[Download PDF KONTAN WEEKLY Menjadi Sempurna]
oleh Jennie M. Xue
Apakah Anda atau orang di sekitar Anda perfeksionis? Apa sih sebenarnya seorang “perfeksionis” itu? Beberapa karakteristikya di bawah ini diuraikan oleh Dr. Jennifer Kromberg.
Satu, sebagai individu, Anda sering merasa “kurang.”
Dua, perasaan “lengkap” dan “penuh” yang Anda rasakan tidak pernah bertahan lama. Ada saja hal-hal yang dianggap “salah” dan “kurang.”
Tiga, Anda seringkali “kelimpungan” ketika mengenali bahwa tidak ada putih yang benar-benar putih dan hitam yang benar-benar hitam. Dalam hati kecil Anda, sangat besar keinginan bahwa sesuatu itu 100% murni.
Empat, Anda merasa penting sekali untuk kelihatan “sempurna” secara eksternal hingga ke hal-hal kecil sebagai prasyarat agar bisa merasa damai dan tenang di dalam hati.
Lima, Anda percaya bahwa hanya dengan terus-menerus menoreh prestasi dan mencapai target setinggi-tingginya, maka Anda baru merasa “sukses” dan “bahagia.”
Enam, ketika beberapa hal tidak sesuai dengan rencana dan rancangan Anda, maka Anda merasa “gagal.”
Tujuh, Anda merasa bahwa segala usaha yang dijalankan tidak pernah cukup karena Anda menginginkan produk hasil akhir yang “sempurna.”
Delapan, Anda sangat kompetitif dalam segala hal, termasuk yang kecil-kecil.
Sembilan, Anda sering menduga-duga, berpraduga, berprasangka, bahkan menganggap mereka yang “tidak sempurna” diri atau karyanya itu memang “tidak baik.”
Sepuluh, Anda hanya menghargai dan mengagumi mereka yang berprestasi luar biasa, karena itulah makna “sukses” bagi Anda.
Kebutuhan untuk selalu tampil “sempurna” merupakan beban yang sering kali memberati langkah-langkah dalam kehidupan. Penampilan harus sempurna, perkataan harus sempurna, proses kerja harus sempurna, dan produk hasil akhir juga harus sempurna. Bukankah ini hampir mustahil?
Perfeksionisme merupakan hasil dari pola pikir yang hitam-putih. Maksudnya, jika terjadi “begini” maka “sukses” sedangkan jika terjadi “begitu” maka “gagal.” Ini sebaiknya diganti dengan “growth mindseet” yang merupakan antitesis dari perfeksionisme.
Prof. Carol Dweck dari Stanford University berargumen bahwa perubahan ke arah yang lebih baik bisa dicapai dengan menyadari “kekurangan” dan belajar dari kesalahan-kesalahan, bukan karena ingin “tampil sempurna” namun karena hidup merupakan kumpulan proses belajar terus-menerus.
Seseorang yang perfeksionis memiliki keyakinan (belief) bahwa ia “tidak berharga” dan “tidak bisa dihargai” tanpa penampilan dan pencapaian-pencapaian yang “sempurna.” Padahal “ambisi buta” seperti ini sangat memberatkan fisik dan mental, sehingga meningkatkan rasa cemas, was-was, dan takut yang berlebihan. Pada akhirnya, perfeksionisme seseorang dapat menghancurkan hubungan baik dengan keluarga, teman-teman, dan di tempat kerja.
“Rasa malu” berlebihan yang disebabkan oleh ego yang “tertampar” ketika merasa “tidak sempurna” merupakan hukuman yang berlebihan dan tidak perlu. “Hukuman” ini memperdalam kesulitan untuk menyukai dan mencintai diri sendiri sebagaimana apa adanya. “Rasa malu” dan “hukuman” ini merupakan racun dalam perkembangan diri dan hubungan dengan orang lain.
Idealnya, setiap individu mengenali kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan tidak ada satu orang pun di dunia yang “sempurna.” Apa yang kasat mata seperti penampilan dan “kesuksesan” yang biasanya bisa dinilai dari materi, bukanlah sesuatu yang bertahan abadi. Setiap saat, riak ombak kehidupan kadang membawa kita ke “atas” maupun ke “bawah.”
Seorang perfeksionis bisa saja tidak menyadari “keperfeksionisannya” dengan mengira bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan untuk “menjadi sempurna” seperti dia. Padahal, inti dari sukses adalah selalu belajar dari kesalahan lampau untuk diperbaiki dan mendekatkan kita kepada “pemenuhan” diri.
It is not important to be perfect. We just do our best one day at a time. Accept yourself and be humble enough to be “enough,” not “perfect.”
KONTAN WEEKLY, 20-26 Juni 2016