Select Page

Luar Biasa

LUAR BIASA Positive Negative Thinking

oleh Jennie M. Xue

Jika Anda terus-menerus memikirkan hal-hal negatif, maka Anda pasti akan menjadi pecundang. Ini kredo yang sering dikumandangkan oleh para motivator di Indonesia. Benarkah itu? Apakah berpikir positif hanya satu-satunya jalan menuju sukses?

Jawabannya mencengangkan: Tidak. Bahkan di Amerika Serikat, negative thinking sudah diakui mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam mendorong dan mempertahankan sukses. Ini didukung oleh para neurosains dan psikolog klinikal.

Baik mereka yang berpikir positif maupun yang berpikir negatif sama-sama mempunyai kesempatan untuk menjadi orang sukses. Penelitian Motivation Center Columbia University di New York City menyimpulkan bahwa ada dua macam fokus yang dipakai oleh seseorang. Dan dua-duanya adalah fokus yang sahih. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih jitu.

Kedua fokus ini dikenal sebagai Fokus Promosi dan Fokus Prevensi. Yang pertama mungkin lebih populer dengan sebutan positive thinking atau optimisme. Yang kedua dikenal sebagai negative thinking atau skeptisisme. Lantas, kalau dua-duanya memberikan kesempatan untuk sukses, mengapa positive thinking mendapat porsi popularitas yang lebih besar?

Pertama, tidak semua jenis pekerjaan atau bisnis mengandalkan positive thinking untuk berkembang. Bahkan pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis tertentu hanya bisa berjalan dengan baik dengan menggunakan prinsip pemikiran negatif alias preventif alias skeptis. Bahkan para akademisi di universitas menggunakan perspektif skeptical empiricist.

Bisnis asuransi, konsultan hukum, lost prevention, para penjaga keamanan, dan para akuntan auditor bekerja dalam kewaspadaan dan tingkat prevensi yang tinggi. Mereka mengutamakan keamanan dari apa yang dimiliki sekarang daripada mengeksplor berbagai kesempatan baru yang belum tentu hasilnya menjanjikan. “Keberhasilan” mereka dicapai ketika aset yang ada tidak berkurang, bahkan bertambah.

Kedua, mereka yang mempunyai pola pikir negative thinking dominan bukan berarti mereka orang jahat, buruk, atau tidak baik. Kecenderungan berpikir negatif merupakan bawaan fisiologis alami seluruh umat manusia, bukan merupakan cerminan buruknya didikan keluarga maupun pendidikan yang pernah diterima. Ini merupakan pilihan otak yang dominan sejak zaman dahulu kala, walaupun melatih pola pikir menjadi positif tentu memungkinkan, sepanjang yang bersangkutan mempunyai kesadaran pentingnya perubahan tersebut.

Para preventor mempunyai kelebihan luar biasa dalam daya observasi yang seksama dan mampu meneliti suatu situasi secara mendalam. Mereka cenderung menghindari resiko. Sedapat mungkin, mereka tekan resiko seminimalnya. Mereka pandai membaca keadaan dan bertanggung jawab akan pilihan-pilihan mereka. Mereka memilih atas pertimbangan yang matang.

Berbeda dengan para promotor yang berpikiran lebih positif karena percaya bahwa setiap kesempatan perlu dicoba, agar tidak menyesal di kemudian hari. Namun mereka seringkali mengalami kegagalan yang tidak pernah disesali. Mereka tetap tebal muka dan “tahan banting” seberapa pun seringnya kegagalan terjadi. Bisa dimengerti mengapa para motivator lebih fokus ke perspektif ini.

Ketiga, negative thinking merupakan default state utama dalam psikologi manusia mengingat perkembangan sejarah sejak zaman batu di mana manusia mengandalkan insting dan kekuatan tangan sendiri untuk bisa bertahan hidup di alam yang keras. Ini merupakan kesimpulan dari para neurosaintis dan psikolog. Di masa zaman batu, misalnya, manusia purba perlu mengenal hal-hal yang bisa mengancam keselamatan mereka.

Binatang buas dan suku lain yang mengancam bisa saja merupakan ancaman tiba-tiba. Untuk ini, sistem alert fisik dan psikis kita telah mengalami evolusi sehingga cukup efektif dalam membaca bahasa tubuh, keadaan alam, maupun suara-suara dan pandangan-pandangan tertentu. Ini memerlukan “alarm” alami dengan perasaan negatif dan dikeluarkannya hormon adrenaline yang memungkinkan untuk bergerak cepat, baik melawan maupun berlari.

Keempat, terminologi “positive thinker” kedengarannya indah dan menjanjikan, namun seringkali menjadi basa basi belaka dan tidak jelas arahnya apabila tidak disertai dengan tindakan yang selaras. Dan ketika seseorang berpikir positif saja tanpa internalisasi yang kuat, maka motivasi akan terbatas, bahkan hanya bertahan dalam hitungan jam saja.

Sering kita dengar bahwa para peserta seminar-seminar motivasi yang hanya terpompa sebentar. Begitu tiba di rumah, mereka kembali “melempem” dan tidak lagi termotivasi. Ini sangat disayangkan karena mereka belum meresapkan arti berpikir positif. Dalam Ilmu Psikologi, ini bisa dipahami mengingat berbagai sebab: fisiologis dan pengaruh lingkungan. Untuk mengubahnya secara total, diperlukan usaha bertahap sebagai “pengubah kebiasaan” alias changing your habits.

Dalam The Power of Habit oleh Charles Duhigg, dikisahkan betapa kebiasaan sangat berperan dalam segala sesuatu, baik keputusan-keputusan jangka pendek maupun jangka panjang. Dan kebiasaan alias “habit” sangat mementukan kesuksesan seseorang. Mitosnya adalah “kita menguasai kebiasaan kita” padahal faktanya seringkali “kita dikuasai oleh kebiasaan kita.”

Kebiasaan berpikir negatif merupakan programming dasar dari evolusi manusia yang bisa dan sebaiknya diubah. Bahkan menurut para neurosaintis, 40 persen dari perilaku kita didasarkan oleh kebiasaan, bukan keputusan yang memerlukan pertimbangan matang. Jadi, sesungguhnya, pertimbangan yang kita lakukan juga berdasarkan kebiasaan kita di masa lampau.

Lantas, bagaimana kita mengubah kebiasaan berpikir negatif sehingga berpikir positif? Pertama-tama, kita perlu menyadari dan mengakui bahwa pikiran-pikiran negatif sesungguhnya bukan merupakan penghalang kesuksesan sepanjang ia tidak membendung usaha-usaha kongkrit dalam berkarya dan mencapai target. Pikiran-pikiran negatif diperlukan sebagai safety net dalam kehidupan dan bisnis.

Kedua, yang perlu diubah adalah kebiasaan negatif yang didasari oleh pikiran negatif. Misalnya, kebiasaan-kebiasaan buruk yang menghambat produktivitas. Apabila Anda sering menunda-nunda sesuatu, maka untuk mengubah kebiasaan ini diperlukan suatu reward positif. Berikan deadline dalam mengerjakan sesuatu dan berikan sesuatu yang istimewa untuk kemenangan kecil hari ini. Biasanya diperlukan 90 hari untuk mengubah suatu kebiasaan.

Sekali lagi, kita tidak perlu terlalu “menghakimi” mereka yang berpikiran negatif, sepanjang ini membantu karir dan kehidupan yang lebih baik. Banyak pekerjaan yang berprespektif ini, jadi mustahil diubah seratus persen, karena akan membahayakan. Yang perlu diubah adalah perspektif negatif yang didasari oleh pola pikir negatif serta menghasilkan hal-hal negatif.[]

Penulis adalah digital entrepreneur berbasis di Silicon Valley, California dan Singapura. Ia telah menelurkan 100 ebook dan seribuan artikel dalam dwibahasa.

LUAR BIASA, Juli 2014

Pin It on Pinterest

Share This