Select Page

Kontan Logo

KONTAN Weekly Plutokrasi dan Krisis Global

oleh Jennie M. Xue

Para plutokrat dunia sudah semakin menyadari betapa krisis global hanya bisa diselesaikan dengan memperkecil jurang ekualitas (inequality).

Plutokrat Nick Hanauer termasuk dalam 0,1 persen orang terkaya di dunia. Ia dan para partnernya memiliki berbagai perusahaan, termasuk bank dan institusi finansial, dan beberapa rumah besar dan perahu yacht. Dengan conscience (mata hati) yang peka akan penderitaan orang lain, ia termasuk salah satu dari segelintir plutokrat yang memperingatkan kita semua bahwa “bahaya segera datang,” mengingat jurang ekualitas semakin melebar.

Di tahun 1980an, top 1 persen menguasai 8 persen perekonomian AS, sedangkan 50 persen yang di bawah menguasai 18 persen. Hari ini, top 1 persen menguasai 20 persen perekonomian, sedangkan 50 persen yang di bawah menguasai 12–13 persen. Dalam beberapa tahun lagi, top 1 persen akan menguasai 30 persen perekonomian, sedangkan yang 50 persen di bawah hanya akan menguasai 6 persen.

Luar biasa timpangnya. Berbagai bentuk revolusi akan segera menunjukkan dirinya, sebagaimana dalam Revolusi Perancis di abad ke–18.

Dalam fungsi efektif kapitalisme, sedikit ekualitas merupakan persyaratan yang menjalankan motor. Sedangkan gambaran di masa sekarang ini sudah bukan bentuk yang sehat. Inekualitas sudah keterlaluan.

Demikian juga di Indonesia, ini sudah menjadi hukum alam bahwa segala ketimpangan akan selalu mencari ekuilibrium. Dan ketika ketimpangan sudah keterlaluan, usaha menuju ekuilibrium bisa jadi berbentuk revolusi yang mematikan dan berdarah. Ini tidak kita inginkan untuk terjadi.

Ekualitas bukanlah harapan seorang liberal yang humanis. Ekualitas merupakan persyaratan mutlak sehatnya supply dan demand dalam hukum ekonomi. Bayangkan, betapa banyak produk yang diproduksi oleh para plutokrat, namun tidak bisa diserap di dalam pasar karena sangat rendahnya daya beli.

Piramida plutokrat jelas terancam runtuh apabila konsumen miskin. Siapa yang menjadi konsumen? Pertanyaan yang sama juga saya lontarkan kepada para produsen rokok, dengan membunuh konsumen sendiri, bagaimana industri ini bertahan?

Ekonomi identik dengan ekosistem. Artinya, semakin sejahtera mayoritas penduduk, maka semakin baik ekonomi secara keseluruhan. Karena ekonomi yang hidup merupakan siklus yang mengulang dengan berkesinambungan (sustainable). Bukan saling membunuh dalam arti figuratif maupun literal.

Tanpa ekonomi efisien, maka hanya terjadi chaos, bukan kembali ke ekuilibrium. Model ekonomi terkini tampaknya mengarah kepada semakin parahnya inekualitas.

Kapitalisme sekarang hanya bisa bekerja apabila memberikan solusi bagi kebutuhan manusia. Perhatikan negara-negara kaya, maka ditemukan bisnis-bisnis pemberi solusi, bukan hanya manufaktur sebagai tempat offshore outsourcing ataupun masyarakat konsumtif belaka.

Konsep “trickle down economics” yang meyakini bahwa semakin kaya para plutokrat, maka semakin banyak pekerjaan yang bisa diciptakan sudah terbukti tidak sahih. Demikian pula di Indonesia, bisakah para konglomerat yang dipercaya menciptakan demikian banyak pekerjaan merupakan kunci pengentasan kemiskinan?

Jawaban saya: tidak.

“Trickle down economics” merupakan konsep yang menjustifikasikan kapitalisme untuk mengambil keuntungan secara masif dalam sistem yang menguntungkan perusahaan. Sebuah perusahaan raksasa bisa saja mempekerjakan puluhan ribu pekerja yang berpenghasilan UMR, namun ini bukan berarti kesejahteraan nasional akan meningkat.

Ingat, berbagai bentuk tax reduction dimungkinkan dengan offshore incorporation di safe heaven countries sangat mudah dilakukan di era Internet ini. Belum lagi kelihaian tax preparer yang bisa mencari celah yang menguntungkan perusahaan.

Krisis global hanya bisa diatasi dengan mengurangi jurang inekualitas antara yang 1 persen atau bahkan kurang dari 1 persen dengan 99 persen atau lebih dari 99 persen lainnya. Bisa dimulai dengan mengakui bahwa tidak terjadi “trickle down economics” yang menguntungkan para 99 persen. Dan bertindak agar 99 persen bisa mendapatkan kesempatan untuk mobilitas ke atas.

Nick Hanauer menawarkan agar ekonomi bisa lebih kompetitif dan adil (fair) sehingga pertumbuhan ekonomi bisa terjadi tanpa terhambat berbagai hal, seperti status sosial dan politik.

Inklusifitas merupakan intinya. Dan ini perlu dimulai dengan menghapuskan berbagai rintangan birokrasi dan ekualitas kemanusiaan di mana manusia tidak dibedakan atas latar belakang pendidikan, agama, etnis, afiliasi seksual, dan lainnya.[]

KONTAN Weekly, 15-20 September 2014

Pin It on Pinterest

Share This