Select Page


Image Source: PCMag.com


[Download PDF KONTAN DAILY Studi Model Bisnis Groupon]

oleh Jennie M. Xue

Berdiri di tahun 2008, Groupon mempunyai masa lalu yang cemerlang dan pernah dilamar oleh Google seharga USD 6 miliar di tahun 2010. Sayangnya, ternyata model bisnis kupon online belum matang hingga hari ini, sehingga berbagai masalah timbul setelah IPO prematur.

Series B investment sebesar USD 30 juta diterima Groupon pada bulan Desember 2009. Setahun kemudian, Google menawar senilai USD 6 miliar, namun ditolak. Groupon pun melakukan IPO di Nasdaq dan mencapai nilai valuasi USD 11,2 miliar.

Manajemen Groupon dikenal berantakan, termasuk kesalahan dokumentasi revenue di tahun 2010 dari USD 714 juta menjadi USD 312 juta. Di tahun 2011, mereka berhasil mendapat investasi USD 700 juta dan nilai penjualan saham di hari pertama mencapai USD 12,7 miliar.

Selain masalah manajemen berantakan, faktor utama kegagalan Groupon adalah model bisnis. Sebagai bisnis kupon online, Groupon mengandalkan email harian. Namun ternyata banyak pelanggan yang menandainya sebagai “spam” sehingga terjadi email bounce atau unsubscribe.

Selain itu, Groupon dikenal pemilih dalam menerima merchant yang mereka wakili. Padahal, bagi merchant untuk memberi kupon kepada para prospek, sebenarnya bisnis mereka sendiri sedang kembang kempis.

Bayangkan saja bagaimana bisnis yang sedang berkembang pesat dan yang sedang menukik turun. Apakah yang pertama mengeluarkan kupon-kupon pemotong harga? Biasanya tidak. Diskon biasanya hanya dilakukan oleh bisnis-bisnis yang sedang menghabiskan sisa stok atau yang telah sulit bertahan.

Dalam satu tahun dari IPO, nilai saham Groupon turun 85 persen. Nilai total menjadi hanya USD 2 miliar. Sehingga board of director memecat pendiri Andrew Mason.

Ketika artikel ini ditulis, Groupon masih berdiri dengan nilai sekitar USD 4,9 miliar. Bahkan Groupon telah mengakuisisi LivingSocial dari Amazon. Amazon sendiri menanggung rugi akuisi LivingSocial sebesar USD 169 juta dari harga beli USD 175 juta.

Satu lagi problem model bisnis kupon online ini. Sebenarnya, berapa banyak member yang sungguh-sungguh menggunakan kupon-kupon tersebut? Sebagaimana para follower media sosial yang bisa jadi berjuta-juta, sebenarnya berapa yang sungguh-sungguh berinteraksi dengan pemilik akun? Bisa jadi hanya beberapa.

Kondisi ini disebut “vanity stat.” Alias “statistik keren namun belum tentu valid.”

Belajar dari studi kasus Groupon, bisa kita simpulkan bahwa tidak semua model bisnis dapat diterapkan secara online maupun offline. Selain itu, gaya dan kualitas manajemen juga sangat menentukan reputasi perusahaan serta bagaimana setiap tahap perkembangan tetap membantu growth.

Dalam kasus kupon online, merchant yang tertarik bergabung biasanya terbatas atas dua jenis. Pertama, yang telah merosot omzetnya, sehingga memberi kupon merupakan cara promosi menarik konsumen. Kedua, begitu mendapatkan jumlah konsumen yang telah diharapkan, bisa saja kerja sama dengan Groupon dibatalkan karena tidak lagi diperlukan diskon untuk menarik mereka.

Salah satu problem klasik yang dialami Groupon adalah ketika salon yang berisi kursi-kursi sewaan para stylist ternyata ditolak oleh salon. Ketika salah satu stylist menggunakan Groupon dan lainnya tidak, ini bisa menjadi pemicu masalah para pengguna kupon.

Bisnis kupon adalah bisnis dengan margin sangat tipis, jadi dapat dipahami jika growth tidak dapat dipaksakan meraksasa dalam sekejap. Dalam dua tahun pertama pendirian, hype cukup banyak karena antisipasi para investor akan sesuatu yang “baru.” Valuasi pun menggelembung dahsyat. Google termasuk salah satu pengincar awal yang terkena demam gelembung ini.

Model bisnis kupon online saat itu masih sangat gres. Dan pasar AS yang baru saja mengalami The Great Recession 2008 mengharapkan ada semacam “harapan” yang membantu kondisi finansial individu. Jadilah kupon online menjadi tumpuan harapan.

Suatu model bisnis dapat dianalisa dari berbagai segi, termasuk kesiapan dan animo pasar, merchant yang terlibat, dan para konsumen. Bagi para pemilik bisnis, pikirkan dengan baik-baik. Mungkinkah valuasi bisnis meraksasa dalam dua tahun pertama pendirian? Padahal omzet dan growth masih belum teruji?

Jika ternyata bisnis Anda divaluasi demikian tinggi, bersiaplah ternyata itu hanya gelembung. Namun jika ada penawaran akuisisi sedahsyat tawaran Google, sebaiknya diterima. Karena bisa saja ini hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 23 Februari 2018

Pin It on Pinterest

Share This