[Download PDF KONTAN Daily Pepsico dan Pasar Multikultural]
oleh Jennie M. Xue
Didirikan tahun 1919 di New Bern, North Carolina oleh Donald Kendall, Pepsi-Cola telah mengukir sejarah dunia food and beverage sebagai salah satu merek paling dikenal. Setelah Pepsi merger dengan Frito-Lay, ia bernama Pepsico. Omzetnya USD 65 miliar di tahun 2013 dan terdiri dari 3000 lebih produk. Beberapa merek terlaris Pepsico antara lain: Frito Lay, Cracker Jack, Quaker Oats, Tropicana, Gatorade, Lay’s Chips, Doritos, and Mountain Dew.
Di tahun 1940an, Pepsi-Cola masih underdog dan CEO Walter Mack (1938-1951) di kala itu berstrategi untuk penetrasi ke pasar para kulit hitam di AS. Pemasaran dan iklan-iklan waktu itu terlalu “merendahkan” para kulit hitam. Dan ini tidak sesuai dengan visi politis Mack yang “we can make money and do the right thing.” Kita tetap bisa mencari untung dengan melakukan hal-hal yang benar.
Dengan filosofi tersebut, Pepsi membentuk tim pemasaran untuk pasar kulit hitam dengan para anggota tim yang sangat multikultural serta memandang pasar kulit putih dan kulit hitam setara. Segregasi di masa itu memisahkan produk-produk yang dikonsumsi kulit putih dan kulit berwarna. Namun dengan kebesaran hati dan akumen bisnis Walter Mack, kesenjangan ini bisa diatasi. Bahkan Pepsi-Cola menjadi produk unggulan di pasar kulit hitam.
Gerakan multikultural ini pula yang membuat Pepsico sangat ramah dengan para staf yang berasal dari kultur dan budaya di luar Kaukasian. CEO Indra Nooyi, misalnya, berasal dari India.
Allen McKeller adalah salah satu salesman pertama tim kulit hitam Pepsi-Cola. Ia memasarkan Pepsi ke sekolah-sekolah, gereja-gereja, dan toko-toko yang melayani para kulit hitam di seluruh AS. Untuk itu ia mengendarai kereta api Pullman yang saat itu didominasi oleh penumpang berkulit putih. Hasilnya: penetrasi 99 persen terhadap pasar kulit hitam berhasil.
Tantangan pasar multikultural telah menjadi tradisi dan strategi inheren Pepsico. Ini memungkinkan mereka penetrasi dan sukses di 200 negara yang didukung oleh 274.000 pegawai.
Lantas, apa lagi tantangan abad ke-21 bagi Pepsico? Obesitas.
Pepsico dan produk-produk konsumen lainnya banyak dikritik sebagai produsen makanan dan minuman berbasis gula, garam, dan kalori tinggi penyebab penyakit diabetes, stroke, darah tinggi, dan gangguan jantung. Fokus inovasi kini adalah bagaimana mengembangkan makanan dan minuman masal yang sehat, disukai, dan terjangkau.
Untuk itu, Pepsico mempekerjakan para pakar di bidangnya: antropologis makanan, food scientists, chemists, biologogists, ahli endokrin, dan lainnya. Setiap hari, para saintis dan pakar ini tidak henti-hentinya melakukan riset untuk mencari pengganti gula dan garam, serta memasukkan berbagai bahan baku yang lebih sehat seperti serat tumbuh-tumbuhan dan antioksidan.
Di Tiongkok, misalnya, mereka bermitra dengan Kunming Institute of Botany dan di AS mereka membentuk divisi Global Nutrition Group yang mempekerjakan mantan endokrinologis dari Mayo Clinic bernama Mahmood Khan.
Visi mereka adalah menjadikan Pepsico perusahaan USD 30 miliar di tahun 2020. Dan salah satu inovasi terbaru dari divisi yang dikelola Khan adalah liquid oat atau gandum cair bagi mereka yang perlu cepat saji. Contoh lainnya, dengan penduduk India yang mendekati 1,2 miliar jiwa dan selalu mengalami krisis air tanah, inovasi untuk produk-produk lokal dan pelestarian air tanah dan lingkungan semakin ditingkatkan.
Tantangan klasik Pepsi berikutnya adalah perang kola dengan Coca-Cola, di mana pemenangnya adalah Coca-Cola dengan rasio 2:1. Untuk itu, Pepsico sangat menghargai tim pemasaran mereka yang mendatangi setiap toko besar dan kecil untuk mensubstitusi soda fountain dari Coke ke Pepsi. Di tahun 2011, ranking konsumsi Pepsi turun ke peringkat ke-3 setelah Coca-Cola dan Diet Coke.
Akhir kata, Indra Nooyi mengingatkan bahwa masa sekarang dan masa kini sangat erat berkaitan. Dengan mengelola masa kini dengan baik, maka masa depan bisa lebih baik bagi semua.[]
KONTAN Daily, 13 Februari 2015