[Download PDF KONTAN WEEKLY MLM dan Agama]
oleh Jennie M. Xue
Penjualan global industri MLM per tahun telah mencapai USD 183 miliar. Di Amerika Serikat, negara bagian Utah merupakan episenter bisnis ini. Utah dikenal sebagai negara bagian paling religius di negara Paman Sam ini yang juga sangat dikenal dengan Mormonismenya (Church of the Latter-Day Saints). Mormonisme dikenal sebagai salah satu sekte dalam Kristianitas yang didirikan oleh Joseph Smith.
Di wilayah Utah Valley, para pemeluk Mormon mencakup 82 persen dari populasi. Yang menarik dari mereka adalah adanya beberapa persamaan gaya hidup dan cara pandang dengan mayoritas populasi di Indonesia, yaitu: tidak meminum alkohol, percaya akan khasiat suplemen yang berasal dari alam dan tumbuh-tumbuhan, dan dekat dengan komunitas tempat tinggal mereka.
Bisa dimengerti mengapa Indonesia juga merupakan target para pebisnis MLM dunia. Ternyata memang perilaku masyarakatnya sangat “ideal” untuk menjamurnya bisnis dan produk berbasis MLM. Dengan mayoritas Muslim, mayoritas penduduk Indonesia tidak minum minuman beralkohol. Kultur percaya akan khasiat ramu-ramuan juga sudah mendarah daging. Dan kultur senang kumpul-kumpul dengan teman-teman dan handai-taulan merupakan ciri budaya Indonesia.
Di AS sendiri, bisnis MLM diregulasi dengan ketat: suatu bisnis MLM dinyatakan “ilegal” apabila penghasilan mereka lebih besar didapat dari proses rekrutmen yang mewajibkan pembelian stok inventori oleh para anggota daripada penghasilan atas penjualan produk kepada konsumen. Di Indonesia, sebaiknya juga ada regulasi demikian, sehingga para pebisnis MLM tidak bisa semena-mena mematok “kewajiban membeli stok” per bulan yang tidak masuk akal.
Selain itu, MLM di AS pada umumnya lebih banyak diminati oleh para anggota yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Herbalife, misalnya, banyak diminati oleh para imigran Hispanik asal Meksiko dan Amerika Selatan lainnya dan Vemma banyak diminati oleh para mahasiswa dan para pekerja. Di Indonesia, kalangan menengah yang cukup punya banyak network biasanya diincar sebagai anggota.
Kasus unik hanya terjadi di negara bagian Utah, di mana para anggota MLM biasanya para ibu rumah tangga yang berasal dari kelas menengah dengan gelar sarjana dan bergaya hidup religius. Ya, religius. Religiositas seseorang tampaknya bisa menjadi barometer seberapa mudah dia “digarap” oleh pebisnis MLM.
Beberapa benang merah yang bisa kita tarik dari mengapa mereka yang religius punya tendensi untuk suka dengan bisnis MLM.
Pertama, gaya pemasaran MLM mengutamakan “yakin dan percaya” berdasarkan testimoni para pengguna, bukan atas validitas keilmuan dan cek-ricek. Mereka yang sangat religius biasanya menomorduakan validitas keilmuan dan lebih mengutamakan “testimoni” yang “transendental.”
Kedua, produk-produk MLM biasanya mengklaim menggunakan bahan-bahan baku yang “sehat dan alami” tanpa zat-zat kimia berbahaya dan berkualitas tinggi. Ini cocok sekali dengan para religius anti terhadap alkohol dan mencintai “pemberian alam.”
Ketiga, mayoritas anggota MLM tidak berhasil menggantikan penghasilan utama dengan menjual produk-produk MLM, namun mendapatkan “kepuasan batin” dari pertemuan-pertemuan dengan para anggota lainnya. Kesempatan sharing dan mendengarkan kisah-kisah sukses MLM memberi angin segar di tengah kepenatan sehari-hari, mirip dengan kedamaian yang diperoleh setelah beribadat.
Keempat, gol “mulia” di mana setiap downline yang berhasil berarti upline juga berhasil membangun kerja sama ala “pahala” dan “reward” yang jarang dijumpai di luar dunia MLM. Persahabatan dan persaudaraan dapat dengan mudah tumbuh apabila dibarengi dengan kesatuan obyektif dan harapan.
Kelima, bisnis MLM membangun “impian” secara terstruktur, di mana ketika mencapai poin penjualan tertentu, prestasi ini dideklarasikan kepada semua anggota sehingga membangun “konfiden yang dipelajari” (learned confidence). Mirip dengan pelajaran agama di mana setiap perbuatan baik diberi “pahala” dan setiap kegagalan mendapat “hukuman.” Konfiden pun terbangun dengan struktur reward dan punishment yang berjalan baik.
Keenam, puncak prestasi seorang anggota MLM adalah menjadi yang “terbaik di antara yang paling baik” sebagaimana konsep “surga” dalam agama. Ini klimaks dari setiap bisnis MLM dan agama. Capailah “surga.” Dalam bisnis MLM, puncaknya adalah ketika menjadi upline tertinggi dengan prestasi teratas, yang dilambangkan dengan bonus-bonus spektakuler seperti bepergian ke luar negeri, mobil mewah, dan bahkan rumah mewah.
Struktur dan pengelolaan bisnis MLM sangat mirip dengan struktur dan pengelolaan agama. Paralel ini merupakan kelebihan dan kekurangan sekaligus. Di mana posisi Anda, apakah pebisnis, upline, downline, atau kompetitor, pastikan Anda mendapatkan efek positif dan jauhkan dari efek negatif.[]
KONTAN Weekly, 21-27 Desember 2015