Select Page

detection450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Weekly Psikologi Kerja Kualitas Kerja]

oleh Jennie M. Xue

Motivasi kerja sangat krusial. Institusi apapun hanya bisa berjalan dengan baik apabila aktivitas-aktivitas dijalankan dalam spirit positif. Psikolog Harvard abad ke-19 William James berpendapat bahwa bagaimana orang lain memperlakukan kita akan mempengaruhi afeksi dan mood kita. Dan ini sangat berhubungan dengan kualitas output seseorang, institusi, dan negara.

Menurut Psikologi Perkembangan, setiap manusia mempunyai kebutuhan “dikasihi secara aman” sejak hari pertama dilahirkan. Dalam konteks psikologi di tempat kerja, ini berarti institusi dan para manajer perlu memberikan lingkungan “aman” tanpa prasangka agar motivasi dan rasa percaya diri tumbuh secara penuh.

The Hawthorne study (1927-1933) menunjukkan bahwa perbaikan lingkungan kerja seperti cahaya lampu yang baik, waktu istirahat yang cukup panjang, dan interaksi positif yang memberikan pilihan-pilihan dalam beraktivitas sangat mendorong motivasi kerja. Dalam perkembangan Ilmu Manajemen, terbukti performance kerja sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, termasuk dekorasi dan interior desain kantor, kenyamanan temperatur, dinamika antar pekerja, dan interaksi dengan pimpinan dan anak buah.

Dalam pelatihan-pelatihan di Four Seasons Hotel, manajer resort Borja Manchado mengamati bahwa tim dengan internalisasi gol yang masuk akal biasanya lebih berhasil dalam mencapai target, termasuk kuantitas dan kualitas. Intinya adalah membuat anggota tim merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Prinsip ini diterapkan dengan penuh kesadaran dalam akademi militer dan pendidikan penerbangan atau perkapalan.

Profesor Kebijakan Kesehatan di Harvard bernama Lucian Leape menuliskan dalam jurnal Academic Medicine (2012) bahwa dalam dunia kedokteran kualitas kerja para dokter sangat dipengaruhi oleh bagaimana atasan memperlakukan mereka. Ini merupakan salah satu studi kasus mencengangkan yang membuka mata publik.

Dalam konteks yang lebih besar, bagaimana atasan para dokter memperlakukan dokter-dokter yunior akhirnya bermuara kepada tingkat kesejahteraan masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan. Hal-hal kecil seperti bentakan-bentakan yang tidak perlu di kamar operasi dan suasana kerja yang tidak ramah serta perilaku yang “kurang bersahabat” mengingat sistem rank-and-file rumah sakit, misalnya, membentuk keadaan psikis yang “kurang positif” sehingga spirit kerja dan kualitas pelayanan kepada pasien terganggu.

Dalam studi di ICU Research Unit di Washington DC yang dilakukan oleh William Knaus di tahun 1986 menunjukkan bahwa gaya komunikasi antara dokter dengan perawat dan antara dokter senior dengan dokter yunior mempunyai korelasi yang tinggi dengan kematian pasien. Ini merupakan pukulan telak bagi manajemen rumah sakit dan para pembuat kebijakan kesehatan publik.

Kasus di atas memang mempunyai akibat fatal, yaitu kematian pasien. Dalam konteks bisnis sehari-hari, mungkin tidak sefatal ini. Namun kita tentu tidak mau membuat bisnis kita “mati,” bukan?

Tingkat kesalahan (level of error) semakin tinggi apabila seseorang melakukan sesuatu dalam keadaan gugup dan dipenuhi rasa takut. Dalam komunikasi yang menyalahkan orang lain (blaming others) dan “kasar” dengan pilihan kata yang “kurang terpelajar,” suasana menjadi “negatif” dan lingkungan menjadi kurang kondusif untuk performance prima.

Argumen bahwa “no pain, no gain” (tanpa “rasa sakit” tidak bisa maju) dan “too soft an environment” (lingkungan yang “terlalu lembek”) merupakan salah satu “syarat” untuk membentuk karakter seseorang ternyata sudah lama kadaluwarsa. Penggunaan “suasana negatif” dengan pilihan-pilihan kata, penghukuman dan negative reinforcement lainnya sebaiknya diminimalisir.

Di dalam lingkungan kerja dan bisnis, bagaimana hubungan dan gaya komunikasi para anggota tim dan manajemen, kedua belah pihak perlu merasa “aman dan nyaman.” Jangan sampai seorang manajer merupakan “bully” bagi para anggota timnya. Karena dampak negatifnya akan terasa oleh para konsumen, hasil kerja, tingkat produktivitas, dan gaya komunikasi terhadap stakeholder yang pada akhirnya dapat menurunkan bottom line.

Definisi “bullying” sendiri di Indonesia masih belum tersosialisasi dengan baik. Padahal, hampir setiap hari kita mengalami atau mendengarnya. Contohnya, para majikan yang memanggil pembantu rumah tangga dengan suara keras seperti marah-marah. Juga para manajer yang seenaknya saja memberi deadline yang mustahil bisa dipenuhi. Banyak sekali contoh “bullying,” Anda hanya perlu peka nurani untuk mengenalinya.

Menghadirkan suasana aman dan nyaman namun tinggi produktivitas merupakan gol bagi setiap manajer dan team leader dalam menggerakkan molekul bisnis dari dalam institusi.[]

KONTAN Weekly, 29 Juni – 5 Juli 2015

Pin It on Pinterest

Share This