Select Page

Bokeh Background

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Weekly Neurosains Branding]

oleh Jennie M. Xue

Strategi branding yang mengindahkan neurosains dipercaya lebih jitu dan efektif dibandingkan tanpa melibatkan unsur ini. Seorang konsumen adalah manusia yang hidup dalam alam sadar (conscious) dan bawah sadar (unconscious atau subconscious). Namun tampaknya para pemasar lebih mengutamakan informasi kultural dan ekonomi daripada neurosains.

Demikian menurut Douglas Van Praet, seorang konsultan pemasaran dan penulis buku best-seller Unconscious Branding yang menggabungkan neurosains, psikologi evolusi, dan ekonomi perilaku dalam memecahkan masalah-masalah bisnis.

Pertama, setiap konsumen adalah manusia. Setiap pemasar semestinya menempatkan “kemanusiaan” di atas “kekonsumenan” seseorang. Sebagai manusia, kita dipengaruhi oleh alam sadar dan alam bawah sadar yang terdiri dari tumpukan memori dan persepsi berdasarkan pengalaman hidup yang manis dan pahit.

Para pemasar biasanya mengklasifikasikan seorang konsumen berdasarkan perilaku kelompok demografinya. Misalnya, seorang pengusaha paruh baya berkeluarga dengan penghasilan IDR 1 miliar per bulan pasti berbeda dengan perilaku berbelanja seorang gadis remaja SMU swasta dengan uang saku hanya IDR 2 juta per bulan.

Biasanya para pemasar “luput” untuk memperhatikan setiap konsumen sebagai “manusia” dengan berbagai pilihan-pilihan berdasarkan mood dan perasaan mereka. Buktinya, kedua konsumen tersebut sama-sama memilih iPhone 5 sebagai telpon genggam mereka.

Kedua, pahami bahwa hasil studi neurosains berkesimpulan bahwa manusia didominasi oleh perasaan, walaupun menggunakan berbagai ketrampilan berpikir dan rasionalisasi. Dan ini berbeda bagi setiap individu. Apa yang “indah” bagi seseorang, bisa saja “tidak indah” bagi orang lain.

Ahli neurosains Harvard bernama Profesor Gerald Zaltman berpendapat bahwa 90 hingga 95 person pemikiran konsumen terjadi di dalam alam bawah sadar. Ini berarti bahwa pilihan-pilihan akan produk yang dibeli seringkali disebabkan oleh hentakan ingat manis akan produk serupa di masa lalu. Atau dengan menghindari penggunaan produk tertentu karena pengalaman pahit.

Ketiga, fokus tunggal pemasaran sudah saatnya untuk direvisi dengan dualisme fokus cara kerja otak dan susunan syaraf manusia. Pada saat yang sama seseorang mengemukakan bahwa suatu produk dibeli karena fungsi-fungsinya, ia sebenarnya telah mengambil keputusan berdasarkan sesuatu yang berbeda, yaitu bagaimana persepsi yang berhubungan dengan perasaan positifnya.

Studi neurosains dalam pemasaran menunjukkan bahwa mayoritas memandang diri “melebihi” sebenarnya (overestimate), yaitu lebih baik, lebih tinggi kelas sosialnya, lebih pandai, dan lebih murah hati daripada yang sebenarnya. Dengan kata lain, apa yang kita yakini, termasuk sistem nilai, mendistorsi realitas kita.

Menurut teori psikologi evolusi, distorsi realitas ini merupakan salah satu bentuk cara bertahan alias “survival skill” di mana dalam evolusi kita perlu memproyeksikan kelebihan-kelebihan kita untuk bisa bertahan di dalam masyarakat.

Akhir kata, suatu merek sebenarnya hanya memiliki nilai sebatas perasaan yang ditimbulkan terhadap konsumen. Semakin positif perasaan yang ditimbulkan, semakin tinggi nilai suatu merek. Dan ini adalah kerja alam bawah sadar, bukan alam sadar.

Jadi, apabila Anda hendak menggalakkan aktivasi merek, ciptakan memori positif. Saya ingat pernah didekati oleh seseorang berpakaian dalam karakter yang ternyata memberikan beberapa butir coklat di Union Square San Francisco. Dan ia menawarkan untuk mengambilkan foto saya dan pasangan.

Ini merupakan salah satu proses “menciptakan memori” yang diasosiakan dengan merek. Namun tampaknya ia kurang berhasil karena hingga hari ini, saya lupa apa merek coklat tersebut. Bisa saja saat itu saya terdistraksi dengan berbagai pikiran.

Apa kekurangan kampanye “penciptaan memori” tersebut? Bisa juga karena berada di lingkungan yang terlalu ramai. Jadi, ada banyak unsur eksternal dan internal yang bisa menggagalkan “penanaman memori indah” ke dalam alam bawah sadar konsumen.

Salah satu studi yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa ketika para partisipan dites dengan meminum PepsiCola dan Coca-Cola, mayoritas lebih suka dengan rasa Pepsi. Dan preferensi ini terjadi ketika logo Coca-Cola tidak diperlihatkan kepada responden. Ketika logo Coca-Cola diperlihatkan lebih dulu, responden menyebut bahwa Coca-Cola adalah pilihan mereka. Tampak bahwa ingatan responden lebih dalam tentang Coca-Cola karena keberhasilan merek ini dalam membangun “memori indah” selama berpuluh-puluh tahun.

Silakan membangun alam bawah sadar. Karena ternyata setiap konsumen pada dasarnya manusia yang bergerak secara autopilot.[]

KONTAN Weekly, 21-27 September 2015

Pin It on Pinterest

Share This