KONTAN Weekly Menuju Cashless Society
oleh Jennie M. Xue
Anda pasti memiliki kartu kredit dan kartu debit yang merangkap sebagai kartu ATM. Namun mayoritas penduduk Indonesia masih belum memilikinya. Pemilik kartu kredit di Indonesia hingga hari ini hanya sekitar 30 juta orang. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang 245 juta orang.
Namun negara-negara Skandinavia mempunyai persentase penggunaan uang elektronik yang jauh melampaui Indonesia dan negara-negara lain. Di Swedia, 4 dari 5 pembelian dilakukan secara elektronik baik kredit maupun debit. Para warga Swedia menggunakan kartu mereka setiap hari alias 260 kali rata-rata per tahun per orang. Diperkirakan Swedia akan menjadi “cashless society” secara total tahun 2030.
Di Belgia, 93 persen transaksi retail menggunakan uang elektronik. Bandingkan dengan AS yang hanya 80 persen.
Di negara-negara Eropa lainnya, seperti Italia, masih banyak yang menggunakan uang kertas. Mengapa? Karena penggunaan uang elektronik ini erat hubungannya dengan kepercayaan konsumen kepada institusi perbankan, keamanan penggunaan kartu secara face-to-face, dan keamanan e-commerce. Skandinavia dikenal dengan keamanan fisik dan digital yang premium.
Para bankir Swedia mengantisipasi penurunan angka kriminal di jalan-jalan raya, lokasi-lokasi bank, dan penghematan biaya pengamanan uang cash di berbagai institusi, seperti pemindahan uang secara fisik dari dan ke bank. Penghematan ini diperkirakan mencapai USD 1,2 miliar.
Studi MasterCard (NYSE: MA) menunjukkan bahwa secara umum, cash masih merajai dunia. Sampai saat ini, 85 persen transaksi retail menggunakan cash keras, bukan uang elektronik. Namun untuk pembayaran rekening sehari-hari, seperti biaya air, listrik, telpon, dan langganan lainnya, hanya 34 persen yang menggunakan cash keras. Autopayment secara elektronik biasanya digemari untuk pembayaran langganan bulanan sehingga luput dari kelupaan membayar.
Lantas, sebenarnya apa sih “kekurangan” dari penggunaan uang cash, selain faktor keamanan dan penghematan biaya keamanan? Pertama, penggunaan cash keras menggerogoti 1.5 persen dari PDB, menurut studi MasterCard. Juga penggunaan cash keras mempersulit pengawasan “pencucian uang” alias “money laundering.”
Di Indonesia sendiri, cash merupakan bentuk pembayaran satu-satunya yang diterima oleh “shadow economy” alias sektor informal, walaupun pembayaran dengan pulsa telpon genggam tampaknya sudah dimulai. Di Swedia, bahkan para penjual sayur dan buah di tepi jalan sudah mulai menerima uang elektronik.
Penggunaan uang elektronik sendiri cukup menguntungkan bank. Sebelum diatur oleh US Federal Reserve di tahun 2011, “swipe fee” kartu kredit atau “interchange fee” mencapai USD 0,44. Kini telah dibatasi hanya USD 0,21.
Aplikasi iPhone Apple Pay yang baru diluncurkan Oktober 2014 lalu serupa dengan Swish aplikasi Android. Ini merupakan generasi berikut uang elektronik yang dioperasikan dengan aplikasi smartphone. Apple Pay saat ini tidak begitu banyak diterima oleh retailer di AS, namun kompetitornya CurrentC juga belum menunjukkan daya saing premium.
Sedangkan para retailer besar seperti Wal-Mart, Target, CVS, dan Rite Aid mempunyai rencana untuk mengeluarkan dompet elektronik serupa. Selama ini retailer besar dunia mempunyai kartu kredit tersendiri baik bekerja sama dengan bank maupun tidak. Nordstrom Card, misalnya, menggunakan in-house bank mereka sendiri.
Di Inggris Raya, jaringan bisnis easyFoodstore.com yang didirikan oleh grup EasyJet Airline pimpinan Stelios Haji-Ioannou mempelopori cashless store dengan supermarket diskon berharga wholesale. Bagi pemakain Android dan iPhone, aplikasi SnapDonate memungkinkan donasi uang secara elektronik.
Perjalanan Indonesia dalam menuju “cashless society” masih jauh, namun penggunaan kartu Flazz sudah merupakan satu tahap awal, selain penggunaan kartu kredit dan kartu debit (ATM).[]
KONTAN Weekly, 1-7 Desember 2014