KONTAN Daily Skalabilitas dan Agilitas Coca-Cola
oleh Jennie M. Xue
Dua hal penting dalam pertumbuhan produk Coca-Cola yang hingga kini menjadi produk blue chip dunia adalah skalabilitas dan agilitas yang tertanam dalam setiap tingkat organisasi dan di setiap lini produk. Mereka juga menerapkannya di setiap negara dan di dalam diri setiap pekerja yang bekerja untuk merek dan produk legendaris ini.
David Butler dan Linda Tischler dalam buku Design to Grow: How Coca-Cola Learned to Combine Scale and Agility (and How You Can Too) mengidentifikasi bagaimana skalabilitas perusahaan internasional yang dipadukan dengan agilitas sangat meningkatkan competitive advantage. Terminologi “agilitas” mempunyai makna yang lebih dari fleksibel, namun sangat adaptabel yang didukung oleh startegi up dan bottom yang sinkronis.
Skalabilitas dan agilitas ini didukung oleh desain yang adaptif. Bandingkan dengan jaringan penyewaan video BlockBuster yang pernah mempunyai 9000 gerai di masa jayanya, kini telah tutup pintu dan hanya memiliki beberapa vending machine penyewaan video saja. Ini menunjukkan skalabilitas yang tidak didukung oleh agilitas desain.
Twitter yang kini bernilai USD 30 miliar mempunyai agilitas luar biasa dalam “keterbatasan” model bisnis yang mengandalkan 140 karakter dan retweet. Skalabilitas Twitter juga luar biasa, mengingat jangkauan Internet yang nyaris tanpa batas geografis.
Skalabilitas sendiri jauh lebih kaku daripada agilitas. Juga lebih monumental. Sedangkan agilitas memerlukan adaptabilitas harian, mengingat konsumen dan pasar selalu berubah. Coba bayangkan, Coca-Cola adalah produk dan merek yang terlah berumur 100an tahun. Namun masih tetap relevan. Hebat bukan?
Butler dan Tischler berargumen bahwa desain yang adaptif merupakan kunci keberhasilan Coca-Cola. Merek Coca-Cola sendiri bernilai USD 170 miliar. Yang tidak kasat mata dan sering kali luput dari pandangan mata para pengamat dan konsumen adalah elemen strategis dari merek tersebut.
Konsistensi merek-merek Coca-Cola, Diet Coke, Fanta, dan Sprite mencerminkan kekuatan desain yang berasal dari adaptabilitas strategi perusahaan induk Coca-Cola Inc. Mereka membangun desain untuk “purpose” tertentu, sebagaimana Apple, Volkswagen, Nike, dan McDonald’s. Merek lebih dari sebagai identitas. Merek dan desain produk merupakan kerangka berpikir dan menjalankan bisnis adaptif.
Premis dari produk ini adalah “menempatkan Coca-Cola dalam jangkauan setiap penduduk bumi.” Dan memang benar. Di pelosok Afrika sekalipun, bisa dengan mudah Coca-Cola ditemukan di warung-warung. Coca-Cola sudah menjadi minuman favorit tua-muda, miskin-kaya, dan kota-desa. Mereka berprediksi menggandakan omzet dan nilai saham di tahun 2020.
Desain produk dan merek dalam bisnis minuman merupakan faktor penentu utama keberhasilan dalam penetrasi dan menggaet pangsa pasar. Bandingkan botol dan merek Aqua, Ades, Amidis, Prima, Dasani, Evian, Equil, Smart Water, Minaqua, dan Fiji Water. Luar biasa, bukan? Isi yang identik namun mempunyai pangsa pasar berbeda.
Apalagi minuman bersoda kola seperti Coca-Cola dan Pepsi. Jelas desain mempunyai pengaruh besar terhadap penerimaan pasar.
Dalam sejarah manusia, desain suatu benda, termasuk arsitektur dan fungsional menentukan tingkat peradaban. Dengan didesainnya tombak dan panah, maka manusia purba dapat menangkap binatang buruan dengan lebih cepat dan tepat.
Desain yang baik mempunyai potensi menghubungkan titik-titik problematik sehingga mencapai solusi. Kuncinya adalah: desain yang baik memberikan kemudahan dan simplisitas.
Bagi mereka yang pernah menggunakan produk-produk Apple pasti kenal betul fitur “instingtif” desain-desainnya. Tekan saja screen, maka akan muncul berbagai pilihan. Bandingkan dengan produk-produk Windows beberapa tahun lalu yang rumit dan kurang instingtif. Masih perlu menghafalkan beberapa shortcut dalam operasinya.
Internet TV kini sangat instingtif apabila dibandingkan dengan penggunaan remote control di masa lalu. Namun Tivo yang canggih dengan kapabilitas rewind, save, dan record ternyata mengalami kegagalan. Mengapa? Desain yang kompleks dan mahal. Filosofi bisnis “kompleks dan tidak efisien” tercermin dengan jelas.
Desain air mineral Minaqua di Jepang, misalnya, sangat mendukung gaya hidup serba cepat, daur ulang, dan minim ruang. Dengan merek ILOHAS, Coca-Cola Jepang mendesain botol yang adaptif terhadap gaya hidup ini plus kemudahan daur ulang dengan hanya memelintir botol saja sudah kempis.
Jadikan desain sebagai kerangka skalabilitas dan agilitas produk apapun. Termasuk produk Anda.[]
KONTAN Daily, Jumat, 2 Januari 2014