Download KONTAN Weekly Global Leader
oleh Jennie S. Bev
Dua puluh tahun lalu, kepemimpinan global atau global leadership (GL) mungkin tidaklah menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Tapi, sekarang, menjadi pemimpin global merupakan suatu kebutuhan tersendiri.
Seorang pemimpin global bukan semata-mata memiliki deksteritas global yang tinggi, namun juga mampu menggabungkan berbagai sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) ke dalam suatu proyek, produk, maupun suatu program.
Seorang global leadership mampu menemukan solusi lintas negara, kultur, dan organisasi. Mereka mempunyai visi yang diinspirasi oleh berbagai masalah global, termasuk oleh berbagai ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Mereka juga mampu menganalisis keadaan politik dan ekonomi makro suatu wilayah beserta efek-efeknya terhadap wilayah-wilayah dan industri-industri tertentu.
Jadi, di sini global leadership merupakan seorang pemimpin yang memiliki deksteritas tinggi dalam lingkup mikro serta memiliki kemampuan menggabungkan berbagai unsur makro sebagai motor suatu bisnis atau organisasi nirlaba. Karakteristik utama seorang global leadership adalah kemampuan mengambil keputusan dan memberikan solusi global dalam konteks supply chain, sumberdaya manusia, know-how, dan kapital.
Saat ini, sudah bukan zamannya lagi Amerika Serikat (AS) dan Inggris Raya sebagai pemegang kunci produk-produk penting dunia. Termasuk, sudah bukan lagi zaman VOC seperti dulu, yaitu manajemen terpusat yang memegang kekuasaan utama.
Sebagai contoh, Jaguar dimiliki oleh India dan pabrik semikonduktor tercanggih di dunia berada di Taiwan. Sedangkan pusat produksi panel energi surya terletak di China Daratan dan Embraer di Brasil adalah kompetitor produsen aviasi Boeing dan Airbus.
Dalam buku bertajuk Being Global: How to Think, Act, and Lead in a Transformed World oleh Angel Cabrera dan Gregory Unruh, dibahas betapa investasi-investasi di seluruh dunia saling bersilangan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Batas di mana “penginvestasi” dan “penerima investasi” tidak bisa dilihat semata-mata “negara maju sebagai pemberi investasi” dan “negara berkembang sebagai penerima investasi”.
Ekonom David Ricardo, yang menelurkan gagasan tentang “comparative advantage” tahun 1817 silam, dikenal dengan dokumentasinya tentang hubungan pasar dengan pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi. Hal ini tentu saja membawa berbagai masalah baru yang lebih ekstrem dan tidak terpikirkan sebelumnya, seperti distribusi kekayaan yang semakin tidak merata.
India mempunyai 55 orang miliarder USD (billionaires), namun juga 400 juta orang yang hidup dengan duit US$ 1,25 per hari. Di AS, hanya 1% penduduknya yang berpenghasilan di atas US$ 1,5 juta per tahun. Sementara sisanya sebanyak 99% berpenghasilan jauh di bawah jumlah tersebut.
Dalam label produk, misalnya “made in xyz” tidak berarti 100% produk tersebut buatan XYZ. Negara yang tertera di label hanya merupakan negara terakhir yang menggabungkan semua bagian produk tersebut. Misalnya sepotong blus wanita, kainnya berasal dari India, ritsletingnya dari China, dan benangnya dari Meksiko. Keseluruhan bagian-bagian itu disambung dan dijahit di AS. Jadilah pakaian itu “Made in USA”.
Ekosistem ekonomi
Ekonomi global juga sangat dirasakan ketika gelembung bisnis properti di AS meletus tahun 2007, sehingga terjadi keruntuhan masif dunia finansial pada setahun kemudian. Sesungguhnya ini adalah masalah domestik AS namun mempengaruhi ekonomi dunia sedemikian rupa hingga ke Islandia dan Belgia serta seluruh Uni Eropa, bahkan China.
Bencana alam gempa dan tsunami di Jepang tahun 2011 menggetarkan reaktor nuklir Fukushima yang juga berdampak secara global. Berbagai masalah di belahan dunia lain sangat besar dampaknya terhadap aneka ekosistem ekonomi.
Nah, global leadership membuka mata dan pikiran dengan kemampuan memberikan“shared values.”
Istilah ini digunakan oleh Michael Porter, profesor manajemen di Harvard Business School. Pandangannya itu bertentangan dengan pikiran Milton Friedman yang hanya memperhatikan kepentingan profit. Bisnis dan pemerintah dengan berbagai kebijakan publiknya idealnya berjalan paralel. Dengan kata lain, hal tersebut tidak merugikan kepentingan sosial orang banyak.
Bisnis memerlukan konsumen dan konsumen perlu dijaga kesejahteraannya. Berbagai kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan sektor sosial semestinya bisa berjalan tanpa saling merugikan, bahkan saling memberikan kesempatan. Makanya, sebagai global leadership, kolaborasi global perlu memperhatikan faktor-faktor itu.
Dibabatnya hutan tropis di Kalimantan yang merupakan paru-paru dunia, mempunyai efek global. Demikian pula dengan kebakaran hutan yang menyebabkan banyak penduduk Singapura dan Malaysia mengalami masalah pernapasan. Belum lagi sumberdaya alam yang kian merosot mengingat eksploitasi besar-besaran. Seorang global leadership bisa mengantisipasi masalah-masalah yang menimbulkan efek jangka pendek dan panjang.
Zero-sum game bukan lagi merupakan tujuan dan akhir. Semua ada siklus dan bisa berkesinambungan dan diperbaharui. Pola pikir yang bisa menerjemahkan kompleksitas dunia global merupakan inti dari global leadership.[]
KONTAN Weekly, 9-15 September 2013