Select Page

Kontan

Download Mitos Kekalahan Branding USA (KONTAN Kolom Manajemen)

oleh Jennie S. Bev

(Versi yang belum diedit.)

Presiden Barack Obama menandatangani JOBS Act (Jumpstart Our Business Startups Act) pada 5 April 2012. JOBS Act ini memberikan banyak keringanan bagi usaha-usaha kecil dan menengah di AS, serta memberikan insentif pajak dan kredit bagi employer dan pemilik usaha. UU ini juga memberikan kesempatan luar biasa bagi usaha-usaha dalam berbagai skala untuk melakukan pengumpulan modal, termasuk berbagai kemudahan dalam melakukan IPO (Initial Public Offering) di Pasar Modal AS.

Uniknya, perusahaan-perusahaan non-AS juga diberikan kemudahan untuk melakukan IPO, termasuk yang berasal dari Indonesia. Secara eksplisit, JOBS Act menyebutkan dukungan bagi saham-saham dari negara berkembang untuk memasuki US Stock Exchange.

Setelah empat tahun sejak implosi dunia finansial dengan runtuhnya Lehman Brothers, AS telah mencapai titik terendah resesi dan berbagai gejala telah menunjukkan perbaikan ekonomi. Dimulai dengan pasar properti yang membaik di wilayah-wilayah metro tertentu, seperti di San Francisco Bay Area, sampai dengan kenaikan ekspor dan kenaikan jumlah turis yang signifikan.

Lemahnya US dollar dibarengi dengan branding “United States of America” yang masih cukup kuat di mata konsumen, ternyata membawa berkat tersendiri. Dalam buku terbaru Daniel Gross, editor ekonomi Yahoo! Finance yang berjudul Better, Stronger, Faster data-data statistik pembuka mata bahwa resesi kali ini dialami AS hanya sebagai undakan untuk meloncat lebih tinggi sangat jelas terbaca.

Ada beberapa kelemahan hipotesis buku ini, karena hanya memandang dari profit korporat AS belaka yang banyak mendapatkan keuntungan dari luar AS. Dengan kata lain, angka-angka yang menunjukkan kenaikan revenue dan profit bagi korporat AS namun bukan dari para wajib pajak individu AS. Sehingga bisa jadi perusahaan sekaliber Microsoft dan Apple mempunyai andil besar dalam meningkatkan angka-angka secara statistik secara signifikan, seperti angka median dan mean.

Dalam analisis saya sebelumnya, pernah diutarakan bahwa warga AS mau tidak mau harus mengikuti living standard negara-negara dunia kedua dan ketiga mengingat implosi ekonomi yang mengguncang ekonomi makro melemahkan daya beli. Namun, saya lupa bahwa sebenarnya dunia ingin mengikuti jejak living standard di AS yang sudah terkenal sangat tinggi. Ini terlihat jelas dengan warga Cina (dan negara-negara) lain yang masih menggilai produk-produk yang didesain di AS, seperti mobil Ford and Chevrolet, komputer Apple dan varian-variannya, merek-merek mewah yang mencerminkan gaya hidup papan atas seperti Armani, DKNY, Vera Wang, Coach, Kate Spade, Juicy Couture, dan Guess. 

Berlomba-lomba warga dunia meniru para bintang Hollywood dan New York supermodels dan kekuatan soft power-nya sehingga produk-produk hasil desain AS masih sulit ditandingi. Anak-anak dunia masih merujuk ke Disneyland dan Universal Studio sebagai taman bermain impian mereka dan para orang tua masih bermimpi untuk menyekolahkan mereka ke Harvard dan Cornell. Para pemimpin dunia masih menjagokan AS sebagai world leader, terlepas dari bertubi-tubinya kegagalan Barack Obama dan stafnya.

Produk-produk AS kini malah menjadi “raja di luar kandang,” yang marak dengan rendahnya nilai tukar USD. Jadilah growth yang tinggi di tengah-tengah badai unemployment dan foreclosure crisis. Di tahun 2009, terjadi 104 persen kenaikan di S&P, di tahun 2011 ada 62 juta turis asing yang mengunjungi AS, dan di tahun 2011 ekspor AS naik 34 persen sejak 2009 senilai 2.1 trilyun.

So there is a blessing in disguise, a silver lining in the cloud. And no recession lasts forever.

Namun, sektor ekspor tidak cukup untuk meningkatkan lowongan kerja domestik AS yang terbukti dengan naik dan turunnnya angka pengangguran dan angka lowongan kerja baru yang tersedia. Angka terbaru di kwartal pertama 2012 cukup stabil di 8.1 persen. Di sinilah Barack Obame melihat urgennya memberikan insentif bagi para employer dalam bentuk tax break, tax credit, dan kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan bantuan baik dari pemerintah, sumber-sumber kapital seperti angel investor dan venture capital, dan bagi perusahaan-perusahaan dari negara-negara berkembang.

JOBS Act ini juga mempermudah proses mendapatkan kapital ekstra bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Karena memang ekonomi raksasa AS sepanjang sejarahnya ditopang oleh usaha-usaha kecil dan menengah. Para raksasa bisnis merupakan motor “branding” sedangkan usaha-usaha kecil adalan “motor pelaksana. 

Model ini memang telah bergeser selama beberapa tahun terakhir sebelum implosi 2008 terjadi. Contohnya, unequal wealth distribution dengan super tingginya gaji para CEO perusahaan-perusahaan raksasa, bisa dibaca dengan jelas. Bahkan tidak sedikit CEO yang mendapatkan bonus puluhan juta USD walaupun perusahaannya bangkrut dan merugi. Bagaimana membatasi besar gaji dan bonus sektor privat masih merupakan tantangan karena campur tangan pemerintah terbatasi.

Menurut Robert Reich dalam Beyond Outrage, “Economic risks are vanishing at the top and the rewards keep growing, the risks are rising dramatically on almost everyone below, and the rewards keep shrinking.” JOBS Act memang tidak memberikan solusi total, namun pintu-pintu menuju tangga-tangga growth telah dibukakan dengan lebar, sehingga bisa saja resiko bagi mereka yang “di bawah” bisa segera diperkecil dan gain diperbesar.

Globalisasi merek dan produk dari AS dan luar AS semakin smooth and fluid. Semakin banyak kesempatan yang tidak dibatasi oleh letak geografis. Selamat mengambil kesempatan.[]

Kontan, 11-17 Juni 2012

Pin It on Pinterest

Share This