by Jennie M. Xue
Abad ini adalah Abad Asia. Bukti yang bisa kita amati sehari-hari antara lain produk-produk buatan offshore outsourcing Tiongkok dengan merek-merek Jepang dan Korea. Kopi bernuansa internasional yang disuguhi di Starbucks beraroma Sumatra dan Kalimantan asal Tanah Air tercinta.
Berbagai penganan mie (noodle, ramen, padthai, pad kee maw, kwetiau, lamien, yamien, udon, vermicelli, dan so-un) telah cukup lama memenuhi restoran-restoran Asia di mancanegara. Bahkan di kota-kota koboi Amerika Serikat juga dapat dengan mudah masakan noodle ala Asia. Termasuk mie goreng-nya Indomie yang digilai para remaja beretnis Asia di Los Angeles yang bisa ditonton di Youtube dalam akun Fung Brothers.
Namun tampaknya Indonesia masih perlu banyak belajar dari Korea. Kultur Indonesia yang terserap dunia internasional baru segelintir belaka, termasuk rendang yang diakui sebagai masakan terlezat nomor satu dari 50 terlezat di dunia versi CNN Travel.
Abad ini adalah abad Asia dan Korea adalah salah satu negara Asia yang mengangkat abad ini ke permukaan dunia.
Perhatikan musik pop Korea dan Taiwan dengan gaya muda-mudi yang soft, pastel, dan manis seperti permen lolipop merajai berbagai acara TV di negara-negara Asia dan streaming Internet. Berbagai animasi manga Jepang serta tokoh-tokoh kartun seperti Hello Kitty. Dan department store, bakeri, dan resto fastfood asal Korea menyuguhkan kultur pop bersahabat yang kena dengan kultur Asia umumnya.
Bahkan bioskop-bioskop sudah tidak lagi semata-mata menayangkan film-film laga Hong Kong yang sudah semakin menurun. Film-film Korea yang penuh dengan drama, melankolis, dan manis-getir sama-sama merajai bioskop-bioskop sebagaimana Bollywood di luar tanah asal mereka. Drama opera sabun TV The Jewel in the Palace, misalnya, sangat populer di Iran hingga cukup menginterupsi jam makan malam mereka.
Samsung sangat jenial dengan inovasi-inovasinya dalam berkompetisi dengan Apple dari AS dan Lenovo dari Tiongkok. Juga mobil Hyundai dan Daewoo semakin baik kualitas dan modelnya, sangat kompetitif dengan mobil-mobil Jepang seperti Honda dan Toyota. Kerja keras dalam menelurkan produk-produk dengan desain dan kompetensi teknologi yang efisien jelas merupakan kelebihan utama.
Fenomena Gangnam Style dengan gaya Psy yang sesungguhnya mempunyai muatan “sindiran sosial” terhadap para kaum kaya yang bermukim di distrik Gangnam ini juga berimpak luas terhadap penerimaan terhadap K-Pop di negara-negara barat. Sebelum fenomena Gangnam Style ini, K-Pop sudah menancapkan kaki di negara-negara Asia melalui introduksi kultur yang lebih konvensional dan tangible.
Keberhasilan Korea dalam mempopulerkan kultur pop mereka sangat erat hubungannya dengan desain industrial dan desain pentas yang “kawaii” alias “cute” dan “unyu.” Namun strategi “memenangkan perang psikologis dengan membuat konsumen merasa nyaman akan efek psikologis dari desain” bukanlah segalanya.
Sejak awal pemerintah Korsel sadar akan pentingnya soft power alias kekuatan kultur yang mampu memenangkan berbagai kompetisi internasional, sebagaimana AS dikenal sebagai “negeri impian” karena kekuatan Hollywood dan Silicon Valley dalam menciptakan “soft power” kelas dunia.
Korea kini mempunyai potensi luar biasa untuk merajai kultur popular dengan kepekaan akan kekayaan intelektual yang mix-and-match. Dimulai di tahun 1994 dengan koneksi Internet broadband yang didanai oleh pemerintah Korsel, keterbukaan kultural Korea dimulai.
Dan mengingat Korsel baru saja melampaui fase “negara dunia ketiga,” mereka mempunyai kedekatan psikologis dengan negara-negara dunia ketiga di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Ini merupakan “soft power” tambahan bagi Korsel dalam memasarkan kultur dan produk-produk pendukungnya.
Baik pemerintah maupun institusi-institusi privat Korsel, termasuk perusahaan rekaman para artis K-Pop mempunyai rencana lima tahunan yang sangat solid. Dan paradoks Korsel yang kapitalis namun berada di bawah “komando” kultur yang konformis-militan ternyata menciptakan efek kolosal yang sangat terasa di dalam dan luar negeri Arirang ini.
Korsel telah tiba di masa depan, suatu era di mana manufaktur perangkat keras seperti semikonduktor dan smartphone tidak lagi memadai. Teknologi mesti cool, alias manusiawi dan keren. Indonesia perlu mencontoh kerja kreatif yang militan dan didukung oleh kekuatan spirit dan inovasi. Semoga Presiden Jokowi mampu mewujudkannya.[]
KONTAN Weekly, 20-26 Oktober 2014