Download KONTAN Weekly Proksimitas Kompleksita
oleh Jennie M. Xue
Proksimitas bukanlah alasan untuk menggunakan sesuatu, walaupun tampak paling dekat dan “besar” di pandangan mata. Kompleksitas bukanlah bukti kehebatan, walaupun hal itu mungkin membuat Anda “kagum” akan keruwetannya yang sulit dipahami. Jika Anda memerlukan sesuatu dalam proksimitas tertentu dan kelihatannya kompleks, maka Anda bukanlah sedang menatap sesuatu yang luar biasa. Bisa jadi malah sebaliknya.
Seorang entrepreneur perlu menyadari ini dan tampaknya mereka yang sukses memang sudah menyadari dua hal ini yang sering kali “menjerat.” Hanya karena kita bisa dengan mudah menggapai sesuatu, bukanlah berarti ini yang terbaik untuk pasar dan kita sebagai produsen atau penyedia produk dan jasa. Juga produk atau servis yang kelihatannya “kompleks” mungkin tampak sophisticated, namun bukanlah jaminan akan laku.
Gerai burger In-N-Out misalnya, hanya punya tiga item di dalam menu mereka: hamburger, cheese burger, dan double-double. Double-double memakai dua lapisan daging dan dua lapisan keju. Sejak tahun 1948, gerai ini dibuka di Baldwin Park, California dengan hanya menjual tiga macam burger saja. Sampai saat ini, 66 tahun kemudian.
In-N-Out Burger menawarkan kesederhanaan menu dan penyajian. “Tidak neko-neko” istilah Bahasa Jawanya. Kentang gorengnya pun bukan yang frozen berstandar McDonald’s, namun bisa diamati oleh konsumen di balik kaca dapur mereka yang berada di belakang register kasir. Kentang segar dikuliti dan dipotong-potong dahulu sebelum dicelupkan ke dalam minyak goreng nabati yang mendidih. Kesederhanaan di sini membawa rasa “aman” bagi konsumen bahwa apa yang disajikan segar, bersih, dan tidak mengandung pengawet.
“Proksimitas” alias “terlihat dekat” seringkali menjadi pilihan bagi para entrepeneur. Bisa saja tetangga cukup berhasil sebagai penjual bakmi. Sehingga ini kelihatan “bisa dilakukan” karena “dia saja berhasil, saya juga pasti bisa berhasil.” Proksimitas sebagai pola pikir cukup berbahaya.
Penulis sendiri punya keyakinan yang tidak lazim bagi seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Di tanah ini, seorang penulis dipandang “sebelah mata,” alias “tidak akan mampu membiayai diri sendiri apalagi keluarga.” Untuk membuktikan bahwa ini adalah mitos belaka, penulis berkelana dan merantau hingga ke Silicon Valley.
Di sana, penulis berhasil membuktikan bahwa menulis adalah suatu ketrampilan yang luar biasa berharga. Banyak sekali produk yang bisa diproduksi dari hasil menulis. Mulai dari menulis laporan, buku, ebook, skenario film, hingga berbagai analisis finansial dan hukum. Bayangkan apa jadinya penulis apabila “percaya” bahwa menulis adalah suatu ketrampilan yang sia-sia dan tidak berharga, hanya karena di sekitar tidak ada yang berhasil sebagai penulis profesional?
Untungnya, sekarang kita bisa menggunakan Internet sebagai “jendela” dunia. Dunia ini demikian luas. Bagi yang “stuck” di satu wilayah saja, baik kota, kabupaten, propinsi, atau negara sebaiknya segera “bangun” dari tidurnya. Dunia ini begitu luas dan beragam pilihan-pilihannya. Anda bisa mengikuti idaman-idaman hati bahkan ke planet lain. Aspirasi apapun yang kelihatannya “jauh dari mata” bisa saja dicapai. Mungkin tidak demikian mudah. Namun, apakah yang mudah bagi orang lain, ternyata mudah pula bagi Anda? Jawabannya: tidak.
Proksimitas sering kali menipu. Hanya karena lingkungan kita berhasil di dalam bidang-bidang tertentu, tidak berarti kita juga pasti berhasil. Kompleksitas sering kali juga menipu. Kita tidak perlu menyajikan 101 macam menu, namun cukup beberapa saja yang memang bisa dipertahankan kualitasnya.
Yakin akan kemampuan diri yang telah diasah lebih dari 10.000 jam untuk mencapai tahap “maestro” versi Outliers-nya Malcolm Gladwell dan pergilah merantau atau pilihlah bidang-bidang yang langka. Seringkali kombinasi keyakinan yang besar dengan bidang-bidang langka merupakan kunci sukses luar biasa.
Jadilah berbeda. Simpel. Dan tidak ragu keluar dari zona nyaman.[]
KONTAN Weekly, 31 Maret-6 April 2014