[Download PDF KONTAN Weekly Project Leadership]
oleh Jennie M. Xue
Indonesia sangat dikenal dengan berbagai rencana pembangunan yang gagal. Lihat saja tiang-tiang monorail di Jakarta sebagai bukti “batalnya” konstruksi. Kini, Jakarta dipenuhi dengan berbagai aktivitas pembangunan kota, seperti MRT dan light train. Akankah selesai pada waktunya? Semoga.
Selain proyek-proyek pemerintah yang sering terlambat, institusi-institusi privat juga tidak luput dari rasa was-was apakah suatu proyek bisa diselesaikan pada waktunya dengan sumber daya yang telah dialokasikan dan budget yang telah ditentukan. Apalagi di era di mana efisiensi ditingkatkan dan budget sering kali diperkecil.
Di negara-negara yang sangat mengutamakan efisiensi, project management certification merupakan salah satu sertifikasi business skill yang paling dicari dan dihargai tinggi. Lowongan “project manager” menjadi idaman para lulusan sekolah bisnis dan mereka yang ingin berkecimpung sebagai eksekutif perusahaan.
Sesungguhnya, Indonesia sangat memerlukan para project manager dan project leader yang mumpuni.
Susanne Madsen dalam bukunya The Power of Project Leadership berargumen bahwa setiap project manager (PM) perlu beradaptasi terhadap berbagai perubahan dan menggunakan berbagai strategi kepemimpinan, tidak hanya semata sebagai seorang manajer. Jadi, di sini “soft skill” dalam membangun suatu proyek dari sudut mental dan psikologis sama pentingnya atau lebih penting daripada membangun dari sudut kasat mata yang berdasarkan “hard skill.”
Menurut studi The Economist dan the Project Management Institute (PMI), hanya 56 persen inisiatif yang berhasil diselesaikan sesuai dengan rencana. Di The House of Commons Inggris Raya, hanya sepertiga dari proyek pemerintah yang diselesaikan tepat waktu dan sesuai budget.
Biasanya, suatu proyek gagal karena ketidakjelasan jangkauan (scope) dan kriteria ukuran sukses, lemahnya strategi pelaksanaan, lemahnya pembelian, dan kurangnya keterlibatan langsung dari para stakeholder, kurangnya pertukaran ketrampilan manajemen, meremehkan, dan lemahnya manajemen resiko yang berhubungan dengan suplai dan distribusi.
Singkat kata, gol “dimengerti,” namun bagaimana pelaksanaanya kurang “dipahami,” dan pelaksanaannya sendiri kurang tepat.
Menurut PMI, rata-rata organisasi mengalami kerugian USD 109 juta untuk setiap USD 1 miliar yang dikeluarkan untuk berbagai proyek. Dan yang menyebalkan, penyebabnya terutama karena kurangnya fokus para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek.
“Fokus” memang seringkali dipandang remeh. Padahal, tanpanya apapun bisa dipastikan akan gagal. Dalam kultur Indonesia yang termasuk rendah produktivitasnya, belum ada statistik yang jelas mengenai jumlah kerugian akibat gagalnya suatu proyek.
Dalam era serba cepat digital ini, proyek-proyek cukup sering “kedodoran” akibat gagalnya komunikasi dan koordinasi yang semakin luas cakupannya. Dengan berbagai elemen proyek yang di-outsource, koordinasi perlu jauh lebih ketat.
Bayangkan bagaimana Boeing kedodoran dalam menyelesaikan Boeing 747 Dreamliner-nya hingga tertunda dua tahun delivery kepada All Nippon Airways (ANA). Salah satu alasan utama keterlambatan adalah kurang tepatnya berbagai elemen yang di-outsource kepada beberapa pihak lain. Terlepas dari tingkat akurasi rencana dan spesifikasi yang telah diberikan.
Menurut riset PMI, 80 persen dari kegagalan penyelesaian proyek disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan proyek. Dengan kata lain, keberhasilan proyek banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan yang baik, termasuk visioner, memiliki rasa ownership yang besar, membangun kerja sama, dan memotivasi anggota tim dalam mencapai gol.
Seorang project leader yang baik wajib memiliki kemampuan untuk menghubungkan pengetahuan dan informasi dengan situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, seorang pemimpin bukan hanya mengikuti rencana dan budget tertulis secara kaku, namun merupakan seorang troubleshooter setiap kali ada hal-hal tidak terduga yang berpotensi memperlambat penyelesaian proyek.
“Penyakit lama” setiap individu yang mengaku dirinya “pemimpin” adalah implementasi pengetahuan dan informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan realita. Pemimpin proyek yang mampu menjembataninya adalah pemimpin yang ditunggu-tunggu.[]
KONTAN Weekly, 9-15 Februari 2015