[Image Source: Fashion Guru]
[Download PDF KONTAN DAILY Strategi Cult Marketing Merek Mewah]
oleh Jennie M. Xue
Berapa harga tas tangan Anda? Dua ratus ribu Rupiah? Satu juta? Delapan juta? 100 juta? 500 juta? Jika pilihan Anda jatuh pada merek-merek mewah seperti Chanel, Prada, Gucci, Salvatore Ferragamo, Louis Vuitton, Hermes dan sebangsanya, bisa jadi Anda adalah “fan berat” alias “penggemar cult” merek-merek mewah.
Mungkin Anda berasal dari strata sosial Nick Young dalam film Crazy Rich Asians, sehingga satu tas seharga 500 juta IDR termasuk rendah. Namun, bisa juga Anda hanya berasal dari kelas menengah dan menengah atas dengan pemasukan per bulan puluhan atau seratusan juta Rupiah saja. Dan tetap cinta LV.
Wah, besar pasak daripada tiang? Bisa jadi begitu. Namun “kadung cinta” sih, gimana dong?
Itulah ciri-ciri penggemar “cult” alias “pengikut setia bak pengikut sekte agama.” Aliran sesatkah ini? Nanti dulu. Jangan cepat-cepat menghakimi.
Yang jelas, ketika AS dan negara-negara Eropa semakin menjauhi merek-merek mewah, terutama di antara para Generasi Milenial, Asia semakin “jatuh cinta.” Ke mana pun Anda bepergian di Asia, merek-merek mewah orisinal maupun KW (palsu), pasti berseliweran.
Lebih dari separuh produk luks dunia dikonsumsi di Asia, menurut data Bain Consulting di tahun 2016. Semakin meningkat ekonomi Asia, tampaknya angka ini juga akan menukik ke atas.
Selain faktor pendapatan perkapita yang semakin meningkat sehingga daya beli juga semakin baik, Asia juga mempunyai beberapa karakteristik tertentu dalam konteks ini.
Menurut studi dua pakar pemasaran Asia Radha Chadha dan Paul Husband, ada 5 tahap proses penyebaran “mania barang-barang luks” di negara-negara Asia.
Satu, negara-negara Asia kebanyakan di bangun oleh rezim-rezim otoritarian di mana kemiskinan merupakan fenomena mayoritas. Kondisi ini membuat rasa ingin memiliki “sesuatu yang berbeda” yang dapat membuat pemiliknya menikmati “euforia sesaat.”
Dua, meningkatnya pendapatan per kapita.
Ini memungkinkan konsumen untuk memenuhi hasrat untuk “menikmati euforia sesaat.” Jadilah mereka memiliki daya beli cukup tinggi dan punya keberanian untuk membeli sesuatu yang luks.
Tiga, menampakkan status sosial dan ekonomi.
Baik yang “kaya baru” ataupun “kaya lama,” menggunakan produk luar biasa mahal jelas merupakan suatu cara untuk menampakkan status mereka. Bisa saja untuk alasan-alasan tertentu, termasuk memamerkan kepemilikan mereka, ataupun lainnya.
Empat, konform dengan lingkungan.
Ini tipikal di kalangan-kalangan tertentu yang berusaha “menyesuaikan diri” dengan lingkungan mereka. Tentu “adaptasi” dan “proses konformasi” dapat dilakukan dengan berbagai cara dan ini hanya salah satu yang paling kasat mata dan tidak perlu argumen verbal.
Lima, bagian dari gaya hidup.
Merek-merek luks bisa menjadi bagian penting dari gaya hidup, sebagaimana para miliarder yang hidup bergelimang kemewahan. Dan ini merupakan hal yang wajar mengingat pendapatan paralel dengan pengeluaran.
Di samping lima tahap proses penyebaran mania barang-barang luks di atas, negara-negara Asia memang dikenal dengan strata sosial masyarakat yang kaku. Di Jawa, misalnya, ada golongan ningrat dan wong cilik. Di India, ada 5 kasta yang selalu mengintai hubungan antar individu.
Dengan daya beli semakin meninggi, produk-produk luks merupakan salah satu instrumen pemberontakan akan opresi strata. Jadilah LV, Prada, dan Gucci menjadi sarana mengekspresikan diri dalam orde sosial baru yang lebih cair dan fleksibel. Logofikasi menjadi semakin penting dan bermakna.
Bagi para pebisnis produk-produk luks, dapat ada 4 model strategi pemasaran merek yang manjur.
Satu, gunakan influencer dalam penyampaian pesan-pesan non-verbal. Para selebritas dan sosialita termasuk kategori ini.
Dua, gunakan logofikasi dengan cerdas, sehingga ini menjadi “jaminan mutu” produk. Berbagai produk yang lebih rendah nilai dan harganya dapat dipasarkan.
Akhir kata, sepanjang negara-negara Asia masih mempunyai struktur sosial dan diperintah oleh rezim-rezim yang otoritarian atau pseudo-otoritarian, dapat dipastikan ketergilaan terhadap produk-produk luks masih akan terus berlangsung. Bangun cult alias “ketergilaan ala sekte agama” dengan strategis. Merek-merek luks baru seperti Kylie Cosmetics, Citizen for Humanity, dan Shanghai Tang merupakan bukti bahwa tidak ada kata terlambat untuk membangun.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 21 Desember 2018