Download PDF KONTAN Daily Pola Pikir dan Andragogi
oleh Jennie S. Bev
Pola
pikir alias “mindset” merupakan fondasi dari aktivitas, termasuk
aktivitas-aktivitas yang membuahkan produktivitas dan efisiensi. Untuk konsumsi
individu, buku-buku self-help sudah
cukup banyak yang membahas soal ini. Bagi suatu institusi, “mindset” merupakan
fondasi dari kultur organisasi. Misalnya, bagi suatu negara, “mindset”
merupakan kultur yang dipopulerkan di masyarakat pada umumnya.
Singapura
dengan kiasu mindsetnya memacu
produktivitas mengingat nilai seseorang di dalam perusahaan dan masyarakat erat
hubungannya dengan prestasi. Demikian pula Jepang. Di Silicon Valley, “nilai”
seorang entrepreneur ditentukan
dengan keberhasilan dalam mengembangkan startup. Uniknya, atmosfir demikian
membangunkan kreativitas dan inovasi optimal.
Didukung
dengan penerapan hukum yang baik, seperti anti-trust
laws, semestinya mindset ini bisa menjadi fondasi dari pembangunan fisik
dan sosial. Sayangnya, di Indonesia pembangunan fisik dan sosial tidak berjalan
paralel.
Wealth mindset seperti yang sering
disebut-sebut oleh para pakar self-help
seperti Dr. Joe Vitale, bisa juga diterapkan dalam institusi, termasuk
perusahaan. Namun pelaksanaannya memerlukan kehati-hatian mengingat terlalu
banyak yang mengartikannya secara terlalu simplistik.
Misalnya,
“pola pikir berkelimpahan” bisa diartikan “silakan menghambur-hamburkan
budget.” Tingkat inteligensi umum setiap level eksekutif dan pegawai lainnya
juga perlu diperhatikan. Pelatihan perlu dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan mencerna fondasi pola pikir yang hendak diperkenalkan.
Bisa
diperhatikan dari gaya para trainer yang perlu “memancing” fokus para peserta
dengan “pancingan-pancingan ala kanak-kanak” seperti berteriak “satu, dua,
tiga!” Ini merupakan salah satu kebiasaan yang sebenarnya bisa diubah. Mindset
berpikir dan belajar mandiri tanpa perlu dipompa oleh motivasi eksternal
merupakan kendaraan akselerasi inovasi dan kreativitas yang menentukan tingkat
produktivitas dan efisiensi.
Dari
beberapa pelatihan yang saya amati selama berada di Jakarta, terlepas dari
posisi para peserta yang mayoritas berkedudukan manager ke atas, para trainer
perlu dengan sangat antusias dalam menjaga atmosfir pembelajaran. Bagi saya
yang sudah lama bermukim di negara barat, proaktivitas para peserta training
biasanya jauh lebih tinggi. Dengan kata lain, peserta “pasif” cukup banyak
ditemui dalam kultur belajar Indonesia.
Para
trainer dengan sendirinya mesti bekerja “keras” agar suasana belajar dan
proaktivitas dari peserta bisa berjalan. Dalam ilmu pendidikan, pergerakan dari
pedagogi ke andragogi semestinya bisa berjalan sejajar dengan usia dan
pengalaman belajar seseorang.
Format
instruksi pada umumnya adalah pedagogi yang bersifat didaktik, traditional dan
berpusat kepada guru atau pelatih. Cukup mengherankan jika ada para trainee
yang berusia dewasa dan berposisi manager ke atas masih perlu dilatih secara
demikian. Semestinya mereka mempunyai individualitas yang cukup untuk belajar
secara dewasa.
“Belajar
secara dewasa” bisa diartikan sebagai proses belajar mandiri dengan bimbingan
dari instruktur yang minimal. Format belajar di universitas tatap muka belum
tentu 100% menerapkan format ini. Format belajar di universitas online yang
sudah banyak merambah universitas-universitas papan atas termasuk Stanford dan
Columbia, bisa dimasukkan di dalam kategori ini.
Adult education di AS seperti yang
diselenggarakan pelatihan-pelatihan yang dibiayai pajak, salah satunya Regional Occupational Training,
menggunakan format andragogi. Format ini berasumsi bahwa para pembelajar usia
dewasa mempunyai inisiatif belajar sendiri. Institusi belajar dan pelatihan
hanya menyediakan lingkungan yang kondusif dengan ketenangan tanpa suara,
tempat belajar yang nyaman, dan para guru dan instruktur yang mampu menjawab
pertanyaan dan mengatasi persoalan yang dialami pembelajar.
Lebih
dari sepuluh tahun lalu, saya pernah mengambil kelas mengetik cepat dan beberapa
kelas penggunaan software. Di kelas-kelas tersebut, guru atau trainer hanya
menyediakan sarana belajar dan menjadi trouble
shooter serta tempat bertanya. Ujian pun tidak dijaga dengan mata elang
oleh sang guru, namun hanya mengingatkan waktu saja. Sang guru sama sekali
tidak mempunyai asumsi bahwa “kalau tidak dijaga maka murid akan nyontek.”
Apakah format ini bisa dipakai di Indonesia, perlu diuji dengan seksama.
Beralih
ke format andragogi bisa dijadikan momentum awal beralihnya ke pola pikir
institusional yang baru. Ditambah dengan knowledge
management yang bisa diakses kapan saja, semestinya ini merupakan langkah awal membentuk
pola pikir institusi yang lebih proaktif, produktif dan inovatif. []
KONTAN Daily, Jumat 8 Februari 2013