarki, maka pertukaran ide juga semakin lancar dan dapat semakin berkembang.
Selain itu, strategi bisnis untuk pasar AS perlu direvisi, mengingat perbedaan besar minat antara publik AS dan Eropa. Sepak bola (soccer), misalnya, merupakan kegemaran publik Eropa. Publik AS lebih menyukai bola basket dan rugby (football). Sedangkan Adidas lebih dikenal dengan sepatu sepak bolanya.
Berbeda dengan Nike yang branding bola basketnya lebih berhasil. Nike juga lebih berhasil dalam inovasi high-tech berbagai produk sepatu dan pakaian olah raganya. Tantangan teknologi Adidas ini perlu diatasi dengan progresif oleh Rorsted yang pernah bekerja di hub teknologi Silicon Valley.
CEO lama Herbert Hainer dikenal dengan gaya kepemimpinan yang mengakar kepada tradisi dan standar yang dipertahankan Adidas. Dalam konteks kebutuhan terkini, Adidas memerlukan pendobrak, bukan pemegang tradisi-tradisi lama yang kurang agresif. Walaupun Hainer dikenal tangguh dan berhasil meningkatkan valuasi Adidas dari 3 miliar Euro menjadi 18 miliar Euro.
Bagaimana bisnis Anda berkembang, tentu sangat erat dengan siapa pemimpin yang menjadi pemicu semangat kerja dan semangat berinovasi. Seorang CEO merupakan pemimpin orkestra yang menjadi “jiwa” organisasi. Di bawah CEO baru, diharapkan Adidas menjadi lebih adaptif dan mengenal “jiwa” pasar AS yang progresif dan pro-teknologi.
Beberapa poin penting yang kita pelajari dari kasus Adidas:
Satu, perubahan bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Perubahan seringkali merupakan katalis menuju sesuatu yang lebih baik. Semakin besar perjuangan menuju gol yang tinggi, semakin besar inovasi yang perlu dilakukan.
Dua, mengganti pimpinan teratas dengan promosi eksternal terkadang diperlukan pada saat genting. Promosi internal belum tentu sesuai, mengingat perpetuasi nilai-nilai lama seringkali malah mengganggu proses menuju perubahan.
Tiga, perubahan strategi perlu dilakukan secara berkala, bahkan sebelum terjadinya penurunan penjualan. Lakukan revisi strategi sebagai antisipasi berbagai hal eksternal, seperti perubahan perilaku konsumen dan perubahan permintaan pasar.
Akhir kata, merek yang telah bertahan puluhan tahun pun membutuhkan peremajaan strategi dan kultur organisasi. Peta ekonomi dan kebutuhan dunia selalu berubah, sehingga adaptasi bisnis up-bottom dan berbagai strategi perlu fleksibel dan adaptabel.[]
KONTAN DAILY, Jumat 4 November 2016