[Download PDF KONTAN DAILY Pentingnya Studi Humanoira di Era Teknologi]
oleh Jennie M. Xue
Di era digital ini, cukup banyak orang tua dari anak-anak yang telah beranjak remaja yang berharap mereka diterima di jurusan universitas yang berbau sains dan teknologi. Dengan kata lain, banyak yang lebih bangga masuk Jurusan Teknik daripada Jurusan Sastra dan jurusan-jurusan humanoira lainnya. Namun sesungguhnya, Studi Humaniora sama pentingnya dengan STEM (science, technologi, engineering and math).
Dalam artikel ini, akan kita bahas mengapa Studi Humaniora sering disepelekan, mengapa ia penting dalam era digital, dan apa yang dapat Anda lakukan dalam mengantisipasi meningkatnya kebutuhan akan pekerja lulusan Humanioa.
Humaniora sering tidak dipandang sebelah mata karena kelihatannya mempelajari hal-hal non-sains lebih mudah daripada mempelajari Matematika, Fisika, Kimia, dan programming. Dengan kata lain studi dengan “hafalan” hanya cocok dipelajari oleh mereka yang ber-IQ tidak seberapa tinggi.
Padahal, sesungguhnya, mereka yang menguasai Humaniora terlatih untuk memandang dunia dengan sangat kritis. Setiap hal kecil mempunyai makna tersendiri dan setiap perspektif mempunyai argumen-argumen tersendiri pula.
Studi Humaniora bukanlah semata-mata tentang “hafalan.” Ada kedalaman berpikir secara kualitatif yang tidak didapat dalam STEM.
Ketika teknologi semakin intuitif, UX (user experience) dan UI (user interface) semakin diperhatikan. Walaupun UX dan UI adalah bagian dari desain, tidak semua desainer yang terlatih dalam bidang teknologi menyadari pentingnya perspektif lain selain dari sisi sains.
Studi Humaniora memberi konteks akan sesuatu, sehingga setiap teknologi mempunyai makna dan fungsi. Sains mengajarkan bagaimana membangun sesuatu, sedangkan Humaniora menjawab apa yang perlu dibangun dan mengapa.
Tanpa konteks yang dijawab Humaniora, teknologi tidak punya banyak makna, selain mempercepat dan mempermudah proses dan aktivitas. Namun bukan berarti mereka yang lulusan Studi Humaniora lebih superior daripada STEM atau sebaliknya.
Dua-duanya saling melengkapi dan membutuhkan. Tanpa seni estetika yang membantu desain dan penggunaan teknologi, dunia tidak akan seperti sekarang.
Lantas, apabila Anda memimpin bisnis berfokus teknologi, apakah mempekerjakan para lulusan Humaniora itu penting? Jawabannya sederhana: Ya. Mengapa? Karena Humaiora mengajarkan konteks dan memasukkan unsur-unsur emosi disamping logika dalam UX dan UI.
Tanpa UX dan UI, hampir mustahil kita dapat menggunakan teknologi dengan nyaman. Bayangkan saja, apakah Anda mau menggunakan komputer dengan tombol-tombol yang perlu dipukul dengan palu? Apakah Anda akan menggunakan smartphone yang tidak mulus permukaannya dan tidak intuitif penggunaannya seperti iPhone dan Android?
Mayoritas pekerjaan di masa depan akan sangat banyak yang mengandalkan Studi Humaiora. Para saintis tentu tetap banyak, namun penggerak dan penjembatan antara korporasi dan konsumen tetaplah para pekerja humaniora. Dan mereka dibutuhkan dalam jumlah jauh lebih besar.
Bisnis hanya dapat berkembang apabila didukung dengan berbagai individu yang berasal dari bermacam-macam latar belakang, ras, jender, ketrampilan, karakter, dan perspektif. Dan bisnis teknologi yang mendominasi dunia digital dan Internet pun tidak akan luput dari kebutuhan ini.
Komunikasi dan perspektif para lulusan Studi Humaniora akan terus mendominasi dunia kerja, karena pada hakekatnya setiap stakeholder adalah manusia yang sarat dengan pertimbangan kualitatif dan emosional. Para saintis dan insinyur yang telah sangat terdidik dan terlatih untuk berpikir kuantitatif dan sistematis kurang mewakili pengguna dan stakeholder umum.
Di sinilah pentingnya perspektif-perspektif humanis yang berbeda dari pandangan-pandangan kuantitatif dan saintifik. Bisa saja apa yang “masuk akal” bagi para saintis dan teknorat, ternyata kurang bisa diterima oleh masyarakat umum.
Bahkan ketika robotik menjadi arus utama, dapat dipastikan UI sangatlah intuitif, sehingga masukan-masukan non-teknikal justru semakin dibutuhkan. Teknologi intuitif membutuhkan perspektif humanis, sosiologis, historis, dan pengalaman-pengalaman psikologis dan emosional.
Konklusinya, bagi para lulusan ilmu-ilmu Humaniora, janganlah berkecil hati karena dunia semakin membutuhkan Anda. Bahkan ketika teknologi dan sains menjadi unsur super dominan.
Bagi para pebisnis dan manajer, kenalilah perspektif-perspektif kualitatif yang berbobot, selain ukuran-ukuran kuantitatif. Para stakeholder bisnis teknologi memerlukan partner yang memahami berbagai kebutuhan manusia. Selamat menikmati era digital dan robotik sambil menghayati berbagai intuisi dan kelebihan-kelebihan kualitatif dan emosional humanis.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 27 Juli 2018