Select Page

 Kontan

Download PDF KONTAN Weekly Seni, Inovasi dan Knowledge Society

oleh Jennie S. Bev

Knowledge
society alias masyarakat pasca industri mempunyai karakteristik dan kebutuhan
yang berbeda dari masyarakat manufaktur. Indonesia masih merupakan masyarakat
manufaktur dan belum sepenuhnya melampaui masyarakat agraris. Sayangnya, yang
terakhir ini masih berupa denial.

Dengan
53 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, sudah bisa dibayangkan kualitas
hidup yang berhimpit-himpitan dan menyebabkan stres terhadap lingkungan yang
luar biasa. Dengan penduduk mayoritas yang tinggal di kota, semestinya
merupakan aset yang besar untuk lompat ke masyarakat pasca industri alias
“knowledge society.”

Knowledge society bisa dibangun di
tengah-tengah rimba urban yang berdesak-desakan. Hanya memerlukan perangkat
keras komputer, ratusan bahkan ribuan buku-buku referensi yang bisa didownload
dari Internet, dan tempat berpijak. Sebuah kantor mungil sebesar 9 meter
persegi mungkin sudah cukup untuk individual
space
. Satu office cubicle juga
sudah cukup.

Sayangnya,
kesiapan Indonesia dalam mewujudkan masyarakat semacam ini masih lemah. Selain
infrastruktur Internet yang masih belum optimal, mengingat kecepatan rata-rata
masih memprihatinkan walaupun beberapa Internet
provider
menawarkan paket-paket high
speed
.

Dalam
Indonesian diaspora di luar tanah
air, bisa kita sebut salah satu pemain terbesar era post-industrialism adalah Sehat Sutardja, pendiri Marvell Technology
Group Ltd (MRVL: NASDAQ) berbasis di Santa Clara, Silicon Valley. Para knowledge worker lainnya juga termasuk
ke dalam kategori ini, namun “a worker is
a worker
,” yang diperlukan untuk melesatkan value added berasal dari “artistic
capacity
.”

Selain
di bidang teknologi, pasca industri juga mencakup kegiatan-kegiatan yang “padat
pikiran.” Masyarakat agraris dan manufaktur ala Revolusi Industri masih “padat
karya.” Silicon Valley adalah contoh nyata dari masyarakat pasca industri yang
jauh melampaui zamannya.

Kekuatan
ekonomi ke -19 dunia dengan 46 persen investasi di AS berada di sana, kekuatan
pikiran jauh lebih dihargai daripada gemerlapnya pesta dan barang-barang
branded mewah. Hampir setiap orang yang dijumpai memakai kaos dan celana jeans.
Dan ini adalah cerminan masyarakat knowledge
society
tercanggih di seluruh dunia: What
you know is more important than what you have
.

Yang
dimaksudkan dengan “seni” di sini adalah kemampuan mengguncangkan status quo dengan pengetahuan dan
kapital kultural, kata Seth Godin. Dengan “seni” ini, maka inovasi bisa
terjadi.

JetBlue,
Virgin Air dan China Airline mungkin tidak banyak terbeda dari segi jenis
pesawat, namun kultural kapital-lah yang membuat mereka berbeda. JetBlue
menjadi favorit karena servisnya yang luar biasa. Virgin menjadi besar karena
keunikan-keunikannya termasuk tempat duduk dan berbagai pernak-perniknya yang
bombastis namun nyata. China Airline menjadi standar penerbangan kelas menengah
karena kesederhanaan dan prediktabilitas servisnya.

Dalam
masyarakat manufaktur, knowledge elements
memberikan value added yang luar
biasa. Sebuat baju kaos polos tanpa merek mungkin hanya seharga USD 2, namun
begitu diberi label Esprit, Bebe atau Arnold Palmer, harga bisa melambung
puluhan kali lipat. Kekuatan merek juga merupakan salah satu bentuk “primitif”
dari knowledge society.

Di
AS, misalnya, ada telur ayam yang ditempeli gambar-gambar Disney seperti Mickey
Mouse. Bagi anak-anak yang tidak suka maka telur, ini merupakan insentif bagi
mereka. Ide kecil yang jenial seperti ini membuat hidup sedikit lebih baik,
bukan? Tidak perlu ber-IQ 160 untuk menjadi “genius” dengan ide-ide “seni”
pasca industri.

Sedikit
perubahan Unique Selling Proposition saja, misalnya, bisa dengan mudah menggeser
positioning dan paradigm shift. Intinya adalah mengguncang “status quo” dari produk
maupun jasa yang ditawarkan. Dalam tingkat yang lebih advanced, knowledge society
memberi tempat berkreasi secara maksimal.

“Berkreasi”
di sini bukan berarti menciptakan sesuatu dari nol, namun mendesain kembali, menambal
sulam, dan mencari pemecahan dari masalah-masalah yang ada. Dengan sedikit
perubahan yang signifikan, hal kecil namun intens mewarnai perubahan dengan
dahsyat.

“Berkreasi”
di sini berarti memberikan nilai tambah bagi konsumen pengguna. Dulu mobile phone hanyalah berfungsi sebagai
telpon, namun sekarang ia adalah kamera, video, kalkulator, alat rekam, kamus,
buku catatan, dll. Dan iPhone dengan desainnya yang cantik dan ringkas menjadi
primadona smartphone. iPhone berfungsi sama dengan smartphone lainnya, namun ia
mempunyai nilai lebih karena “seni” tersendiri. 

“Inovasi”
bukanlah kata yang menakutkan. Kata ini hanyalah sinonim dari “mengguncangkan
status quo,” sebagaimana juga “seni.” Perbedaan kecil dari suatu produk atau
jasa bisa menjadi perubahan besar yang mengguncangkan hati konsumen. Dan
“guncangan” hati sangat bisa meningkatkan market
share
. Intinya adalah keberanian berkreasi. Ciptakan terus produk-produk
baru dengan perubahan-perubahan kecil namun signifikan dan mudah terbaca
konsumen. Inilah pembuka jalan menuju post-industrial
knowledge society
.[]

KONTAN Weekly, 28 Januari-3 Februari 2013

Pin It on Pinterest

Share This