[Download PDF KONTAN DAILY Penetrasi Pasar Victorias Secret]
oleh Jennie M. Xue
Kini produk-produk kosmetik, parfum, piyama, dan beberapa jenis pakaian dalam kecuali bra, sudah bisa dibeli di butik-butik Victoria’s Secret (VS) di Asia, termasuk di Singapura dan Indonesia. Namun para penggemar pasti bertanya-tanya: mengapa tidak menjual bra? Padahal bra VS sangat terkenal akan kualitas dan keglamorannya.
Tulisan ini tidak akan menjawab mengapa butik-butik VS di Asia tidak menjual bra, namun menjawab bagaimana VS berhasil penetrasi pasar di seluruh dunia.
Dengan market share 35 persen untuk pasar lingerie, VS jauh melampaui merek-merek lain. Di tahun 1995 saja, VS bernilai USD 1,9 miliar dengan 670 toko di seluruh AS. Hari ini, VS bernilai USD 5 miliar.
Di balik nama besar dan kecantikan para malaikat VS (Victoria’s Secret Angels), ada kisah cinta dan kisah tragis seorang Roy Raymond yang lulusan MBA Stanford. Suatu hari di pertengahan tahun 1970an, ia ingin membelikan istrinya lingerie cantik, namun sebagai laki-laki, ia tidak nyaman untuk ke toko pakaian dalam perempuan sendirian.
Timbullah ide untuk membuka butik lingerie khusus yang diberi nama Victoria’s Secret dengan bisnis via katalog dan tiga butik kecil bermodalkan USD 80.000. Salah satunya di Palo Alto.
Dalam satu tahun, omzetnya mencapai USD 500.000. Setelah lima tahun, bisnisnya diakuisisi Leslie Wexner dan The Limited sebesar USD 4 juta (namun sumber lain menyebutkan USD 1 juta). Kondisi manajemen VS saat itu mendekati bangkrut, sedangkan kondisi The Limited sedang naik daun dengan sportswear, women’s wear, dan casualwear.
Wexner ingin ekspansi ke lingerie perempuan yang masih belum banyak dibidik pada masa itu. Ternyata, dalam dua tahun, nilai VS di bawah manajemen baru mencapai USD 500 juta.
Tidak lama kemudian, Raymond mengakhiri hidupnya di Jembatan Golden Gate. Kisah tragis bagi pendiri VS yang tidak banyak orang tahu.
Terlepas dari kisah ini, VS adalah salah satu merek legendaris dunia. Penetrasi pasarnya luar biasa berhasil, bahkan di Asia, termasuk Indonesia. Uniknya, butik VS di Asia tidak menjual bra, namun hanya kosmetika, parfum, underwear bagian bawah, dan sebagian pakaian tidur dan t-shirt santai.
Merek Victoria’s Secret identik dengan produk yang nyaman, pas, elegan, cantik, dan manis. VS mempunyai gabungan kenyamanan dan pola yang pas ala Maidenform dan kecantikan elegan ala La Perla dengan harga ekonomis.
Bagaimana VS yang gagal di tangan Raymond menjadi bebek bertelur emas di tangan Wexner?
Pertama, Wexner mengidentifikasi kelirunya strategi penjualan Raymond dengan menitikberatkan kepada selera laki-laki. Katalog VS versi Raymond sangat menarik perhatian pria dengan gaya model yang ultra seksi dan interior ala rumah bordil.
Wexner memodifikasi desain dan pemasaran produk-produk VS dengan menitikberatkan selera perempuan pemakai. Dengan membuat konsumen perempuan nyaman, maka semakin banyak yang mencatatkan diri sebagai anggota VS dan mengulangi pembelanjaan (repeat customer).
Kedua, Wexner mempelajari bagaimana para perempuan Eropa terbiasa mengenakan lingerie cantik mereka setiap hari. Kebiasaan ini akan sangat menguntungkan VS apabila perempuan AS juga mengenakan lingerie cantik dan ekonomis terjangkau. Jadilah VS direposisi dan direbrand sebagai “La Perla untuk khalayak ramai.”
Digabungkan dengan desain, interior toko, dan gaya hidup yang dipopulerkan oleh media massa dan fashion show tahunan, VS pun berhasil menjadi lingerie sehari-hari idaman perempuan Amerika dan (kini) dunia. Para model dan photo styling yang dipilih memberi kesan ringan dan alami seperti halaman-halaman majalah yang hidup dan bergerak.
Ketiga, katalog VS didesain sedemikian rupa sehingga para perempuan tertarik untuk berbelanja berulang-ulang dan para pria tertarik untuk membolak-balikkan halaman-halamannya. Para model VS sangat hati-hati dipilih, sehingga kesan “girl next door” yang mencerminkan karakter pembeli dapat dirasakan.
Model Alessandra Ambrosio, misalnya sangat membantu merek VS yang mencerminkan keibuan dan perempuan berkarir. Sedangkan model Kate Upton tidak dipilih karena “agak terlalu seksi” sehingga mengintimidasi konsumen. Pemilihan para model yang “mencerminkan karakter konsumen” ternyata merupakan strategi jitu.
Keempat, butik-butik VS di Amerika Serikat sekalipun mempunyai tempat terbatas untuk memperagakan koleksi pakaian lengkap. Situs online VS jauh lebih lengkap dengan koleksi pakaian casual bahkan gaun malam, tidak hanya kosmetika, parfum dan lingerie.
Strategi penjualan online yang merupakan perpanjangan tangan dari penjualan di butik adalah strategi cerdas yang terbukti bagus.
Akhir kata, strategi penetrasi pasar VS bisa dijadikan benchmark bagi mereka yang ingin menggabungkan toko online dan offline. Gabungkan gaya hidup dengan karakter brand ambassador dengan cermat. Lantas, go international-lah.[]
KONTAN DAILY, Jumat 22 Januari 2016