Select Page

Gloria Steinem

logo prisma 150

[Baca langsung di PrismaIndonesia.com]

oleh Jennie M. Xue

Gloria Steinem pernah berkata bahwa gerakan-gerakan feminisme berfokus pada revolusi eksternal, sedangkan penggerak perubahan sesungguhnya berasal dari dalam diri alias “internal.” Ini menjawab mengapa gerakan-gerakan tersebut terkadang masih tampak “superfisial” alias hanya “di permukaan” saja. Kini kita telah berada di Gelombang Keempat Feminisme, di mana sinergi antar-gender sudah waktunya berjalan dalam lingkup spiritual-filosofis, bukan hanya fisik dan intelektual.

Sebagai contoh, yang perlu dipertanyakan sekarang bukanlah berapa jumlah anggota legislatif yang perempuan, berapa CEO perempuan di korporasi-korporasi multinasional, berapa menteri perempuan, dan apakah suatu negara sudah pernah punya presiden atau perdana menteri perempuan. Yang sangat krusial dipertanyakan adalah bagaimana peran aktif perempuan dalam menentukan masa depan suatu komunitas (dari yang terkecil sampai tingkat negara bahkan antar-negara) serta bagaimana hak-hak dan privilese perempuan dan anak-anak dipertimbangkan sebaik mungkin serta dilindungi dalam setiap langkah perjalanan dan kebijakan negara.

Statistik dan rasio representasi perempuan dalam institusi hanyalah unsur eksternal alias superfisial. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana jumlah perempuan sebagai representasi tersebut berkarya dan mempunyai pengaruh positif bagi perkembangan kualitas hidup perempuan dewasa dan anak-anak.

Mengapa krusial? Karena di tangan perempuan dan anak-anaklah kualitas masa depan suatu bangsa ditentukan. Dengan mendidik anak perempuan sebaik mungkin, maka suatu komunitas telah mendidik masa depan anak dan cucu mereka dengan baik pula. Dengan memperlakukan perempuan dengan baik berdasarkan berbagai kebijakan, maka semakin baik pula kehidupan mereka yang kelak akan “trickle down” (menetes) kepada anak-anak dan lingkungan mereka.

Tiga bersaudari Soong (the Soong Sisters) yang berperan aktif dalam unifikasi China sebelum terjadinya Revolusi Kebudayaan Mao merupakan salah satu teladan suksesnya “revolusi internal” perempuan. Soong Ai-Ling, Soong Ching-Ling, dan Soong May-Ling menjadi inspirasi penting bagi China Tiongkok dan China Taiwan. Pengaruh mereka sebagai partner perjuangan Bapak Unifikasi China Sun Yat-Sen (yang menikah dengan Soong Ching-Ling) dan Presiden China Taiwan Chiang Kai-Sek (yang menikah dengan Soong May-Ling) lebih dari sekadar penggerak feminis yang kebetulan menikah dengan pria pemimpin.

Yang ingin penulis tekankan di sini adalah kesadaran ekualitas yang ditanamkan sejak dini oleh orangtua, pendidikan, dan kepekaan sosial akan berbagai masalah yang dialami perempuan dan kemanusiaan. The Soong Sisters menyadari betapa perempuan dan anak-anak merupakan titik terlemah sebagai korban dalam berbagai pertikaian politik. Kekuatan mereka berasal dari intelek dan kepekaan sosial universal yang tinggi.

Rasio representasi perempuan dalam suatu institusi tentu merupakan langkah pertama yang harus diterapkan dengan jujur dan adil. “Jujur dan adil” di sini mengacu pada personalitas perempuan sebagai representasi yang seyogyanya pro masalah-masalah universal yang berparadigma dari kacamata perempuan dan anak-anak.

Representasi perempuan akan tidak ada artinya bila para perempuan “terpilih” tersebut hanya berjenis kelaminnya saja yang “perempuan,” namun pasif dan menerima tanpa kritisisme berbagai kebijakan yang berlensa patriarki. Tentu seorang perempuan tidak memerlukan “perlakuan ekstra”, namun dia perlu dihormati dan dipertimbangkan sebagai partner gender yang sama berharganya dengan laki-laki.

Dalam UU No.17/2000 tentang Pajak Penghasilan, misalnya, seorang perempuan yang telah menikah dikenakan pajak penghasilan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang belum menikah, dengan pengecualian apabila suami atau pihak otoritas dapat membuktikan bahwa perempuan tersebut merupakan tulang punggung keluarga.

Coba pikirkan baik-baik, tidak semua perempuan yang telah menikah hanya menjadi “pendukung” suami belaka. Pun, seandainya benar, menetapkan pajak lebih tinggi bagi perempuan dalam perkawinan merupakan tindakan yang melanggar rasa keadilan. Itu merupakan salah satu bentuk seksisme dalam hukum.

Efek dari kesetaraan perpajakan lebih dari sekadar beberapa rupiah ekstra. Efek psikologis bagi perempuan berpenghasilan mandiri memberikan self-empowerment yang positif. Sesungguhnya, setiap laki-laki dengan kepercayaan diri yang baik (high self-esteem) tidak perlu membela diri secara intens dan “menggunakan sistem pro patriarki” untuk mendiskriminasi perempuan berdasarkan peran-peran stereotip.

Gerakan Gelombang Keempat Feminisme membutuhkan dukungan dari setiap perbuatan kecil dalam keseharian kedua gender dan antar-generasi, bukan hanya dalam berbagai kebijakan pemerintah dan regulasi institusional belaka.

Dengan membangun pola pikir (mindset) yang benar mengenai kesetaraan perempuan dan keadilan universal sejak masa anak-anak, kita membangun fondasi bagi tumbuh kembangnya kemanusiaan di masa dewasa. Perjuangan feminisme masih menunggu sekat-sekat perbedaan dapat diisi dengan spiritualitas egaliter sinergistik. Semoga segera terlaksana. []

Prisma, 23 Januari 2015

Pin It on Pinterest

Share This