[Download PDF KONTAN DAILY Setelah Iklan Mati]
oleh Jennie M. Xue
Banyak pengguna Internet yang kenal betul dengan berbagai aplikasi pemblokir iklan alias “ad blocker.” Kini kita dapat menikmati Internet melalui web browser dan aplikasi tanpa perlu terinterupsi oleh iklan. Padahal, iklan-iklan tersebut merupakan sumber revenue bagi berbagai situs, termasuk raksasa pionir Google, Facebook, dan Yahoo.
Dengan semakin meningkatnya pengguna ad blocker, bisa dipastikan dunia periklanan akan semakin suram, kolaps, dan mati. Bisa dibayangkan di masa lalu bagaimana e-mail menggantikan fungsi faksimili dan podcast menggantikan fungsi radio konvensional.
Data terakhir di penghujung 2016 menunjukkan 615 juta unit komputer dan gadget mobile menggunakan ad blocker. Sebelas persen pengguna Internet dunia memblokir iklan Internet.
Peningkatan pengguna adblocker bisa mencapai 11 hingga 30 persen. Ketika semua pengguna Internet telah menggunakan ad blocker, televisi analog tidak lagi ditonton, dan radio telah 100 persen digantikan oleh podcast, maka iklan-iklan konvensional yang menginterupsi suatu tayangan, akan semakin tidak mendapat tempat.
Mungkin billboard di pinggir jalan raya masih ada, namun dengan semakin ketatnya kebijakan-kebijakan kota yang pro ekologi, kuantitasnya dapat diperkirakan akan menurun pula. Bisa diperhatikan di negara-negara maju di mana jumlah billboard semakin menurun, kecuali di titik-titik tertentu yang menjadi tujuan wisata.
Tren di negara-negara maju menunjukkan bahwa berbagai jenis sponsor mulai berubah bentuk dari yang menginterupsi tanpa nilai sama sekali, menjadi sesuatu yang menambah nilai dan fungsional.
Salah satu kasus iklan versi masa depan yang patut dicatata adalah Citi Bike di New York City. Citibank meminjamkan 6000 sepeda secara gratis untuk dikendarai di kota Apel Besar ini sebagai bentuk sumbangan bagi komunitas kota. Siapapun dapat menggunakan sepeda-sepeda berwarna biru dan berlogo Citibank tersebut secara gratis.
Budget pemasangan iklan global mencapai USD 1 trilyun per tahun, bayangkan betapa besar nilainya bagi kemanusiaan dan peradaban umat manusia apabila digunakan secara efektif. Sadarilah bahwa iklan-iklan yang menginterupsi semakin mudah diblokir, sehingga budget sebesar itu terbuang sia-sia tanpa ROI.
CEO Amazon Jeff Bezos pernah berkata bahwa di “dunia lama,” 30 persen waktu digunakan untuk menciptakan dan 70 persen digunakan untuk memasarkannya. Dalam “dunia baru,” dua angka tersebut terbalik posisinya. Dan saat ini adalah era “dunia baru.”
Lantas, bagaimana produk dan jasa dipromosikan? Apakah perlu mencontoh Citi Bike, misalnya dengan menerlukan berbagai programm gratis untuk kepentingan komunitas? Bisa saja. Selain itu, terapkan juga inbound marketing.
Pemasaran gaya inbound ini sama sekali tidak mengandalkan interupsi iklan yang “mendorong” (push), namun hanya memberi edukasi mengenai konteks produk dan jasa dengan “menarik” (pull) secara tidak langsung.
Logikanya begini, ketika seseorang mencari sesuatu via Mbah Google, maka digunakanlah keyword berekor panjang (longtail keyword) seperti ini: “how to put a crying baby to sleep.” Ketika tombol “search” ditekan, maka berbagai artikel, video, dan buku dengan judul dan konten bertopik tersebut akan bermunculan.
Di sinilah faktor “inbound” alias “menarik” pencari ke halaman situs tersebut mencapai tujuannya. Semakin gencar longtail keyword yang ditanamkan dalam suatu situs, semakin “tersebar” informasinya di Internet.
Bisa dimengerti mengapa situs-situs raksasa mempunyai jutaan halaman yang menggurita dengan jutaan keyword berekor panjang. Tangan-tangan gurita tersebut lebih powerful dalam “menarik” pengunjung dan konsumen, mengingat mereka memang telah memiliki benih kuriositas dari awal.
Konklusinya, ketika iklan-iklan penginterupsi konvensional semakin mudah diblok, budget promosi berpindah ke berbagai bentuk sponsor penambah nilai komunitas dan inbound marketing yang “organik” atau “menyerupai organik.” Filter-filter Snapchat, misalnya, ada yang berbayar dan tampak “organik” sebagai bagian dari platform.
Lantas, masih adakah tempat bagi para eksekutif periklanan dan ad agencies? Tentu ada. Namun mereka berubah bentuk menjadi digital agency atau creative agency. Berbagai sebutan baru bermunculan, sesuai dengan spesialisasi mereka.
Bagi para “pemasang iklan,” bagaimana agar ROI promosi meningkat? Bergeserlah dari iklan-iklan konvensional ke sponsor, narasi, dan edukasi informatif penambah nilai yang ditunggu dan diharapkan publik. Kuncinya adalah “bagaimana menyenangkan konsumen sebelum mereka menjadi customer.”
Akhir kata, dunia semakin independen, kritis, dan kreatif. Hal-hal yang “mengganggu” semakin ditinggalkan karena teknologi kini memungkinkan pengguna untuk memilih yang disukai. Pebisnis, beradaptasilah.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 22 September 2017