Select Page

Kontan Logo

KONTAN Daily Menjadi Komunikator Yang Baik

by Jennie M. Xue

Kesuksesan dan kegagalan seseorang dalam berkomunikasi menentukan keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam karir, dan dalam berkeluarga. Dalam berbisnis, komunikasi yang jelas tentu sangat penting dan berharga. Bayangkan saja apabila ada kesalahpahaman dalam penyampaian hal-hal yang berhubungan erat dengan kualitas dan kuantitas produk, serta dalam produksi.

Dalam kultur manapun, seorang komunikator yang baik menyampaikan dan menerima informasi sebagaimana yang sebenarnya. Karena ada saja individu yang sering “salah menangkap” dan “mengartikan sendiri” apa yang diutarakan oleh lawan bicara. Ini jangan sampai terjadi di dunia bisnis.

Bayangkan jika Anda menyangka bahwa klien memesan sepuluh ribu pasang sepatu padahal sebenarnya hanya seribu saja. Memang dalam bisnis setiap persetujuan dilakukan tercatat. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa komunikasi lisan mempunyai ikatan hukum. Minimal sebagai ikatan untuk menuju perjanjian hukum.

Bagaimana cara berkomunikasi yang profesional? Semestinya setiap pebisnis dan eksekutif telah mengenalnya dengan baik. Namun, dalam kultur Indonesia yang komunal dan tradisional, ada beberapa hal yang semestinya tidak dibicarakan dengan lawan bisnis yang sering diabaikan.

Apalagi dalam komunikasi dengan lawan bisnis dari luar negeri yang biasanya formal dan to-the-point, komunikasi harus lebih jelas dan memberikan kesan positif. Pakar Komunikasi dan Branding Suara Julian Treasure dari Inggris memberikan delapan “pantangan” dalam berkomunikasi dengan siapapun.

Satu, bergosip alias berbicara tentang hal-hal negatif akan apapun dan siapapun. Bersikap diplomatis apabila ada yang kurang berkenan akan seseorang atau institusi tertentu yang perlu dibahas keburukannya. Cegahlah keinginan untuk berbicara tentang keburukan secara “telanjang.” Ini bukan berarti menutupi keburukan, namun menggunakan kosa kata yang lebih halus dan “pantas” bagi seorang pebisnis kawakan seperti Anda.

Dua, menghakimi dan menuduh tanpa ada kejelasan. Apalagi hanya karena dugaan dan asumsi, bahkan opini belaka. Seorang lawan bisnis yang berpengalaman akan memandang Anda terlalu memihak dan bisa jadi merasa bahwa ini adalah indikator ke-subyektif-an yang keterlaluan. Ia bisa saja membatalkan keinginan berbisnis dengan Anda.

Tiga, negativitas yang berlebihan dalam setiap pernyataan dan kalimat membangun antitesi simpati dan empati. Positivitas berlebihan juga tidak baik bagi image bisnis. Yang terbaik adalah positif namun dalam batas kewajaran dan negativitas yang berupa concern bisa dihargai sebagai kepekaan.

Empat, mengumpat dan memberikan nilai buruk akan sesuatu dengan penjelasan seadanya. Agregasi dan inventarisasi diperlukan sebagai data set apabila Anda hendak mengutarakan keberatan kepada lawan bisnis. Beberapa halaman printout sudah cukup untuk menunjukkan obyektivitas Anda.

Lima, mencari-cari alasan akan hal-hal yang umum maupun spesifik. Bisa saja Anda mengalami kemacetan di jalan yang luar biasa sehingga terlambat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Ini tidak terhindarkan di Jakarta. Namun Anda perlu tetap meminta maaf mengingat keterlambatan Anda sebenarnya bisa dihindarkan apabila Anda berangkat 1-2 jam lebih dini lagi dari jam keberangkatan Anda dari kantor, misalnya.

Enam, membesar-besarkan yang baik maupun yang buruk, termasuk image perusahaan yang Anda wakili. Memang Anda perlu menunjukkan loyalitas kepada perusahaan, namun lawan bisnis biasanya sudah melakukan riset secukupnya. Jadi cukuplah Anda memberikan informasi secara obyektif mengenai posisi perusahaan di dalam pasar yang bersangkutan. Apabila perusahaan Anda adalah perusahaan terbuka, jelas annual report akan sangat membantu. Anda bisa siapkan company profile dan annual report sejak awal sehingga lawan bisnis memandang Anda sebagai seseorang yang telah mempersiapkan diri secara serius.

Tujuh, berbohong untuk alasan apapun. Mungkin dalam beberapa kultur, “bohong putih” sudah menjadi kebiasaan yang dipandang sebagai “memperhalus” suatu situasi. Namun dalam beberapa kultur lainnya, seorang lawan bisnis yang terbaca telah “berbohong” untuk hal-hal yang sepele sekalipun dipandang “tidak bisa dipercaya.” Anda tentu ingin untuk diingat sebagai seorang pebisnis yang berintekgritas dan berakuntabilitas tinggi.

Delapan, memasukkan dogma-dogma dan pernyataan-pernyataan tidak penting seperti hal-hal “absolut.” Sebaiknya tidak membicarakan agama, kepercayaan, dan politik ketika berkomunikasi dengan lawan bisnis mengingat banyak hal yang sangat sensitif untuk diutarakan dan bisa saja berbalik kepada Anda seperti boomerang. Apalagi jika sudah menyangkut “dogma.”

Fungsi berkomunikasi dalam berbisnis adalah sebagai alat bernegosiasi yang memberikan keuntungan jangka pendek dan jangka panjang. Kita perlu menjaga agar gaya berkomunikasi memberikan kesan profesional, relatif obyektif, dan positif. Buang jauh-jauh ego bisnis dan pribadi, apalagi yang berhubungan dengan agama, etnis, dan afiliasi politik. Selamat berkomunikasi.[]

KONTAN Daily, Jumat 8 Agustus 2014

Pin It on Pinterest

Share This