Select Page

[Download PDF KONTAN WEEKLY Mitos dan Fakta EQ]

Ada kecerdasan intelektual yang dikenal dengan singkatan IQ. Ada pula kecerdasan emosional yang disingkat sebagai EQ. Konsep EQ ini dipopulerkan oleh psikolog lulusan Harvard bernama Daniel Goleman di tahun 1995 dengan buku best-sellernya Emotional Intelligence.

Konsep EQ cukup mengguncangkan paradigma psikologi kala itu. Bahkan hingga hari ini, EQ dipandang “istimewa” dan “sangat penting,” sehingga banyak tokoh yang “diduga” sukses dengan EQ tinggi. Goleman sendiri “menampik” pernyataan tersebut. Secara aktif, ia menepis mitos bahwa EQ adalah satu-satunya faktor atau faktor utama sukses.

Apa saja sebenarnya mitos dan fakta EQ?

Pertama, EQ bukan determinan yang terbaik untuk memprediksi kesuksesan seseorang.
Buang jauh-jauh mitos bahwa “kalau EQ tinggi, pasti sukses.” Tergantung bidang yang ditekuni, kesuksesan membutuhkan gabungan beberapa kecerdasan yang bekerja sinergistik.

Misalnya, seorang komposer sukses membutuhkan kecerdasan intelektual untuk mampu membaca dan mencipta musik, kecerdasan musikal untuk mampu mengolah nada, kecerdasan fisik untuk mampu menggunakan alat musik dengan tangan dan tubuh, serta kecerdasan emosi untuk mampu bekerja sama dengan orang lain serta mempromosikan diri dalam karir.

Kedua, IQ adalah determinan yang lebih baik untuk memprediksi kesuksesan seseorang.
Namun determinan ini mempunyai beberapa keterbatasan apabila digunakan secara independen.

Tanpa kecerdasan intelektual, hampir mustahil seseorang akan mampu bertahan bekerja di suatu bidang hingga mencapai tingkat sukses tertentu. Semua bidang kerja membutuhkan kecerdasan intelektual untuk dapat belajar suatu ketrampilan (skill) dan berfungsi baik.

Bahkan aktivitas sederhana sekalipun perlu kecerdasan intelektual. Dan setiap ketrampilan membutuhkan kecerdasan intelektual yang berbeda.

Sebagai contoh, menulis secara fungsional pasti dikuasai oleh mereka yang berpendidikan SD sekalipun. Menulis secara teknis hanya dapat dikuasai oleh mereka yang telah terbiasa menulis untuk kepentingan sekolah dan kerja. Menulis secara kultural memerlukan kemampuan berpikir terstruktur, selain kemampuan menulis secara fungsional.

Namun ketika seseorang telah mencapai tingkat sukses seorang pemimpin (holistik), maka diperlukan EQ yang lebih tinggi. Semakin tinggi posisinya, semakin tinggi EQ yang dibutuhkan untuk dapat mempertahankan sukses. Jadi, seorang CEO perusahaan, misalnya, perlu EQ yang jauh lebih tinggi daripada seorang manajer kantor.

Ketiga, seseorang ber-EQ bukan semata-mata “luwes” dan punya empati tinggi.
“Nice people have high EQ” adalah mitos. Seseorang yang punya EQ tinggi mempunyai karakter (personality trait) lebih dari itu.

Ia punya kepekaan akan diri dan orang lain, serta mampu mengelola emosi agar positivitas terjaga. Hubungan personal juga baik, tidak semata-mata karena ia “luwes” bergaul, namun karena ia mempunyai konsep diri yang baik dan matang. Hubungan yang dibangun didasari oleh rasa respek sehingga harmoni terjalin.

Keempat, EQ tidak lebih penting dari IQ.
Ini adalah fakta penting. Tanpa kecerdasan intelektual, seseorang dengan EQ tinggi bagaikan seseorang yang pandai membuat kotak namun tidak mempunyai isi yang berguna.

Ibaratnya, baik kotak dan isi mempunyai fungsi tersendiri dan sama-sama penting. Tanpa kotak, isi akan berantakan. Tanpa isi, kotak tidak begitu berguna.

Kelima, EQ bukan harga mati. EQ dapat ditingkatkan.
Pola pikir (mindset) bahwa segala sesuatu sudah merupakan “takdir” alias “dari sononya” merupakan pola pikir tidak sahih alias “ngaco.” Baik EQ maupun IQ dan kecerdasan-kecerdasan lainnya dapat terus diasah, diperbaiki, dan ditingkatkan.

Psikolog Stanford Carol Dweck dengan teori “growth mindset” menolak paradigma “takdir” (fixed mindset) tersebut. Sepanjang kita masih hidup dan mempunyai kognisi baik, kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman baik maupun buruk diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosi juga dapat diperbaiki dengan kesadaran, niat, dan usaha sungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik.

Keenam, ketika menggunakan EQ sebagai alat ukur, ia tidak bisa berdiri sendiri.
Sebagaimana kesuksesan tidak pernah dihasilkan dari satu jenis kecerdasan belaka, EQ hanya punya makna apabila kecerdasan-kecerdasan lain juga diperhitungkan. Perspektif holistik perlu digunakan ketika “mengukur” kecerdasan-kecerdasan yang berperan dalam sukses.

Jadi, persepsi tentang EQ perlu diluruskan, terutama bagi mereka yang lebih percaya mitos atau miskonsepsi. IQ tetap merupakan faktor penentu penting, namun ketika karir telah mencapai titik tertentu, EQ akan lebih berperan dalam mempertahankan dan meningkatkannya. Selamat meningkatkan EQ! []

KONTAN WEEKLY, 12-18 Juni 2017

Pin It on Pinterest

Share This