Select Page

Kontan

Download KONTAN Pricing Antara Seni dan Sains

oleh Jennie S. Bev

Pricing alias penetapan harga suatu produk atau jasa merupakan suatu perkawinan antara seni dan ilmu pengetahuan. Tak ada metode tertentu yang bisa memberikan suatu formula kesahihan suatu harga. Persepsi konsumen juga sangat menentukan harga suatu produk atau jasa, sehingga bisa disimpulkan pricing adalah suatu permainan mental (mental or psychological game).

Dalam Smart Pricing, professor Jagmohan Raju dan Z. John Zhang dari Wharton Business School menerangkan, pricing bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sederhana atau lebih kompleks. Tiga pendekatan sederhana: cost-plus pricing, competition-based pricing, dan consumer-based pricing.

Cost-plus pricing paling sederhana dan banyak digunakan para pelaku bisnis kecil dan menengah. Berapa ongkos yang dikeluarkan untuk materi, produksi, distribusi, dan pemasaran digabungkan dengan fixed dan variabel biaya lainnya. Lalu, dibagi dengan jumlah satuan per produksi dan ditambah dengan sekian persen mark-up. Persentasenya tergantung konvensi industri, misalnya untuk produk elektronik dan jasa yang organisasi dagangnya kuat.

Competition-based pricing juga populer digunakan karena implementasinya sederhana. Carilah produk setara yang bisa jadi substitusi dan gunakan harga kompetitor sebagai referensi. Semestinya pricing jenis ini termasuk strategis karena sangat dipengaruhi kompetitor, namun praktiknya malah menjadi no brainer alias pasif dan tidak perlu banyak dipikirkan.

 

Pricing jenis ini mempertaruhkan pangsa pasar, sehingga kompetisi semakin ketat. Ini perlu diimbangi aktivitas-aktivitas marketing. Amazon dan peritel online banyak menggunakan pendekatan ini. Penyesuaian harga secara otomatis menggunakan software bisa dilakukan dengan real-time. Misalnya, harga e-book yang dijual gratis di Amazon bukanlah ditentukan oleh penerbit atau pemegang hak cipta. Namun, ini hasil otomatisasi pricing yang dilakukan oleh Amazon dari data harga kompetitor pada produk yang sama.

Terakhir, consumer-based pricing sesuai untuk produk dan jasa yang mempunyai nilai persepsi tinggi. Misalnya, produk mewah yang dibeli dengan dispensable income. Di Amerika Serikat, misalnya, penjualan mobil memakai metode ini.

 

Biasanya, salesman mengobrol dengan calon pembeli untuk kepentingan profiling. Profil seseorang yang berasal dari status ekonomi tinggi yang sederhana, misalnya, bisa saja tertarik mengendarai mobil Prius hybrid Toyota.

Pricing mobil di Amerika terbagi atas manufactured price (harga dasar dari pabrik), retail price (harga jual dealer), dan street price (harga akhir setelah ditambah biaya lain-lain seperti pajak kendaraan). Pricing bertingkat ini bisa dijadikan referensi bagi penjual dan pembeli dalam bernegosiasi.

Pembeli yang berpengalaman biasanya langsung memilih harga pabrik ditambah mark-up sekadarnya. Bagi yang tak berpengalaman atau mempunyai bujet lebih, salesman biasanya menawarkan street price.

Metode pricing yang lebih kompleks seperti “pay as you wish” menggunakan system penghormatan di mana penjual dihargai sepantasnya. Ini sering dijumpai di situs maya seperti mengunduh lagu-lagu MP3.

Metode ini juga sangat bergantung pada keadaan sosial, ekonomi, dan politik masyarakatnya. One World Cafe di Salt Lake City, Utah, misalnya, membebaskan konsumen membayar semampunya. Pendapatan mereka tahun 2005 tidak mengecewakan, yaitu US$250.000 dan margin profit 5%.

Yang unik dari perkembangan bisnis internet adalah free pricing. Gratis hingga batas tertentu, setelah itu mesti membayar atau gratis untuk jenis produk tertentu. Suratkabar New York Times, misalnya, menggratiskan 20 artikel selama satu bulan pada satu gadget. iCloud Apple memberikan ruang gratis sebesar 5 GB. Selebihnya, konsumen mesti membayar. LinkedIn memberikan fasilitas gratis add to connect sejumlah tertentu. Selebihnya, pengguna mesti membayar dalam tiga tingkatan dengan biaya bulanan berbeda.

Dari pengalaman pribadi mendirikan dan mengelola perusahaan penerbitan e-book di Silicon Valley, pricing e-book berfluktuasi tajam sejak Amazon mempromosikan “zero price” dan “99 cent”. Padahal, e-book biasanya dijual seharga puluhan bahkan ratusan dollar AS per unduhan. Konsumen pun terhanyut. Cukup memiliki Kindle e-reader (yang hanya dijual di AS, Inggris, dan beberapa negara Eropa) atau Kindle app di iPad dan tablet Android, dapat menikmati ribuan e-book gratis yang dalam private domain (bukan hanya buku-buku klasik public domain).

Tapi, saat ini, Amazon dan iTunes Apple sedang diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman AS atas tuduhan price fixing. Bisnis e-book yang dikuasai oleh Amazon ini diduga telah mematikan bisnis penerbitan buku konvensional di AS. Inilah salah satu kekuatan dan buah simalakama pricing yang berhasil.[]

Kontan, 16-22 April 2012

Pin It on Pinterest

Share This