Select Page

Kontan

Download PDF KONTAN Daily Poverty Business

oleh Jennie S. Bev

Walaupun
GDP per kapita Indonesia telah mendekati USD 4000, sesungguhnya, kelas menengah
bawah masih mendominasi struktur populasi. Di AS sendiri, yang berpendapatan
kurang dari USD30.000 per tahun bisa digolongkan berpendapatan rendah. Mereka
ini merupakan target empuk para pebisnis yang melihat pangsa pasar ini sebagai
peluang. Di AS, ini disebut sebagai “poverty business.”

Salah
satu bentuk “poverty business” yang laris di AS sekarang adalah “dollar store”
alias “toko satu dollar.” Semua barang yang dijual seharga USD1, kecuali yang
ditandai khusus. Di Indonesia, ada toko “lima ribu” yang serupa tapi tidak
sama.

Indonesia
juga dikenal dengan konsumtivisme yang tinggi di antara mereka yang
berpenghasilan rendah. Packaging di Indonesia dikenal mungil-mungil yang telah
“disesuaikan dengan kemampuan membeli” pasar. Sesungguhnya, ini meningkatkan
profit margin sepanjang packaging cost bisa ditekan. 

Dengan
kata lain, Indonesia merupakan pasar “poverty business” yang sangat luar biasa
menggiurkan.

Kesamaan
demografi, terlepas dari perbedaan angka-angkanya, yang memungkinkan “poverty
business” ini berkembang adalah tingginya angka kemiskinan. Dalam keadaan
krisis ekonomi sejak 2008, AS belum berhasil bangkit secara signifikan. Ini
menyebabkan tingginya angka pengangguran dan angka kemiskinan.

“Dollar
store” mempunyai tempat istimewa di era ini. Menurut Nielsen Research,
pengunjung loyal dollar store biasanya tinggal di tengah-tengah kota besar,
kota-kota kecil atau pedesaan. Empat puluh lima persen konsumennya berpenghasilan
USD30.000 per tahun ke bawah. Hanya 8 persen konsumennya yang berpendapatan
lebih dari USD100.000.

Asosiasi
industri dollar store menyebutkan USD40.000 penghasilan per tahun dari 56
persen konsumen mereka. Hanya 25 persen-nya yang berpenghasilan kurang dari
USD20.000. Sisanya berpenghasilan menengah dan menengah atas dengan angka di
atas USD40.000.

Poverty
business lainnya yang dikenal di AS antara lain adalah transfer uang ala
Western Union. Tanpa perlu memiliki akun bank, seseorang bisa kirim uang ke
mancanegara dengan hanya mengandalkan tanda pengenal lokal yang bisa
diverifikasikan. Tentu saja, bisnis seperti ini sangat rentan terhadap money laundering dan keamanan privasi
seseorang, termasuk keamanan antar negara.

Payday
loan alias peminjaman uang jangka pendek dengan jaminan uang gaji yang akan
diterima juga merupakan salah satu primadona poverty business. Ini salah satu
bentuk micro loan, namun jangan dibayangkan seperti Grameen Bank-nya Muhamad
Yunus. Micro loan ini kebanyakan digunakan untuk hal-hal urgen seperti biaya ke
dokter bagi yang tidak punya asuransi kesehatan, membeli hadiah perkawinan,
membayar montir mobil, maupun hal-hal konsumtif lainnya. 

Payday
loan biasanya berkisar antara USD 100 hingga USD 1.000, tergantung peraturan
negara bagian. Biasanya, jangka waktu pinjaman sekitar 1-2 minggu. Untuk
peminjaman sebesar USD 100 selama 2 minggu, bunganya bisa mencapai USD 15
hingga USD 30. Kalau dihitung suku bunga per tahun, sesungguhnya bisa mencapai
300 persen hingga 750 persen. Untuk pinjaman yang kurang dari 2 minggu, suku
bunga per tahun bisa lebih tinggi lagi.

Salah
satu bentuk poverty business yang juga semakin marak ketika ekonomi sedang
lemah adalah pawn shop alias toko-toko pegadaian. Izin khusus diperlukan
mengingat bisnis ini memberi posisi yang mampu “mencekik” seseorang ketika dalam
keadaan lemah. Di Indonesia, pegadaian negara dikenal dengan logo hijaunya yang
telah diremajakan oleh Fortune PR Indonesia. Aturan main pegadaian di Indonesia
berbeda dengan di AS dan resiko penggunaan jasa mereka juga berbeda.

Poverty
business sudah mendarah daging di Indonesia dengan berbagai consumer products
yang dikemas mungil-mungil baik dengan sachet maupun dengan botol-botol kecil.
Porsi makanan pun termasuk mungil dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Sesungguhnya ini cukup memprihatinkan mengingat kebutuhan kalori per hari
mencapai 1.800 hingga 2.500 untuk fungsi optimal.

Kemasan
makanan mungil-mungil mungkin memberikan ilusi “murah” padahal memberikan
profit margin yang tinggi bagi pebisnis dan mempengaruhi asupan gizi. Poverty
business seyogyanya tidak merugikan konsumen mengingat konsumen yang sehat
adalah konsumen berulang (repeat customer).

Sampai
saat ini, Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai “disconnect between
economic power with consumer protection.” Apalagi dengan 48 persen populasi
Indonesia yang berpendidikan SD, betapa mudah mereka diperdaya oleh para
pebisnis yang cerdas mengambil peluang dalam bisnis kemiskinan ini. Kegagalan
pembangunan sosial dan pendidikan merupakan peluang emas bagi pebisnis, yang
sangat disayangkan.

Idealnya,
mereka yang kuat memberikan pencerahan bagi yang lemah, termasuk dalam
berbisnis dan mengkonsumsi, bukannya mengambil keuntungan berlebihan. Saatnya
untuk menyongsong Bisnis 2020 yang adil, berkesinambungan dan tidak merugikan
konsumen dan alam. Salam hangat dari Silicon Valley.[]

KONTAN Daily, 15 Maret 2013

Pin It on Pinterest

Share This