Select Page

Kontan 

Download KONTAN Weekly Rating Negara dan Anda

oleh Jennie M. Xue

International rating agencies sebagai “sovereign ratings” memberi ranking negara atas kemampuan membayarkan piutang kolektif setiap warga negara di dalam suatu negara. Dua tahun lalu, negara-negara Uni Eropa diturunkan ranking kreditnya oleh para rating agencies di Amerika Serikat. Ini berarti semakin besar resiko pemberian kredit mengingat berbagai indikator ekonomi yang menunjukkan masa penyembuhan resesi yang kurang lancar. 

Ratings affect you, affect all of us. Agensi-agensi rating mempengaruhi setiap warga negara tanpa kecuali, termasuk semua rakyat yang bermukim di Indonesia secara makro selama bertahun-tahun. 

Meranking negara berarti evaluasi atas kemampuan dan kesediaan untuk membayar pinjaman. Dengan penurunan rating dari AAA+ (top performance investment product) menjadi BBB- (investasi beresiko) berarti suatu negara perlu membayar bunga lebih tinggi dari pinjaman-pinjaman luar negeri mereka. Terjemahannya: para pembayar pajaklah yang akan membayarkan piutang-piutang tersebut. 

Semakin tinggi bunga, berarti semakin tinggi pula jumlah piutang plus bunga yang perlu dibayarkan kembali atas suatu pokok pinjaman. Jika suatu negara tidak mampu membayar bunga dan pokok pinjaman maka berbagai servis publik akan diturunkan kualitas maupun kuantitasnya, termasuk pembangunan jalan-jalan dan berbagai fasilitas publik lainnya.

Jadi, semakin rendah rating suatu negara, semakin besar dana yang perlu dibayarkan dari kocek pembayar pajak, alias “Anda dan saya.” Untuk itu, setiap warga negara berhak untuk “menjaga” agar rating  tetap tinggi. Kita punya hak untuk mengawasi.

Sovereign rating mempunyai “kekuasaan” yang demikian besar dan mempengaruhi kehidupan banyak orang, sehingga sebaiknya setiap warga negara mempunyai akses transparan. Namun industri pemeringkat hanya dipegang oleh tiga rating agencies, yaitu Standard and Poor’s, Moody, dan Fitch. Kompetisi tidak eksis, bahkan monopolistis. Segala macam persyaratan dan kategorisasi ditentukan sepihak oleh mereka. 

Di dalam setiap sektor industri yang monopolistis, hasrat untuk melakukan inovasi sangat minimal atau bahkan non eksis. Padahal, rating agencies mempunyai andil dalam mengkolapskan dan membangkitkan kembali ekonomi global. Bagaimana bisa? Negara-negara dan perusahaan-perusahaan sebagai subyek yang dirating merupakan kontributor finansial agensi-agensi tersebut. Pemihakan terjadi. Ketidakadilan bagi para stakeholders termasuk “Anda dan saya” jelas terjadi.

Reformer sovereign rating agencies dari German Bertelsmann Foundation bernama Annette Heuser menawarkan sesuatu yang baru: INCRA (International Nonprofit Credit Rating Agency). INCRA ini memasukkan sovereign rating sebagai barang publik, sehingga indikator-indikator yang dipakai dalam meranking suatu negara atau perusahaan lebih dari yang sekedar berhubungan dengan kapital uang, resiko, dan elemen-elemen lain dari makroekonomi. 

INCRA memasukkan variabel-variabel non-kuantitatif, seperti siapa yang menjalankan roda manajemen dan bagaimana manajemen tersebut dijalankan serta efek-efek sosialnya. Snapshot sosial-ekonomi lebih sahih daripada sekedar snapshot makroekonomi belaka. Afrika Selatan, misalnya mempunyai angka pengangguran 24% dan AS 7.3%. 

Angka-angka ini mempunyai arti yang besar bagi rating agencies, mengingat kemampuan suatu negara dalam membayar piutang ditentukan oleh pajak yang masuk. Dengan banyaknya pengangguran, maka semakin sedikit pemasukan pajak pendapatan dan pajak-pajak lainnya. Indonesia sendiri banyak “oknum” yang menggelapkan pajak, yang berarti semakin tinggi harga perekonomian dan fasilitas-fasilitas publik.

Saat ini, rating Indonesia membaik sebagai berikut. Menurut Moody’s, rating Indonesia untuk kredit jangka panjang dan jangka pendek adalah BAA3. Menurut S&P’s, rating Indonesia BBB- dan A-2. Menurut Fitch, rating Indonesia BBB- dan F3. 

Amerika Serikat sendiri juga pernah mengalami penurunan rating kredit dari AAA+ menjadi AAA. Implikasi yang terasa oleh masyarakat, termasuk rakyat kecil, yang bisa dipastikan adalah inflasi. Ini disebabkan oleh tingginya biaya pinjaman, sehingga biaya produksi naik. Biaya produksi tinggi akan menghasilkan produk-produk yang tinggi pula harganya yang semakin tidak terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan tetap. Juga bisa dipastikan akan terjadi kegoncangan dalam harga obligasi dan saham. 

Implikasi jangka panjang dari penurunan rating kredit Amerika Serikat jelas berpengaruh kepada mata uang dolar AS. Investasi dalam mata uang lainnya bisa dipastikan semakin marak. Di tahun 1999, sekitar 70 persen dana cadangan mata uang asing internasional dalam dolar AS, sekarang hanya sekitar 60 persen. Jepang yang juga sudah mengalami penurunan rating kini hanya memegang 3 persen mata uang cadangan internasional, padahal dulu 6 persen.

Biasanya, begitu ada penurunan rating suatu negara atau perusahaan, pasar saham terguncang. Bisa dipastikan akan terjadi banyak penurunan investasi dan berbagai defisit. Bayangkan saja, kalau biasanya suatu keluarga menggunakan kartu kredit untuk sebagian pembelanjaan, dengan rating yang rendah maka besar pinjaman berkurang atau bunga bertambah besar.

Semakin kita memahami cara kerja rating internasional, semakin kita menyadari efek-efeknya bagi kita semua.[]

KONTAN Weekly, 24-31 Maret 2014

Pin It on Pinterest

Share This