[Baca langsung di PrismaIndonesia.com.]
oleh Jennie M. Xue
Antara tahun 2050 hingga akhir abad ini, bumi akan dihuni oleh 10 miliar jiwa dan 70 persennya akan bermukim di lingkungan urban. Secara alami, banyak hal akan berubah secara drastis ketika populasi sebesar ini yang disebabkan oleh tekanan berlebihan terhadap lingkungan. Berbagai bentuk keadaan “darurat ekologi” akan menjadi semakin umum, termasuk bentuk-bentuk pengungsian yang disebabkan oleh iklim. Vanuatu, misalnya, negara pulau yang kini telah terbenam air laut melahirkan para “climate refugees” alias para pengungsi iklim.
Dalam 40 tahun terhitung dari 1971, populasi Indonesia sudah mencapai dua kali lipat dari 119 juta menjadi 245 juta. Di tahun 2050 populasi Indonesia akan mencapai 366 juta. Indonesia akan menjadi negara kelima terbesar populasinya di dunia. Posisi keempat akan dipegang oleh Nigeria. Amerika Serikat akan memegang posisi ketiga.
Alangkah besar tekanan populasi Indonesia terhadap tanah dan lingkungan Indonesia. Dengan luas daratan Indonesia yang hanya sebesar 2.66 kali luar Negara Bagian Texas, Indonesia bukanlah negara yang luas, bahkan bisa terbilang agak sempit untuk ditempati. Mengingat manusia bermukim di darat, walaupun aklamasi tanah untuk memperluas wilayah daratan seperti yang dilakukan di Singapura tentu memungkinkan terlepas dari biaya tinggi.
Bayangkan juga betapa banyaknya sumber daya alam yang masih akan terhisap. Belum lagi kebutuhan akan rumah yang layak terjangkau masih kurang 15 juta unit saat ini.
Dalam estimasi 2012, angka kelahiran Indonesia 17,76 bayi per 1000 orang. Bandingkan dengan angka kematian yang hanya 6,28 per 1000 orang. Memang angka pertumbuhan Indonesia hanyalah 1,04 persen, namun satu persen dari 245 juta bukanlah angka yang kecil dan ini sangat cepat membengkak hanya dalam beberapa tahun saja.
Iran pernah mengalami ledakan populasi yang luar biasa ketika terjadi Revolusi Iran di tahun 1979 dengan lengsernya Shah Iran yang digantikan oleh Ayatollah Rohullah Khomeini. Ledakan populasi ini bisa diatasi dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan para ulama sehingga kini pertumbuhan populasi sudah terkendali.
Indonesia bisa belajar dari keberhasilan penekanan angka populasi Iran untuk menekan ledakan populasi nasional yang bisa-bisa mempercepat “tenggelamnya” pulau-pulau besar kita. Sudah saatnya para ulama Indonesia yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa alias “expert opinion” yang menganjurkan pengurangan jumlah anak per keluarga. Dan ini idealnya dibantu oleh pemerintah dengan berbagai fasilitas kemudahan ber-KB.
Sejarah keberhasilan Iran begini. Iran menukar rezim dinasti sekular modern dengan rezim teokrasi yang dipimpin oleh ulama dengan proses tidak berdarah. Tidak lama kemudian tentu kita ingat bahwa Saddam Hussein melempar Khomeini ke luar pemerintahan dan ini adalah proses yang berdarah. Perang Iran-Irak berlangsung lama lebih dari enam tahun, dengan korban jiwa dari pihak Iran yang mencapai ratusan ribu orang.
Sebelum Revolusi Islam, Iran sendiri telah berusaha keras meredam laju pertumbuhan populasi. Di tahun 1956, penduduk Iran hanya 18.9 juta jiwa dengan 7.7 anak per perempuan. Dalam satu dekade, penduduk bertambah 6 juta jiwa. Di tahun 1976, angka fertilitas masih 6.3 anak per perempuan. Di tahun 1979 ketika terjadi revolusi, penduduk Iran mencapai 37 juta jiwa.
Pada awal rezim Khomeini, ada fatwa yang mengizinkan penggunaan alat kontrasepsi, sehingga mendukung program pemerintah. Namun ketika perang berkepanjangan dengan Irak terjadi, Department Perencanaan Kependudukan yang mengurusi kelahiran dan alat-alat kontrasepsi ditutup. Ini mengancam kontrol populasi. Ditambah lagi dengan propaganda “Membangun Tentara Sebanyak 20 Juta Pria” menjadi kampanye yang sangat mempengaruhi keputusan perempuan untuk beranak banyak.
Usia minimal untuk menikah diturunkan dari 18 ke 13 tahun. Termotivasi oleh pembagian kebutuhan sehari-hari oleh pemerintah bagi setiap penduduk, termasuk bayi yang baru lahir, para perempuan memandang memiliki anak banyak sebagai jalan menuju kesejahteraan. Bahkan jatah barang-barang elektronik juga tersedia, sehingga kelebihan berbagai produk malah mempermarak pasar gelap yang menjadi sumber pendapatan ekstra.
Korban perang Iran-Irak jauh tertinggal oleh angka kelahiran yang mencapai 4.2 persen. Ini rekor tertinggi di dunia. Di tahun 1986, penduduk Iran sudah mencapai 50 juta jiwa. Semakin lama, Iran semakin kewalahan untuk memberi sandang, pangan, dan papan bagi mereka. Di tahun 1987, Demografer dan Ahli Sejarah Abbasi-Shavazi menyarankan pemerintah bahwa Iran tidak lama lagi akan bangkrut mengingat minimnya anggaran negara yang dilanda perang dan diembargo dunia internasional.
Tahun 1988, Perang Iran-Irak selesai. Rezim Khomeini dengan serentak sepakat akan pentingnya meredam populasi setelah bertahun-tahun menganjurkan beranak-pinak sebanyak mungkin. Propaganda pasif dengan poster dan iklan televisi yang dikombinasikan dengan propaganda aktif di mesjid-mesjid melalui kotbah Jumat oleh para mullah (ustadz) ternyata sangat efektif.
Dibandingkan dengan Cina yang menggunakan tangan besi dalam menerapkan Kebijakan Satu Anak, Iran hanya “menyarankan” untuk memiliki satu atau dua anak saja. Pemerintah Iran menyediakan kondom, pil, dan alat-alat kontrasepsi lainnya secara gratis. Ayatollah Rohullah Khomeini memang melarang operasi dan aborsi, namun penerusnya Ayatollah Ali Khomeini mengizinkan penggunaan operasi sehingga vasektomi untuk pria dan tubektomi untuk perempuan. Operasi ini juga diberikan gratis oleh pemerintah termasuk di daerah-daerah terpencil yang dijangkau dengan mengendarai kuda.
Kekuatan fatwa ulama Syiah ini memang lebih mengikat dibandingkan dengan fatwa para ulama Sunni seperti di Indonesia. Namun pengalaman luar biasa Iran ini bisa dijadikan benchmark yang ampuh dalam menanggulangi ledakan populasi.
Ingat, suksesnya peredaman populasi membantu tingkat kesehatan dan kualitas hidup perempuan dan anak-anak. Ujungnya, akan bermuara kepada perbaikan kualitas bangsa.[]
Prisma Indonesia, 29 Januari 2015