Select Page
Image Source:

Image Source: NolitaHearts.com

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN DAILY Sepatu Doc Mart dan Gaya Proletar Kaya]

oleh Jennie M. Xue

Sepatu bot bersol tebal bertali Dr. “Doc” Martens yang digemari mereka yang punya budget cukup pernah mengalami masa “hampir bangkrut” beberapa tahun lalu. Kini menikmati kenaikan penjualan hingga 230 persen di Asos.com retailer Inggris kegemaran para milenial. Dan Doc Martens merupakan salah satu perusahaan privat tercepat perkembangannya di negeri mendiang Putri Diana ini.

Pemegang saham Dr. Martens termasuk Permira private equity asal Eropa yang menginjeksi USD 485 juta di tahun 2014. Untuk perusahaan yang hanya mempunyai 850an pegawai, Dr. Martens merupakan contoh “small is beautiful.”

Bagaimana merek yang telah berusia lebih dari 50 tahun ini bisa bertahan? Bagaimana mereka bangun dari keterpurukan di awal tahun 2000an?

Merek Dr. Martens yang kita kenal dibangun oleh Bill Griggs yang bermukim di Northamptonshire di tahun 1960. Griggs membeli lisensi dari penciptanya.

Sepatu bot bersol ikonik berwarna bening kekuningan yang ditindas dengan benang kuning diciptakan oleh Dr. Klaus Maertens di Munich, Jerman di tahun 1947, ketika kakinya terluka sehingga mengenakan sepatu bot kerja biasa tidaklah nyaman. Ciptaannya ini nyaman untuk kondisi kaki lemah sekalipun karena kulitnya lembut dan solnya terbuat dari ban bekas (kala itu).

Di tahun 1960an, musisi The Who bernama Pete Townshend memulai demam sepatu ini ketika melakukan tur keliling band-nya. Di tahun 1980an, kelompok rasis skinhead mengenakan sepatu Doc Martens sebagai “seragam” mereka sehingga dekade ini merupakan era “gelap” si Doc. Di tahun 1990an, para hippie yang diwakili oleh Morrissey and Blur kembali menyebarkan demam si “Doc” ini.

Kini, di tahun 2000an, perempuan-perempuan muda dan remaja mengenakan Doc Martens sebagai simbol “ketangguhan.” Namun di awal milenium ini, si Doc mengalami masa surut hingga nyaris kolaps.

Di era kebangkitannya di tahun 2012 dan 2013, kembali si Doc menjadi idola remaja. Bintang-bintang remaja seperti Rihanna dan Miley Cyrus dikenal sebagai penggemar berat si Doc. Jessica Alba dan Whitney Port juga menggemari Doc. Gaya anak muda berjaket dan bercelana jins kurang lengkap tanpa bot Doc Martens.

Shoe designer Andrew Bunney yang pernah berkarya di Nike dan Visvim (Jepang) diundang untuk mendesain sandal, sepatu berhak tinggi, dan sandal rumah (loafers) dengan berbagai finishing touch kreatif tanpa meninggalkan “signature” hak karet tebal yang ditindas dengan benang berwarna kuning terang.

Shoe designer Raf Simons yang kini berkarya di Dior juga memperkenalkan kreasi baru untuk penggemar Doc perempuan yang dihiasi dengan bunga-bunga dari fashion house Liberty London. Kolaborasi dengan Liberty London ini merupakan sinergi saling menguntungkan. Best seller, hasilnya.

Tiga taktik bangkitnya kembali Dr. Martens ke era keemasannya ditandai dengan refokus target market, redesain produk, dan positioning dalam pemasaran.

Refokus target market. Sasaran geografis Asia sebagai pasar internasional mempunyai potensial luar biasa. Asia masih brand-conscious dan mempunyai disposal income cukup besar terutama di negara-negara ber-income per kapita yang cukup tinggi (emerging markets) seperti China, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia.

Selain itu, demografi yang dibidik adalah para 99 percenters yang gemar bergaya hipster (ala hippy) proletar. Di sini, penulis ingin menekankan “gaya” proletar, bukan dalam arti kata “miskin.” Para hipster generasi muda seperti mahasiswa, pemain musik, dan remaja ingin dipandang “tangguh” alias “don’t mess with me.”

Perempuan kini mendapatkan tempat khusus dengan berbagai desain bot yang berwarna-warni, berhak tinggi, dan bermotif feminin. Bahkan para selebritis internasional perempuan telah merangkul tren ini. Padahal, dulu pemakai perempuan berusia 40 ke atas dan untuk alasan kenyamanan.

Redesain produk. Dulu, desain produk hanya ada beberapa ragamnya, termasuk seri klasik bernama “1460.” Kini dapat kita jumpai berbagai seri sepatu dan pakaian casual. Kerja sama dengan para desainer sepatu kawakan membuahkan hasil manis.

Positioning pemasaran. Dr. “Doc” Martens kini telah menjadi fashion icon bagi para hipster dan mereka yang merasa bergaya “proletar.” Momentum “inequality” global tampaknya berakibat positif bagi si Doc.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 19 Agustus 2016

Pin It on Pinterest

Share This