Download KONTAN Daily Mistik dan Hipnotis
oleh Jennie Maria Xue
Perbedaan menyolok antara Indonesia dengan negara-negara maju adalah kepercayaan akan mistik dan hipnotis. Walaupun di luar sana kedua hal ini ada, masyarakatnya jauh lebih rasional dan percaya akan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan superstisi, mistik, dan hipnotis. Jadi, ketika usaha mengalami penurunan, konsultasi dilakukan dengan bantuan seorang manajemen konsultasi. Di Indonesia, cukup banyak yang malah berkonsultasi kepada dukun alias witch doctor.
Di AS dan negara-negara maju lainnya, hipnotis merupakan salah satu bentuk terapi psikologi yang perlu pelatihan khusus sebagai psikologi bersertifikasi hipnotisme. Di Indonesia, siapa saja bisa belajar tentang hipnotis dan mempraktekkannya kapan saja bahkan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemasaran dan bisnis. Ini sesungguhnya cukup berbahaya, sehingga sering kita dengar kejahatan-kejahatan yang menggunakan modus operandi ini. Di tanah air, kemampuan menghipnotis sering kali dimispersepsikan sebagai “berilmu gaib,” padahal bukan.
Di sekolah-sekolah bisnis, diajarkan satu bagian dari Ilmu Perilaku Konsumen (Consumer Behavior) yaitu penggunaan pesan-pesan bawah sadar (subliminal messages) dalam meningkatkan pemasaran dan mendorong impulsi membeli. Ini bukanlah hipnotisme, namun bagi orang awam, subliminal messages (SM) sudah cukup “menghipnotis.” SM sering dijumpai di dalam iklan-iklan dan logo-logo perusahaan.
Sebenarnya apakah “hipnotis” itu? Menurut American Psychological Association, hipnosis adalah suatu kerja sama yang diawali dengan interaksi oleh penghipnotis dan yang dihipnotis. Hipnosis di dalam medis mempunyai nilai terapeutik dan menurunkan rasa sakit dan rasa gelisah yang bisa dipakai untuk menurunkan berat badan, menghentikan merokok, dan menghilangkan rasa sakit.
Menurut Psikolog John Kihlstrom, hipnosis hanya bekerja apabila yang dihipnotis bekerja sama dan menuruti kemauan penghipnotis. Dengan kata lain, hipotesisnya adalah apabila seseorang yang akan dihipnotis tidak menuruti kemauan penghipnotis, maka ia tidak bisa “terhipnotis” seratus persen. Hanya yang “setuju” alias memberikan respon positiflah yang bisa dihipnotis.
Agreement dari yang terhipnotis merupakan pintu masuk ke alam bawah sadar. Jadi, dalam berbagai kasus penipun dengan modus operandi hipnotisme, misalnya, hanya bisa terjadi apabila si terhipnotis memberikan “izin masuk” kepada penghipnotis. Berbagai bentuk agreement: mengiyakan, menjawab dengan sungguh-sungguh, percaya penuh kepada penghipnotis, keinginan untuk percaya yang besar.
Menurut teori neodisosiasi hipnotis (neodissociation theory of hypnosis) oleh Hilgard, mereka yang terhipnotis mengalami kesadaran diri yang terbelah dua di mana di dalam otak terjadi dua macam aktivitas mental: kesadaran yang mengikuti sugesti penghipnotis dan kesadaran terhipnotis itu sendiri. Kesadaran semestinya bisa dikontrol oleh pemiliknya, asalkan dilakukan juga dengan sadar.
Perbedaan hipnotisme dengan memasukkan SM ke dalam logo, ilustrasi, dan iklan tentu sangat jauh. Hipnotisme memerlukan kesadaran dan partisipasi penuh oleh yang terhipnotis, sedangkan SM hanyalah usaha dari para pemasar (marketer) untuk mempengaruhi perilaku konsumsi para konsumen. Bentuk-bentuknya antara lain memasukkan simbol-simbol tersamar yang berbentuk falik, unsur-unsur seks, dan kata-kata memotivasi perilaku tertentu. Tujuannya adalah pengkondisian alam bawah sadar sehingga mempengaruhi alam sadar.
SM dipopulerkan sejak tahun 1957 hingga 1980an. Walaupun cukup banyak marketer yang percaya akan kejituannya dalam “mencuci otak” para konsumen, ternyata beberapa studi psikologi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa SM subyektif sifatnya dan tidak sejitu yang digembar-gemborkan. Kemampuan SM dalam membentuk perilaku konsumtif ternyata hanya mitos. Terlepas dari 62 persen konsumen yang disurvei yang percaya betul bahwa SM mempengaruhi perilaku mereka.
Merek-merek yang berhasil memasuki alam sadar dan bawah sadar mempunyai unsur-unsur subliminal yang besar, namun bukan berarti mereka menggunakan cara-cara curang untuk memenangkan perilaku membeli dari konsumen. Intinya adalah membangkitkan impulsi-impulsi emosional yang bisa dipupuk dengan berbagai bentuk pengkondisian dan pembentukan kebiasaan (habit). Jadi, jauhkanlah berbagai mistik dan cara-cara hipnotis untuk pemasaran Anda. Pupuklah kebiasaan konsumen, ini lebih jitu.[]
KONTAN Daily, 6 Desember 2013