Select Page

Kontan

[Download artikel yang sudah diedit dalam PDF KONTAN 24-30 September 2012.]

(Artikel di bawah adalah versi yang belum diedit.)

oleh Jennie S. Bev

“Economics is a
dismal science,” merupakan pernyataan oleh sejarawan Thomas Carlyle di
pertengahan abad ke-19 sebagai balasan atas ejekan pekerjaan sastrawan sebagai
“gay science.” Di era modern sekarang, para ekonom terkemuka berlomba-lomba
memprediksikan situasi ekonomi dalam beberapa kuartal di muka, bahkan tahun
mendatang dan beberapa tahun di muka dengan menggunakan berbagai instrumen
ekonomi. Tidak jarang prediksi-prediksi yang dihasilkan membawa awan
menggantung di masa depan, sehingga cukup mengganggu harapan-harapan bisnis.

 Dalam sejarah
“economics is a dismal science,” Thomas Malthus, misalnya memprediksikan bahwa
bahan pangan tumbuh berdasarkan deret aritmatika (penambahan), sedangkan
pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan deret ukur (perkalian), sehingga
bencana kelaparan akan melanda dunia. Ini tidak terjadi. Malthus juga
berhipotesis bahwa perbudakan mutlak diperlukan untuk menekan biaya produksi. Ini
juga tidak terjadi, untunglah.

Prediksi Nouriel
Roubini untuk 2013 juga tidak kalah galaunya, malah “the perfect storm” alias
badai ekonomi akan melanda seluruh dunia secara sempurna. World Bank telah
berwanti-wanti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa-bisa tinggal 3,8 persen
saja. Bandingkan dengan Q2 tahun ini yang masih optimis dengan 6,4 persen.

Dalam praktek
ekonomi global, bisnis internasional berbasis ekspor impor merupakan bentuk
implementasi nyata. Ekspor impor sebagai bisnis internasional mencakup
aktivitas-aktivitas lintas batas yang tidak hanya terbatas pada produk-produk
kasat mata, namun juga kapital, jasa, teknologi, dan sumber daya manusia.  Dengan kata lain, apabila kita mendengar frase
“pertumbuhan ekonomi,” salah satu variabel pentingnya adalah pertumbuhan ekspor
impor.  

Foreign Direct
Investments (FDI) juga sama pentingnya karena ini berarti bukan hanya bertambahnya
pabrik-pabrik manufacturing, namun juga pesanan-pesanan dari luar Indonesia
akan produk-produk yang dimanufaktur sebagian maupun secara keseluruhan di
Indonesia. Data dari Ketua BKPM Chatib Basri menunjukkan peningkatan investasi
di Indonesia mencapai 24 persen, yang merupakan 32,9 persen dari GDP terkini.
Investasi-investasi baru mencapai IDR 8,1 milyar yang mencapai total IDR 15,6
milyar dalam Q2 ini.

Investasi asing
and aktivitas-aktivitas ekspor impor menentukan pergerakan globalisasi, yang
sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan ekonomi dan moneter.
Pengencangan ikat pinggang kredit, misalnya, mempunyai kausalitas terhadap
jumlah investasi dan aktivitas-aktivitas ekspor impor.

Dalam International Business yang diajarkan di
sekolah-sekolah bisnis di AS, bagi suatu bisnis internasional,
pertimbangan-pertimbangan penggerak klasik bisa dibedakan dalam dua kategori:
internal dan eksternal. Penggerak klasik internal termasuk: meningkatkan
penjualan, me-leverage kompetensi, menggunakan kapasitas ekstra, menyebarkan
resiko, menghindari saturasi, menginternalisasikan kompetensi, membeli sumber
daya, dan akses terhadap input-input yang lebih efisien. Sedangkan penggerak
klasik eksternal termasuk: teknologi, kerangka kebijakan liberal, kedekatan kepada
free trade, paradigma kompetisi
global, dan deregulasi keuangan.

Lantas manajemen
bisnis internasional selalu erat berkaitan dengan kesadaran akan dimensi makro dan
dimensi mikro. Dimensi makro berkaitan dengan lingkup negara dan antar negara,
lengkap dengan kultur dan regulasi yang mempengaruhi gerak langkah bisnis. Selain
itu, kesadaran akan upstream dan downstream juga sangat mempengaruhi
bagaimana keputusan-keputusan yang berhubungan dengan produksi (upstream) dan
pemasaran (downstream) dapat membawa bisnis ke masa depan yang lebih baik.

Mitos dan realita
dalam bisnis internasional sering kali menjadi kabur. Misalnya, situasi politik
dan sosial Indonesia yang sarat dengan korupsi dan tingginya angka intoleransi
terhadap minoritas tampak di permukaan bukanlah iklim yang kondusif untuk
berinvestasi dan berbisnis antar negara. Juga Indonesia termasuk salah satu
“negara gagal” menurut the Fund for Peace di peringkat 63 tahun, uniknya tidak
menghalangi tingginya investasi asing yang masuk. Faktanya, Indonesia termasuk
salah satu dari lima negara G20 yang tumbuh lebih dari 5 persen dengan GDP
sebesar hampir USD 1 trilyun yang mencengangkan.

Korelasi antara
situasi sosial politik dengan angka pertumbuhan ekonomi tidak bisa disimpulkan
dengan sederhana. “Uang pelicin” yang merupakan salah satu bentuk korupsi malah
kemungkinan merupakan sarana jitu dalam melumasi roda ekonomi. Dan peran media
dalam membentuk persepsi stabilitas dan instabilitas politik dan hukum yang
disukai oleh para investor dan pebisnis ekspor impor bisa dikatakan cukup
besar.

Lantas tantangan
manajer dan pebisnis ekspor impor yang cukup besar adalah mempertahankan
kualitas selain meningkatkan pesanan di tengah-tengah variabel yang berada di
luar kekuasaan mereka. []

KONTAN Weekly, 24-30 September 2012

Pin It on Pinterest

Share This