Select Page

Screen Shot 2015-12-14 at 9.03.52 AM

[Download PDF FMPM DISKURSUS Pemikiran Desain Utama atau Cadangan]

oleh Jennie M. Xue

Bagaimana pemikiran desain (design thinking) membantu sebuah desain bisnis? Bagaimana merancang sebuah desain bisnis yang sesuai dengan perubahan peradaban? Apa saja dasar-dasar dan kerangka pemikiran strategi bisnis yang tepat untuk inovasi desain bisnis terbaik? Seberapa jauh dunia usaha terkini di dunia dan di Indonesia memanfaatkan konsep pemikiran desain ini sebagai bagian dari kebijakan strategis mereka?

——

Designer alias seseorang yang merancang sesuatu, sering kali diidentikkan dengan desain interior, desain industri/produk, desain layout (2D), dan desain pakaian (fashion designer). Padahal, seorang pebisnis, analis bisnis, dan pemikir strategi bisnis juga perlu berpikir ala desainer. Dan ternyata dengan pemikiran-pemikiran berbasis desain, strategi bisnis semakin adaptif akan perubahan zaman.

Tentu saja design thinking sebagai framework strategis dan inovasi masih menuai pro dan kontra. Para analis kuantitatif dan analis bisnis konvensional, misalnya, jelas masih sangat mengagungkan angka-angka. Big data bagi mereka merupakan jawaban bagi semua pertanyaan, sedangkan design thinking terdengar agak terlalu “nyeni” untuk digunakan dalam bisnis “serius.”

Sudah saatnya kita menggunakan mindset bahwa berpikir ala desain bukan lagi monopoli para desainer. Para pebisnis, strategis, dan manajer sudah saatnya berpikir dalam kerangka desain agar permasalahan mendapatkan solusi baru, bukan hanya sekedar memoles status quo. Terkadang, angka-angka memang merupakan jawaban yang lebih pasti dibandingkan dengan berbagai brainstorm yang menghasilkan “solusi segar,” namun design thinking jelas memiliki kelebihan yang sulit ditandingi oleh framework maupun metode lainnya.

Sekarang, mari kita cari jawabannya: seberapa kehebatan design thinking itu? Dengan kata lain, layakkah design thinking dipertimbangkan sebagai salah satu kerangka berpikir strategis nan inovatif? Ada berbagai kasus best practices. Bahkan sekolah-sekolah bisnis papan atas termasuk di Stanford University dan beberapa lainnya telah mendalami topik ini dengan serius.

Mari kita bahas.

PRO DAN KONTRA PEMECAHAN MASALAH ALA DESIGN THINKING

Roger Martin dalam bukunya The Design of Business. Why Design Thinking is The Next Competitive Advantage (Harvard Business Press, 2009) mempopulerkan konsep berpikir ala desainer yang merupakan komplemen dari analytical thinking (pemikiran analisis konvensional) yang lebih mengutamakan perbaikan bertahap dari yang ada (small improvements to the status quo).

Martin berpendapat bahwa untuk memenangkan kompetisi inovasi, design thinking merupakan jawabannya. Di sekolah-sekolah bisnis terbaik di dunia seperti Business School di Stanford University, design thinking juga dikenal dengan istilah “connected thinking.” Dengan connected thinking ini, strategi pun bergulir menjadi strategi yang sinergistis daripada sekedar memecahkan masalah sesaat.

Bandingkan dengan analisis konvensional yang memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian kecil. Dalam “connected thinking,” suatu masalah dipandang dari berbagai sudut pandang dengan menghubungkannya dengan berbagai domain yang selama ini kurang diperhatikan. Sinergi atau koneksi merupakan antitesis dari spesialisisasi konvensional.

Mechanical Engineering Professor di Stanford University dan pendiri IDEO bernama David Kelley percaya bahwa inovator dan pemimpin generasi berikutnya semestinya adalah pemikir-pemikir berbasis desain yang luar biasa. Di universitas-universitas Indonesia, analisis spesialis demikian masih sangat dominan. Design thinking telah diperkenalkan melalui seminar-seminar, namun pendalaman riset teoritis dan praktis masih jarang. Tantangan bagi institusi-institusi pendidikan tinggi untuk mendalami bidang yang masih baru ini.

Design thinking berpedoman pada fondasi di mana ada unsur misteri, holistik, dan heuristik. Tahap berikutnya adalah penggunaan algoritma dengan formula yang menghasilkan jawaban memadai. Dalam bahasa sederhana, ini berarti “mengisi” kolom putih di antara pengalaman (experience) dan ketidaknyamanan pengalaman alias “frustasi” (problem). Sebagaimana seorang pelukis dan penulis, “bahan baku” produk intelektual berasal dari persepsi dan berbagai pengalaman hidup.

Design thinking mengakui pentingnya berpikir secara alami sebagaimana seorang anak-anak yang dengan antusias bertanya dan menjawab sendiri dengan menggunakan berbagai instrumen sederhana, seperti lukisan sketch dan warna-warni. Seorang anak menjawab “apakah itu cinta” dengan berbagai sketsa, misalnya gambar keluarga yang setiap anggotanya tersenyum lebar. Beda dengan jawaban seorang akademisi filsafat, misalnya, yang membedah “cinta” dalam beberapa kategori dan tingkatan. Design thinking mengembalikan antusiasme holistik.

Salah satu hal menarik dari pendekatan ala design thinking ini adalah tumbuhnya berbagai sub-sub pendekatan yang unik dan dapat digunakan bersamaan. “Design thinking” sendiri mempunyai substansi mendasar yang penuh dengan improvisasi, bagaikan permaian musik jazz yang mengalir. Stakato dan kresendo bisa saja mengalir silih-berganti dalam satu lagu yang sama. Tidak perlu dibuatkan lagu yang berbeda hanya untuk menampung satu derap irama.

Sebagai orang dewasa, kita sering melupakan intisari suatu persoalan dan jawabannya yang sederhana namun sangat esensial. Di Stanford, misalnya, salah satu kasus yang perlu dipecahkan adalah bagaimana para bayi prematur bisa dibantu untuk hidup tanpa perlu mengeluarkan USD 30.000 per inkubator yang dirancang dan dibangun dengan teknologi kedokteran paling mutakhir. Jawabannya ternyata sederhana dan cost-effective serta low-tech yang bisa diterapkan dalam kasus-kasus lainnya.

Begini tahap pemecahan masalah kasus ini.

Pertama, temukan intisari sesuatu, terutama pokok permasalahan. Dalam kasus inkubator, kebutuhan utama bayi prematur adalah kehangatan di mana temperatur dapat dikontrol. Berpikir dengan design thinking framework, tempatkan pokok permasalahan ini pada intinya.

Apa saja yang dapat menambah temperatur? Bagaimana ini dapat dilakukan? Proses apa saja yang perlu dijalankan sehingga temperatur dapat meningkat? Materi apa saja yang bisa dipakai selain menggunakan teknologi kedokteran paling mutakhir? Bandingkan setiap kategori materi, dimulai dari materi organik hingga yang anorganik, dari yang metal hingga ke serat, dan sebagainya. Jangan terpaku akan konvensi-konvensi klasik.

Kedua, gunakan pendekatan manusiawi-organik (human-centered) daripada pendekatan teknologi-mekanis (technology-centered). Pendekatan historis dan komparasi dengan produk-produk terkini yang low-tech dapat dipakai dalam mencari materi dan proses yang sesuai dengan kebutuhan. Berbagai pendekatan yang dapat diterapkan, tentu dipersilahkan untuk digunakan, tiada yang tabu. Bahkan hal-hal sepele yang seringkali luput dari pandangan mata, bisa saja merupakan jawaban dari persoalan yang dihadapi. Consider everything. Segala sesuatu yang melintas patut dipertimbangkan.

Ketiga, gunakan tahapan yang jelas yaitu understand-observe-define point of view-ideate-prototype-test sebagaimana disarankan oleh Professor Ulrich Weinberg di The School of Design Thinking at the Hasso-Plattner-Institute. Enam tahapan ini sama sekali tidak dibatasi oleh kebiasaan-kebiasaan bisnis dan pengetahuan, sehingga antara persepsi akan kejadian sehari-hari dan brainstorming untuk kepentingan khusus bisa berjalan secara alami.

“Understand” di sini maksudnya pahami pokok permasalahan, tidak perlu dari awal mempermasalahkan teknologi dan biaya yang diperlukan. “Observe” di sini maksudnya memperhatikan berbagai hal sebagaimana persepsi indera bekerja, tidak dibatasi oleh lingkup dan tradisi pengetahuan maupun bisnis.

“Ideate” artinya mengemukakan ide-ide dengan mencatatnya tanpa perlu merasa terbatasi. “Prototype” dan “test” merupakan dua tahap yang sering kali berjalan bersama, di mana prototip alias produk contoh merupakan tes alias produk uji sebelum yang sebenarnya diproduksi masal.

Keempat, menanamkan pola pikir eksplorasi (explore) daripada eksploitasi (exploit) dan connected (terhubung) daripada spread out (tersebar). Pola pikir eksplorasi dan terhubung ini dipopulerkan oleh Profesor Deana McDonagh di The School of Art + Design at the University of Illinois (Urbana-Champaign) dan The Beckman Institute of Advanced Science and Technology.

Dibandingkan dengan pola pikir analitis yang lebih mengutamakan memilah-milah persoalan, pola pikir eksplorasi dan terhubung masih belum populer. Namun sebenarnya di antara para kreator seni yang terbiasa dengan design thinking, misalnya para pemegang gelar MFA (Master of Fine Arts), pola pikir ini merupakan motor penggerak inovasi dan kreativitas. Bahkan Daniel Pink pernah berujar bahwa MFA adalah MBA terkini.

Selain empat poin di atas, Jeanne Liedtka dan Tim Ogilvie para CEO dari perusahaan konsultasi manajemen Peer Insight menggunakan empat pertanyaan yang dikenal dengan Designing for Growth (D4G) Approach. What is? What if? What wows? What works? Pendekatan ini bisa berdiri sendiri maupun digunakan sebagai komplemen dari empat poin sebelumnya.

What is? Pertanyaan pertama ini perlu dijawab dengan sekomprehensif mungkin karena inovasi memerlukan pengenalan yang baik dan lengkap akan kebutuhan dan problem. Di sini, reframing terkadang diperlukan agar dugaan maupun hipotesis mendapatkan validitas. Jadi, berbagai kontekstualitas dan kriteria tertentu perlu diterapkan dengan kejelian dan kesadaran.

What if? Terkadang berpikir dalam konteks berbeda yang bisa saja agak negatif ternyata berguna. Para penulis perjanjian hukum, misalnya, sangat mengerti akan berbagai “skenario” kejadian. Cobalah berbagai skenario sebagai pembuka “brainstorming” dan hipotesis-hipotesis baru.

What wows? Gunakan inspirasi dari berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kesenian. Misalnya, apa yang paling menonjol dari patung marmer David oleh pemahat Renaissance Michaelangelo? Otot-otot dan anatominya yang luar biasa realistis dan masih sangat relevan pada hari ini. Ke-“wow”-an ini menjadi inspirasi untuk mencari “anatomi” realistis dalam suatu proyek, misalnya. Tanaman putri malu yang ketika disentuh mengkerut bisa menjadi inspirasi bangunan yang menyusut ukurannya ketika tidak digunakan, misalnya. Banyak yang alam ajarkan kepada kita sebagi sumber inspirasi tidak terhingga.

What works? Catat apa-apa saja yang berfungsi dengan baik. Dalam kasus inkubator bayi prematur yang rendah biaya produksi di atas, bagaimana produk substitusinya? Ternyata, dengan membungkus bayi prematur dengan selimut khusus yang terbuat dari bahan yang mirip dengan sleeping bag untuk camping, tujuan penghangatan tubuh dapat dicapai. Dan ini adalah hasil luar biasa, mengingat biaya per unit produksi kurang dari satu persen dari produksi mesin inkubator mutakhir.

Lantas, apakah design thinking merupakan jawaban bagi setiap permasalahan? Mengapa? Jawaban simpelnya: Tidak.

Hal-hal yang memerlukan tahapan-tahapan dan prosedur yang sama sekali tidak boleh dilanggar tentu bukanlah ranah design thinking. Penanganan khusus berdasarkan standarisasi baku perlu dilakukan sebagaimana prosedur tersebut ditetapkan sejak awal. Untuk kasus-kasus di mana status quo merupakan kemutlakan, seperti dalam standar industri dan maintenance, design thinking sebaiknya disimpan di periferi. Dalam standarisasi, gunakan design thinking untuk mencari sistem baru yang menggantikan sistem lama.

Standarisasi ISO, misalnya, membutuhkan dokumentasi yang luar biasa mendetil serta duplikasi yang mendalam dan tanpa cela. Dalam pemecahan persoalan yang timbul dalam prakteknya, design thinking perlu dipertimbangkan secara selektif. Anda jelas tidak mau “terlampau kreatif” sehingga standarisasi tidak tercapai. Anda perlu kaku dan rigid dalam berbagai prosedurnya.

Pertanyaan berikut: Apakah design thinking pasti memberikan solusi baru untuk permasalahan lama? Jawaban simpelnya: Biasanya, namun bisa saja tidak terjadi.

Kapan design thinking tidak memberikan solusi yang dicari? Ketika kemampuan berpikir kurang memadai dan kreativitas minimal tidak dicapai untuk mengolah informasi berbasis desain. Berpikir dengan kerangka apapun memerlukan logika yang baik serta kemampuan mencatatkannya. Berbagai cara untuk “mencatat,” bisa secara harafiah menuliskan ke dalam buku maupun dengan membuat foto dengan aplikasi smartphone. Jadi, sesungguhnya kelalaian “mencatat” tidak menjadi alasan, sepanjang dilakukan dengan fokus dan kesadaran.

Penggunaan logika yang baik mutlak dimiliki baik ketika menggunakan kerangka design thinking maupun tidak. Idealnya, kemampuan apresiasi seni seorang design thinker melebihi kemampuan rata-rata, sehingga insight yang diterima dan ditransfernya mempunyai makna baru. Dengan sendirinya, dengan logika yang baik, persepsi terbentuk dengan lebih baik. Hasilnya, design thinking digunakan dan lebih berguna secara optimal.

MELATIH DAN MENSOSIALISASI DESIGN THINKING DALAM ORGANISASI

Dalam organisasi konvensional, design thinking mungkin masih barang baru, apalagi di Indonesia. Di perusahaan-perusahaan global, design thinking paling banyak diterapkan di divisi research and development bisnis-bisnis yang terus-menerus mencari produk-produk inovatif untuk diproduksi dan diluncurkan ke pasar, seperti IBM, IKEA, Procter & Gamble, SAP, 3M, dan Toyota. Beberapa trainer di tanah air telah mengadopsi design thinking dalam program-program mereka sehingga bisa diperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan progresif sudah menerapkannya dalam berbagai skala.

Elemen creative confidence alias “kepercayaan diri akan kreativitas” sangat diperlukan dalam membangun para inovator dan pemimpin yang sangat melek design thinking. Seorang trainer yang melatih pemikiran-pemikiran berbasis desain ini perlu membangun konfiden ini dengan melatih pendekatan-pendekatan brainstorming, menciptakan lingkungan kreatif yang aman untuk berkreasi, dan melatih otot-otot mental kreatif.

Terlepas dari pro dan kontra penggunaan framework ini dalam manajemen, design thinking telah mendapatkan approval cukup tinggi di kalangan bisnis internasional. Kepala Divisi Desain di SAP bernama Matthew Holloway, misalnya mengajarkan clustering dan visualisasi suatu masalah dan mendekonstruksi semua asumsi asal dengan memilah-milahnya secara eksplisit. Ibaratnya, tim perlu memulai dengan bahan-bahan baku seperti telur, tepung terigu, dan susu untuk membuat kue. Bukan dengan menggunakan racikan yang dibeli di supermarket.

Suasana rileks sangat membantu, sehingga suasana “flow” bisa dicapai. Menurut pakar Psikologi Positif Mihaly Csikszentmihalyi, ketika kita sedang asyik menekuni sesuatu hingga lupa waktu, lupa makan, dan tidak perduli akan suasana di sekeliling, maka kita telah mencapai kondisi “flow” ini. Produksi mental kognitif terbaik dicapai ketika kita dalam keadaan “flow” ini.

Kondisi “flow” merupakan perpaduan antara perhatian dan persistensi dalam suatu aktivitas yang menjadi “titik temu.” Aktivitas-aktivitas kreatif membutuhkan engagement, yaitu suatu kondisi di mana seluruh hati dan pikiran menjadi satu kesatuan yang solid sehingga konsentrasi terjadi secara rileks dan alami.

“Engagement” ini sering kali disalahartikan sebagai “trance” alias “terlampau fokus” sehingga tidak memperdulikan lagi lingkungan sekitar. Anda pasti pernah menonton TV sedemikian fokus, sehingga tidak lagi memperhatikan apa yang terjadi di sekitar. Ini merupakan salah satu bentuk “kondisi flow.”

Kondisi “flow” ini bagaikan melepaskan diri dari berbagai restriksi sehingga imajinasi dan emosi bergerak bebas. Seorang trainer dan manajer yang menerapkan design thinking dalam organisasi sebaiknya mempunyai ketrampilan untuk mengenali kondisi ini, karena ini merupakan titik terbaik performance seseorang. Dan ketika seorang anggota tim sedang dalam kondisi “flow,” pujilah dan berikan penghargaan sebagai positive reinforcement.

Kondisikan agar tim Anda mempertinggi frekuensi “kondisi flow” ini. Untuk tujuan ini, seorang trainer sebaiknya menciptakan suasana rileks dan alami sehingga ide-ide mengalir deras tanpa hambatan. Kritik hanya diberikan di bagian akhir dengan tujuan agar aliran ide semakin baik di masa depan, bukan untuk menunjukkan ide mana yang lebih superlatif daripada yang biasa-biasa saja. Intinya, ketika proses pengeluaran ide, kreativitas perlu diberikan tempat senyaman mungkin sebagaimana murid-murid preschool dapat memberi warna merah dan ungu untuk tanaman-tanaman berklorofil yang semestinya berwarna hijau.

Selanjutnya, kita bahas studi kasus IBM dengan kampanye Smart Planet-nya. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan sudah cukup banyak menggunakan platform ramah ekologi dan kesehatan untuk kepentingan kampanye publisitas dan CSR (corporate social responsibility). Di IBM, ini bukan hanya sekedar slogan belaka. Smart Planet-nya IBM merupakan cara pandang perusahaan raksasa tersebut mengenai dunia.

Smart Planet merupakan inti strategi produksi, inovasi, dan kultur organisasi. Produk-produk IBM menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai perlindungan ekologi dengan menawarkan teknologi-teknologi yang mengawinkan desain tradisional, sistem yang berdasarkan sain, dan pemikiran-pemikiran saintifik. Pernyataan-pernyataan yang impulsif sepanjang dalam lingkup design thinking bisa saja diterima, namun kerangka saintifik lebih diutamakan.

Misalnya, untuk menjawab “what is,” IBM mewawancarai lebih dari 100 pakar sains untuk mempelajari berbagai insight tentang kognisi manusia. Bahkan dalam trade show, IBM menonjolkan faktor Smart Planet ini secara kasat mata dengan berbagai presentasi ilmiah dan menjawab tantangan ekologi. Kerangka sains tetap memberikan struktur bagi strategi produksi dan inovasi IBM walaupun kondisi “flow” berarti memberikan kebebasarn berkreasi tanpa batas. Mindset bahwa “desain bukan semata-mata untuk estetika” dan “desain yang tepat merupakan jawaban bagi suatu persoalan” perlu ditanamkan dalam setiap kesempatan.

Di mana pun berada, kita perlu berada dalam kondisi mental kreatif, namun di lingkungan kerja, ada baiknya suatu ruangan atau bagian dari kantor yang diperuntukkan khusus sebagai “ruang tumbuhnya kreativitas.” Di Silicon Valley, misalnya bangunan kantor disebut “kampus” seperti Google Campus. Bahkan Huawei pun kini menyebut kantornya sebagai “kampus” yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas belajar, bermain, berolah raga, dan melakukan kontemplasi dan refleksi.

Apa perbedaan “kampus” dengan bangunan kantor biasa? Fasilitas berkreasi, berkarya, dan bermain sama-sama penting, sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat diperhatikan. Ada ruang olah raga yang lengkap, ruang presentasi dengan Infocus dan teknologi audio visual, studio melukis yang lengkap dengan alat-alatnya, ruang makan dan minum lengkap dengan informasi gizi dan peralatan masak bagi yang senang masak sendiri, ruang bermain dengan berbagai games mutakhir dan konvensional, ruang konsultasi psikologi dan coaching, dan taman bermain dengan binatang peliharaan yang dibawa dari rumah. Binatang peliharaan kesayangan memberi rasa nyaman dengan membantu kita mengeluarkan hormon oxytocin, sehingga kondisi “flow” semakin mudah dicapai.

Melatih “otot-otot mental kreatif” bisa dilakukan dengan berbagai mental conditioning. Psikolog dan Periset Social Learning Theory terkenal Albert Bandura mengajarkan bagaimana self-efficacy (keyakinan bahwa diri sendiri akan mampu untuk menyelesaikan persoalan) dapat diperoleh dengan memperhatikan bagaimana orang lain belajar (social learning). Mungkin pepatah kuno ini benar, “imitasi merupakan pujian tertinggi,” karena sesungguhnya sejak masa kanak-kanak, kita semua belajar dengan mencontoh hal-hal yang dikerjakan oleh orang tua, anggota keluarga, dan teman-teman di sekolah. Seorang manajer dan trainer perlu membiasakan diri mereka agar “layak ditiru” dalam hal berpikir ala desainer.

Intinya, untuk meningkatkan kreativitas dalam design thinking, biasakan untuk aktif secara fisik dan mental. Ini berarti biasakan diri untuk berolah raga, minimal utamakan jalan kaki termasuk menaiki tangga daripada naik eskalator atau lift. Biasakan hidup teratur namun penuh variasi tanpa tergantung kepada rutinitas, bekerjalah di dalam ruangan yang ada background noise daripada yang hening total, berimajinasilah tentang lokasi keberadaaan Anda, dan lakukan beberapa hal sekaligus sehingga lebih bervariasi. Intinya, stimulasikan fisik dan mental Anda.

KESIMPULAN

Design thinking merupakan metodologi yang ampuh untuk digunakan dalam berinovasi dan memimpin organisasi secara strategis. Design thinking tidak lagi merupakan monopoli para designer yang nyeni dan artistik. Dengan pengenalan proses berpikir ala desain, pemimpin, manajer dan inovator dapat meningkatkan performance, terutama produktivitas dan inovasi sistem, desain, dan praktek.

Lima tahap dalam proses design thinking adalah empathize (berempati), define (mendefinisikan masalah), ideate (eksplorasi ide), prototye (memberi bentuk), dan test (menguji). Sub metodologi design thinking yang populer antara lain adalah D4G (Design for Growth) dengan menjawab empat pertanyaan: What is? What if? What wows? What works? D-SCHOOL (Design School) di Stanford University mempunyai crash course online tentang design thinking yang dapat diunduh dari manapun: http://dschool.stanford.edu.

Perusahaan-perusahaan global telah banyak mengadopsi design thinking, termasuk IBM dengan Smart Planet-nya yang populer. Dalam hal melatih dan mensosialisasi design thinking dalam organisasi, “creativity confidence” perlu ditingkatkan dengan menciptakan lingkungan yang sehat dan aman untuk tumbuh kembang “otot-otot” kreativitas melalui latihan-latihan fisik dan mental yang optimal.

Kondisi flow merupakan kondisi terbaik dalam hal optimalisasi kreativitas. Dalam kondisi ini, kemampuan dan kesempatan bertemu di satu titik di mana kreativitas mengalir sehingga produktivitas optimal dan hasil akhir memuaskan. Kondisi ini dapat dilatih dengan berbagai conditioning, termasuk social learning. Lingkungan yang mendukung, misalnya ruangan kantor yang tidak kaku dan bersekat, penting dalam menciptakan kondisi mental yang jernih dan positif.

Akhir kata, mental kreatif merupakan “bahan baku” design thinking. Untungnya, otak kita plastis dan elastis sehingga kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak tepat dapat diganti dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang mendukung penggunaan metodologi design thinking. Apakah design thinking merupakan pilihan utama atau cadangan, tergantung kepentingan dan kebutuhan.[]

Forum Manajemen Prasetiya Mulya, November-Desember 2015

Pin It on Pinterest

Share This