Select Page

Kontan 

Download KONTAN Daily Supermiliarder Sosialita Filantropis

oleh Jennie M. Xue

Saya kenal baik seorang filantropis di Indonesia yang juga masih giat bekerja sebagai aktivis. Seorang filantropis bisa saja hanya mendonasikan uang dan fasilitas, namun bisa juga menyumbangkan waktu dan tenaga. Angelina Jolie dan George Clooney, misalnya, adalah gabungan filantropis dan aktivis. Mereka tidak hanya menyumbangkan uang namun juga giat melobi berbagai pihak serta bekerja dengan tenaga dan pikiran.

Seorang “aktivis” biasanya menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktu dengan reimbursement dari budget organisasi maupun donasi dari para filantropis. Baik aktivis maupun filantropis merupakan agen perubahan di dalam masyarakat. Yang satu mengandalkan aktivitas fisik dan mental, yang lainnya mengandalkan kekuatan kontribusi positif dari uang.

Seorang sosialita adalah seseorang yang mempunyai kekuatan ekonomi dan sosial yang tinggi, bukan seseorang yang semata-mata tergila-gila fashion dan otomobil terbaru. Di Indonesia, istilah ini sering kali dipakai secara bebas, misalnya untuk menggambarkan seorang eksekutif yang sering diundang di acara-acara eksklusif. Atau seorang nyonya bersuamikan pria kaya. Padahal, benarkah mereka sudah “pantas” disebut sebagai seorang “sosialita”?

Di AS, seorang “sosialita” mempunyai kekuatan sosial dan ekonomi yang jauh lebih tinggi daripada anggota masyarakat umumnya. Banyak dari antara mereka yang tidak sungkan untuk menggunakan pengaruh demi perbaikan-perbaikan positif di dalam masyarakat. Dimulai dari kegiatan-kegiatan sosial yang membantu kondisi kesehatan, kemanusiaan, bahkan fasilitas publik. Namun tidak semua “sosialita” mempunyai komitmen sebagai seorang “filantropis.” 

Di tingkat nasional AS, seorang sosialita juga diukur dengan status sosial dan ekonomi yang mencakup di ujung puncak gunung es: One percenter. Alias yang berpenghasilan satu persen ke atas. Menurut ekonom pemenang Hadiah Nobel Joseph Stiglitz, mereka yang termasuk kelompok satu persen mempunyai penghasilan minimal USD 1,5 juta per tahun.

Seorang “filantropis” identik dengan seorang “supermiliarder” USD, namun bukan berarti setiap “supermiliarder” adalah seorang “filantropis.” Siapa yang pantas disebut sebagai seorang supermiliarder yang sosialita dengan seorang supermiliarder yang filantropis bisa dilihat dari sumbangsihnya bagi kemanusiaan dan masyarakat. 

Lantas, apa hubungan antara supermiliarder, filantropis, dan aktivis dengan dunia bisnis? Setiap bisnis dan individu mempunyai peran dan kewajiban sosial. Dalam dunia korporat, ini disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Sebagai individu, kita bisa memberikan sumbangsih kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan personal maupun melalui organisasi. 

Anda bisa menyumbangkan tenaga, pikiran, informasi, maupun dana. Besar maupun kecil sama-sama baik. Dengan langkah pasti, Anda akan “naik kelas” menjadi seorang filantropis yang mempunyai dana berlimpah ruah. Hidup dengan tujuan luar biasa seperti ini memberi perubahan yang sangat berarti di dalam masyarakat, walaupun riaknya mungkin belum begitu besar pada awalnya. 

Kebiasaan memberi akan membangun optimisme mengingat apapun kebaikan yang kita berikan kepada dunia, suatu hari akan kembali berlipat ganda dalam bentuk berbeda. Dan optimisme merupakan bensin yang menggerakkan motor semangat kerja dan semangat entrepreneurship.

Apakah benar seorang “filantropis” dan “aktivis” berada di sisi pagar yang berbeda? Jawabanya: Tidak benar. Keduanya bisa saja berada di sisi yang sama mengingat mereka bisa saling bertukar tempat. Perbedaan yang nyata hanyalah aliran sumber dana, yaitu dari filantropis ke aktivis. Namun suatu hari bisa saja terjadi mobilitas sebaliknya dan “label” bertukar tempat.

Jadi, apabila seorang “aktivis” merasa bahwa seorang “filantropis” itu adalah seseorang yang berasal dari strata sosial dan ekonomi yang berbeda, ini jelas tidak benar. Karena semua bisa saja bergulir di dalam roda kehidupan. Demikian juga dengan korporasi yang bisa saja mempunyai profit yang positif di kuartal pertama, namun menurun di kuartal berikutnya.

Di Negara Paman Sam, setiap individu dibiasakan untuk memberikan sumbangan dalam bentuk uang yang bisa digunakan untuk menurunkan pajak. Jadi, dari penghasilan kotor yang belum dipotong pajak akan dikurangi dengan jumlah yang didonasikan kepada rumah yatim piatu, misalnya. Sisanya baru dikenakan pajak yang berkisar antara 15 sampai 40 persen.

Mari kita sama-sama mempunyai gol untuk menjadi supermiliarder agar dapat lebih banyak menyumbangkan dana bagi mereka yang memerlukan. Sebagai korporat, kegiatan-kegiatan CSR akan sangat bermanfaat bagi kesejahteraan para stakeholders yang akan kembali memberikan keuntungan dalam jangka panjang.[]

KONTAN Daily, Jumat 21 Maret 2014

Pin It on Pinterest

Share This