Download KONTAN Penyebab Bubble Properti in PDF
oleh Jennie S. Bev
Jika melihat harga properti yang kian melambung di kota-kota besar di Indonesia, terselip sebuah pertanyaan. Apakah kita sedang memompa property bubble? Aset properti di kawasan premium misalnya, mudah menikmati kenaikan harga (capital gain) 50% sampai 100% dalam setahun. Mari kita bandingkan dengan ketika pecahnya bubble properti di Amerika Serikat (AS).
Di AS, property bubble mulai terjadi tahun 2007 dan meledak pada 2008 yang ditandai dengan runtuhnya Lehman Brothers dan AIG. Setidaknya tujuh juta sampai sembilan juta aset properti telah disita bank (foreclosed) sejak tahun 2007 sampai detik ini dengan asumsi 1,5 juta sampai 2,5 juta per tahun. Tidak terhitung jutaan lagi aset properti yang dijual secara short sale alias jual rugi, dan bank terpaksa menyerap kerugian itu. Sebab, nilai jualnya rendah dibandingkan sisa piutang.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan property bubble di AS. Pemicu pertumbuhan eksponensial ini adalah intervensi pemerintah dengan kebijakan ekonomi dan moneter yang mempengaruhi suku bunga, pengucuran kredit bank, pertumbuhan ekonomi, dan daya beli masyarakat. Faktor pendukungnya adalah aplikasi dan imbas dari kebijakan tersebut hingga ke akar rumput.
Bermula dari kebijakan yang membuka pemisah antara bank ritel dengan bank investasi, yaitu Gramm–Leach–Bliley Act of 1999 yang mencabut Glass-Steagall Act of 1933. Bank bisa menciptakan produk investasi derivatif kompleks yang memungkinkan surat piutang KPR diungkit nilainya (leverage) hingga 60 sampai 70 kali atau dikenal dengan CDO (collateralized debt obligation).
CDO merupakan paket investasi yang berisi KPR subprima dengan peringkat A+ tapi berisiko mahabesar. Bagaimana tidak,KPR eksotik (exotic mortgage) ini bisa diperoleh hanya dengan menandatangani pernyataan pendapatan bulanan yang tidak diverifikasi dan rasio utangnya tidak dikendalikan. Loop hole ini berwarna abu-abu karena berada di jalur antara etis dengan tidak etis.
KPR subprima yang dibumbui iming-iming introductory interest rate selama enam bulan sampai satu tahun ini menyajikan ilusi CDO yang kredibel. Daya tahan CDO bergincu ini jelas hanya sekejap karena piramida itu segera runtuh dan bubble pecah. Serpihan bubble ini masih terasa sampai kini.
Banyak harga properti mencapai titik nol di kota-kota baru yang sudah tidak berpenghuni dan infrastrukturnya dihancurkan. Termasuk, pos polisi dan sekolah publik. Harga properti yang masih bagus terbatas di kota-kota besar yang sangat mapan geopolitik dan geo-ekonominya. Seperti pusat kota San Francisco dan Manhattan.
Kebijakan moneter yang terlalu liberal di AS memberi loop hole luar biasa bagi para kapitalis raksasa untuk bergerak leluasa. Termasuk memberikan bunga rendah sehingga pinjaman sangat mudah diperoleh untuk KPR subprima dengan masa pinjaman 30 sampai 40 tahun.
Keadaan serupa tidak dijumpai di Indonesia. Program KPR yang ditawarkan dapat digolongkan konvensional untuk jangka waktu yang relatif pendek, dengan suku bunga flat, efektif, dan anuitas tahunan serta bulanan.
Posisi Indonesia
Yang menarik adalah konsumen properti Indonesia tidak terlalu antusias dengan KPR. Cukup banyak transaksi properti yang menggunakan tunai sebagai purchase money. Ini membuat bisnis properti di Indonesia cukup solid.
Namun perlu diingat bahwa properti sering diagunkan kembali (hipotek) untuk modal usaha maupun diinvestasikan kembali di properti. Penggunaan modal tersebut tentu sulit didata karena leverage bisa dilakukan dengan cukup bebas.
Apakah properti di Indonesia sedang mengalami proses penggelembungan (bubbling)? Kondisinya sangat bergantung pada penggunaan modal itu. Sepanjang pembelian dilakukan dengan tunai dan modal tetap menyatu dengan properti, maka harga propertirelatif stabil. Kemungkinan bubble lebih tinggi jika aset properti itu digunakan untuk hal berisiko tinggi.
Terjadinya bubble atau tidak, bisa dianalisis dari korelasi penggunaan aset itu dengan keadaan ekonomi makro. Faktor kebijakan ekonomi dan moneter yang mendukung pemberian KPR dan kredit usaha juga mempengaruhi permintaan pasar terhadap properti.
Penggorengan harga oleh pengembang terhadap properti baru menciptakan bubble jenis lain, yang lebih terpengaruh oleh koreksi harga berdasarkan pasokan dan permintaan. Kondisi ini dipengaruhi oleh iklim ekonomi. Krisis moneter Asia tahun 1997, misalnya, menurunkan harga properti karena permintaan merosot tajam.
Masih terlalu dini memprediksi penurunan ekonomi India dan China juga akan mempengaruhi Indonesia. Namun kemungkinanselalu ada. Koreksi harga setiap saat. Ketika harga sudah sangat tinggi, biasanya titik jenuh mulai terlihat. Pertanyaannya:di mana kita sekarang berada?[]
Kontan, 23-29 Januari 2012