[Download PDF KONTAN WEEKLY Peran Logika dalam Sukses]
oleh Jennie M. Xue
Adakah korelasi antara logika yang baik dengan sukses? Saya yakin ada. Lantas, apakah logika yang baik diperlukan dalam sukses secara ekonomi dan finansial? Saya juga yakin pasti ada. Walaupun belum ada bukti bahwa semakin tinggi kemampuan intelektual (IQ) seseorang, maka akan semakin besar pula penghasilannya.
Yang jelas, posisi-posisi tertentu yang dibayar tinggi memerlukan intelijensi di atas rata-rata. Dan mereka yang cerdas secara intelektual dan emosional (EQ) mempunyai kans besar untuk sukses.
Studi Logika hanya diajarkan di perguruan tinggi, bukan di sekolah tinggi maupun program-program vokasional siap kerja. Ada kecenderungan memandang Studi Logika sebagai sesuatu yang “menara gading” bagaikan Studi Filsafat. Padahal, keduanya merupakan panduan berpikir yang sangat bermanfaat untuk pekerjaan dan kehidupan.
Dr. Scott M. Sullivan mengajar kelas online Logic 101 yang disajikan secara kontemporer sebagai materi yang dibutuhkan siapapun yang ingin menjalankan hidup dengan optimal. Peran logika yang baik dalam sukses sangat nyata.
Mengapa? Karena logika yang baik berarti seseorang mampu mengorganisasikan pikiran, mengenal prioritas, mengevaluasi secara kritis, bertanya dan menjawab secara cerdas, mampu menimbang barang bukti, mengenal yang benar dari yang salah, mampu membela diri dan orang lain dengan argumen yang tepat, dan mampu mengevaluasi argumen untuk mencari konsistensi.
Anda pasti pernah mengalami pembicaraan yang OOT (out of topic). Sebagai contoh, ketika Anda membicarakan mengenai subyek, namun yang dikomentari oleh pihak lain adalah mengenai predikat atau obyek. Jelas ini merupakan salah satu bentuk logical fallacy. Dalam suatu organisasi, miskomunikasi yang disebabkan oleh minimnya kemampuan mengolah informasi dalam kerangka logika yang baik akan merugikan jalannya roda manajemen.
Mensosialisasikan Studi Logika dalam kerangka bisnis dan kultur korporasi merupakan tantangan para trainer dan divisi pelatihan SDM. Mungkinkah SDM Indonesia lemah karena kurang tersosialisasikannya Studi Logika dalam pendidikan di sekolah-sekolah? Bisa saja, walaupun belum ada studi mendalam soal ini.
Idealnya, setiap manajer mengenal logika dasar, sehingga tidak semena-mena memberi perintah yang mustahil untuk bisa dipenuhi. Dan setiap anggota tim juga mempunyai logika yang baik agar dapat menjalankan tugas dengan cerdas, mampu membuat prioritas, menimbang, dan mengenal yang benar dan salah, serta yang tepat dengan yang tidak tepat. Tentu saja konsistensi dalam mengemukakan pendapat juga membantu dalam menjalankan pekerjaan dan manajemen.
Kultur feudal Indonesia seringkali melumpuhkan kemampuan berpikir seseorang. Anda pasti pernah menyaksikan seseorang yang dengan pongah minta dilayani padahal situasi tidak memungkinkan karena satu dan lain hal. Pernah pula hal-hal seperti ini diberitakan di media mengenai beberapa oknum pegawai tinggi negara.
Sebagai contoh, Anda pasti pernah membaca mengenai beberapa pejabat yang menolak untuk mematikan telpon genggamnya menjelang takeoff pesawat terbang. Kepongahan menurunkan logika atau logika yang buruk menimbulkan kepongahan? Bisa saja vice versa.
“Kebodohan” masal semestinya bisa diatasi dengan pelatihan logika praktis. Pikirkan betapa kebebasan berpikir secara kreatif merupakan motor dari inovasi yang sangat menentukan keberhasilan tim dan organisasi. Pikirkan betapa miskomunikasi dan debat kusir bisa diminimalisasikan. Berapa jam per hari bahkan per bulan dan per tahun yang dapat dihemat sehingga produktivitas meningkat.
Dengan suasana demokratis, egaliter, dan penghargaan sepantasnya, tim akan mampu bekerja dengan optimal. Apalagi didukung dengan daya nalar kritis yang memberikan masukan-masukan segar. Bayangkan bagaimana inovatifnya bisnis Anda ketika para manajer dan anggota tim sama-sama cerdas dengan pemikiran progresif.
Peran logika yang baik dan IQ yang di atas rata-rata merupakan kapital personal yang sangat berharga ketika seseorang mengalami kemunduran (setback) dalam beberapa hal di dalam hidupnya. Untungnya, neurosains membuktikan bahwa otak manusia bersifat plastis dan dapat dipengaruhi dengan berbagai pola pikir positif dan pemilihan kata-kata yang membentuk perubahan perilaku yang bermakna. Salam sukses.[]
KONTAN Weekly, 28 Desember 2015